Desain Manajemen Risiko pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Yogyakarta
Semfebri M Simbolon, Dr. Erni Ekawati, M.B.A.
2012 | Tesis | S2 Magister ManajemenKasus hukum akibat adanya Surat Perintah Membayar (SPM) ‘fiktif’ di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta II yang telah menyeret dua pegawai KPPN tersebut ke pengadilan bahkan divonis bersalah (meskipun masih dalam upaya banding) merupakan bukti adanya risiko yang tinggi di KPPN yang merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB). Sebagai ujung tombak pelayanan di daerah, KPPN juga sering menjadi indikator kredibilitas dan reputasi DJPB melalui berbagai survei yang dilakukan lembagalembaga independen. Hal tersebut menjadi pertimbangan perlunya manajemen risiko diterapkan pada KPPN. Studi ini bertujuan untuk membuat desain penerapan proses manajemen risiko pada KPPN Yogyakarta. Desain manajemen risiko yang akan diterapkan pada KPPN Yogyakarta dilakukan dengan mengadopsi The Australian and New Zealand Standard on Risk Management, AS/NZS 4360 : 2004 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.09/2008 tentang Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Departemen Keuangan. Proses manajemen risiko yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, dan penanganan risiko. Identifikasi risiko dilakukan berdasarkan proses bisnis dan Indikator Kinerja Utama pada KPPN Yogyakarta. Risiko yang telah diidentikasi kemudian dianalisis dengan mengukur tingkat konsekuensi dan kemungkinan terjadinya risiko, serta level risiko yang berguna untuk melakukan proses evaluasi risiko apakah risiko memerlukan penanganan atau tidak. Setelah risiko diurutkan prioritas penanganannya, selanjutnya dilakukan penanganan risiko untuk risiko yang memiliki level risiko sedang dan tinggi. Dari 28 risiko yang diidentifikasi pada KPPN Yogyakarta, terdapat 10 risiko yang cukup dipantau saja karena memiliki level risiko rendah dan 18 risiko yang memerlukan penanganan yaitu 10 risiko yang memiliki level risiko tinggi dan 8 risiko dengan level risiko sedang. Khusus 10 risiko yang memiliki level risiko tinggi diperlukan rencana kontingensi yang mana satu risiko diantaranya yaitu risiko pemalsuan SPM atau SPM fiktif oleh satker perlu dilakukan segera agar kasus hukum seperti yang terjadi di KPPN Jakarta II tidak terjadi lagi sehingga tidak mengurangi komitmen dan integritas pegawai KPPN dalam memberikan pelayanan publik yang memuaskan.
The law case of 'fictitious' payment order or Surat Perintah Membayar (SPM) at Treasury Office of Jakarta II or Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta II, which have dragged and even convicted (although still under appeal) two KPPN’s employees to the court, is an evidence that there is a high risk in KPPN as a vertical office of Directorate General of Treasury (Direktorat Jenderal Perbendaharaan/DJPB). As the spearhead of service in the area, KPPN also often be an indicator of the credibility and reputation DJPB through various surveys conducted independent institutions. These are consideration to the necessity of risk management applied to KPPN. This study planned to design risk management at KPPN Yogyakarta. The design of risk management to be applied at KPPN Yogyakarta adopt the Australian and New Zealand Standard on Risk Management, AS / NZS 4360: 2004 as set out in the Minister of Finance Regulation or Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Number 191/PMK.09/2008 on Application of Risk Management at Ministry of Finance. The risk management process in this research consists of risk identification, risk analysis, risk evaluation and risk treatment. The risk identification is based on business processes and Key Performance Indicators at KPPN Yogyakarta. The risks that have been identified are then analyzed by measuring the level of consequences and likelihood of risks, as well as the level of risk that is useful for the risk evaluation process whether or not the risk require a treatment. Once the risks are sorted based on handling priority, the risk treatment is carried out for the risks with moderate and high level. Of the 28 risks identified at KPPN Yogyakarta, there are 10 risks that simply need to be monitored only because they have low risk level and 18 risks that require treatment: 10 high level risks and eight moderate level risks. Especially for the 10 risks that have a high risk level it is necessary to have contingency plans for example the risk of SPM falsification or fictitious SPM by client which needs to be done immediately so that the law case as happened in KPPN Jakarta II does not happen again in order to maintain employee’s commitment and integrity at KPPN on providing a satisfactory public service.
Kata Kunci : manajemen risiko, identifikasi, analisis, pengukuran, evaluasi, penanganan risiko, dampak, kemungkinan, pelayanan publik, perbendaharaan