Laporkan Masalah

KEWENANGAN KREDITUR DALAM KEPAILITAN DEBITUR

Evi Purwaningsih, SH, Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S.

2012 | Tesis | S2 Magister Hukum

Tujuan penelitian ini: Untuk mengetahui kewenangan hukum kreditur jika debiturnya pailit. Untuk mengetahui apakah sama debitur dalam perikatan pada umumnya dengan debitur dalam perikatan utang-piutang. Untuk mengetahui kedudukan kreditur separatis berdasarkan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, setelah adanya Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 124 K/Pdt.Sus/2009. Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode kualitatif dengan tipe penelitian adalah yuridis normatif. Secara kualitatif yaitu dengan memperhatikan fakta mengenai kasus kepailitan untuk selanjutnya diperbandingkan dengan norma yang seharusnya berlaku dan kemudian diambil kesimpulan. Yuridis normatif karena mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Kesimpulan: akibat dari adanya putusan pailit, maka yang harus diperhatikan adalah hak untuk segera didahulukan dalam pengambilan pelunasan dari kreditur-kreditur lainnya terhadap hasil penjualan suatu barang sengketa. Terhadap kreditur pemegang hak jaminan kebendaan walaupun memiliki keistimewaan untuk memiliki jaminan hukum tidak berarti dapat memiliki dan/atau meminta benda yang di atasnya terdapat hak jaminan untuk dikeluarkan dari harta pailit. Kedudukan debitur dalam perikatan pada umumnya sama dengan kedudukan debitur dalam perikatan utang piutang, hal ini diketahui bahwa apabila debitur tersebut tidak mampu melunasi utangnya, maka ia dipenjara, namun jika debitur tersebut telah memiliki harta kekayaan dikemudian hari, maka kepadanya harus dapat melunasi utang-utangnya. Kreditur yang mempunyai fasilitas dalam hal terjadinya kepailitan maka pembagiannya adalah kreditur pemegang hak tanggungan, buruh serta Negara yang dalam hal ini Menteri Keuangan/Pajak, dimana mereka adalah kreditur preferen. Dalam menginterpretasikan dan mengaplikasikan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan, di luar amandemen ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan, hal yang paling logis yang dapat dilakukan adalah menjelaskan kedudukan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan terhadap ketentuan hukum lain yang terkait, sehingga perbedaan interpretasi dari pihak-pihak yang terkait dapat diminimalisir.

The purpose of this Study: To know the legal authority of the creditor if the debtor bankrupt. To determine the existence of the debtor in the agreement in general agreement with the existence of the debtor in debts. To find out the status of separatist creditors pursuant to the provisions of Article 56 of Law No. 37 of 2004, following a Supreme Court Decision Number: 124 K/Pdt.Sus/2009. The methods used in analyzing the data is a qualitative method with the type of research is the normative juridical. Qualitatively by considering the facts about bankruptcy cases for further compared with the norms that should apply and then be concluded. Juridical normative because it refers to the legal norms contained in legislation and court decisions and legal norms that exist in society. Conclusion: The result of the bankruptcy decision, then that must be considered is the right to immediately take precedence in return of payment of other creditors against the sale of an item of disputes. Assurance against material creditor rights holders even have the privilege to have no legal guarantee means you can have and/or request objects upon which there is a right guaranteed to be removed from the bankruptcy estate. Debtor position in engagement is generally the same as the position of the debtor in a debt agreement, it is known that if the debtor is unable to repay their debts, then he was imprisoned, but if the debtor has a property in the future, then it must be able to pay off her debts. Creditors who have facilities in case of bankruptcy, its distribution is dependent creditor rights holders, unions and the State in this case the Minister of Finance/Tax, where they are a preferred creditor. In interpreting and applying the provisions of Article 56 of the Bankruptcy Act, beyond the amendment provisions of Article 56 of the Bankruptcy Act, the most logical thing to do is to explain the position of Article 56 of the Bankruptcy Act to the relevant provisions of other laws, so that differences in interpretation of the related-party can be minimized.

Kata Kunci : Kewenangan, Kreditur, Kepailitan


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.