KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN, KEMISKINAN STRUKTURAL DAN PERLAWANAN MASYARAKAT DESA HUTAN DI PROVINSI LAMPUNG

DEDDY WINARWAN SSTP M.SI, Prof. Dr. San Afri Awang, M.Sc.

2012 | Disertasi | S3 STUDI KEBIJAKAN

Hutan merupakan sumber daya yang sangat strategis, baik untuk masyarakat maupun negara. Pola pemanfaatan hutan oleh masyarakat seringkali bertentangan dengan kebijakan pengelolaan hutan oleh negara. Perspektif negara yang dominan sering membuat masyarakat pinggir hutan yang marjinal semakin tertindas secara struktural. Penelitian ini bertujuan mengetahui kebijakan pengelolaan hutan TNBBS, kemiskinan struktural yang diakibatkannya, dan perlawanan sosial masyarakat terhadap negara di desa Atar Lebar kawasan hutan konservasi TNBBS Kabupaten Lampung Barat. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi di Desa Atar Lebar Kawasan Hutan Konservasi TNBBS Kabupaten Lampung Barat. Data yang dipakai adalah data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam, dan data sekunder yang diperoleh lewat studi dokumenter. Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata penebangan hutan yang dilakukan oleh masyarakat bukan disebabkan oleh kemiskinan, melainkan karena ketidaksenangan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang bersikap diskriminatif antara pemberian izin pengelolaan hutan kepada pengelola HPH dan masyarakat setempat. Selain itu, konsep penebangan liar tidak tepat digunakan sepenuhnya untuk menjelaskan kasus perlawanan sosial dari masyarakat Atar Lebar di kawasan hutan konservasi karena adanya konsep tentang penebangan liar dari pemerintah yang dipaksakan dalam implementasinya. Pada satu sisi, pemerintah selama ini menerapkan standar ganda terhadap pengelolaan hutan, dimana terdapat favoritisme pemerintah terhadap pengusaha HPH dengan pemberian izin penebangan hutan, sehingga proses tersebut menjadi legal, padahal kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua pengusaha HPH bersifat ekspansionis, yang berdampak pada perusakan hutan dalam skala masif. Di sisi lain, masyarakat setempat yang berusaha untuk mendapatkan kembali akses terhadap sumber-sumber penghidupan di dalam ekosistem hutan dituduh sebagai pelaku penebangan liar, padahal masyarakat setempat tidak semua bersikap ekspansionis. Terdapat masyarakat lokal yang bersikap konservasionis dan ada pula masyarakat pendatang yang cenderung ekspansionis. Negara memandang masyarakat sekitar hutan menimbulkan deforestasi atas kawasan konservasi TNBBS, sehingga cenderung memperlakukan mereka dengan kebijakan yang sama, yaitu: pemindahan penduduk melalui transmigrasi lokal, penghapusan desa, tindakan represif terhadap masyarakat petani, pelarangan pemanfaatan kawasan hutan, dan reboisasi hutan konservasi. Dalam kondisi sosial-ekonomi buruk dan strategi bertahan hidup yang terancam, penduduk desa Atar Lebar menunjukkan berbagai perlawanan sosial sebagai wujud protes kepada negara dan menunjukkan bahwa mereka berhak untuk hidup layak sebagai warga negara. Temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan yang sama, diterapkan dalam masyarakat yang sama, dan di satu lokasi penelitian yang sama ternyata memunculkan respons berbeda, karena ada diferensiasi sosial sehingga muncul pula akibat yang berbeda. Karena itu, perlu digagas model pengelolaan hutan pro-masyarakat: adopsi pengetahuan lokal, kebijakan afirmatif, dan kebijakan deliberatif melalui pembentukan desa konservasi. Dengan model itu, diharapkan masyarakat marjinal yang miskin secara struktural akan tetap dapat berada di wilayah kawasan konservasi, tetapi eksistensi mereka mendukung pelestarian hutan, bukan merusaknya.

Forest is a very strategic resources, both for local community and State. Community forest use patterns often conflict with forest management policy by the State. The dominant perspective of the State often makes the local community increasingly marginal and structurally repressed. This study aims to find out the TNBBS forest management policy, the resultant structural poverty, and social resistance against the State in Atar Lebar village within forest conservation areas of TNBBS, West Lampung regency. The study was conducted by using a descriptive qualitative method with a phenomenological approach. Location of the study was Atar Lebar village in the conservation forest areas of TNBBS West Lampung Regency. The data used were primary data obtained through observation and in-depth interviews, and secondary data obtained through documentary studies. The collected data were analyzed by using a qualitative technique. The results of this study indicate that the logging done by people was not caused by poverty, but by their displeasure against the government policy to be discriminatory between the licensing of forest management to timber company and the prohibition of forest use to local communities. In addition, the concept of illegal logging was used inappropriately to describe the case of social resistance from Atar Lebar community in conservation forest areas because of the concept of illegal logging whose implementation was imposed by government. On the one hand, the government has applied a double standard of forest management, where there is government favoritism toward business concessions by granting logging license that makes the process legal, but actually the case indicates that almost all timber companies are expansionists with impact of forest destruction in a massive scale. On the other hand, the local people trying to retain access to the sources of livelihood in forest ecosystem was accused as the perpetrators of illegal logging, but not all of the local community was expansionist. Some local people behave as conservationists, while some immigrants were expansionists. However, the State has extremely insisted that the local people living around the protected areas cause deforestation over TNBBS, in turn treating all of them with the same policy, i.e. the transfer of population through local transmigration, the abolition of village, repressive actions against farmer, the prohibition of forest use to local community, and the reforestation of conservation forest. With poor socio-economic conditions and threatened survival strategies, Atar Lebar population show a variety of social resistance as a form of protest to the State and show that they are entitled to live in dignity as citizens. These results suggest that the same policy, implemented in the same society and in the same location of study, led to different responses, because of social differentiation resulting in different consequences. Therefore, the model of pro-local community forest management should be initiated: the adoption of local knowledge, affirmative policy, and deliberative policy by the establishment of conservation village. It is expected that structurally poor marginal communities will still be located in the conservation areas with their existence supporting the preservation of forests rather than destroying it.

Kata Kunci : Pengelolaan Hutan Konservasi, Pemiskinan Masyarakat Marjinal, Perlawanan Sosial