Pergeseran Makna Belis (Sebuah Studi Pada Masyarakat Etnis Sikka Di Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur)
RUBENSON A BANFATIN, Partini
2012 | Tesis | S2 Sosiologi minat Studi PembangunanDalam perkawinan adat masyarakat etnis Sikka di Kota Kupang menempatkan mas kawin (belis) sebagai hal yang penting karena memiliki makna sebagai simbol penghargaan dan pengakuan kepada harkat dan martabat seorang perempuan. Akan tetapi dalam kenyataan sekarang praktek pembayaran belis sudah tidak dilakukan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pemahaman baru yang negatif dan masyarakat mulai menyalahkan adat istiadat. Banyak praktek yang mengatasnamakan adat dan menaikan jumlah harta belis dengan tuntutan-tuntutan yang melebihi batas kemampuan seseorang atau kelompok apalagi dikaitkan dengan masalah harga diri dan prestise. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis kualitatif deskriptif pada masyarakat etnis Sikka di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur dengan informan sebanyak 15 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mas kawin (belis) dalam tradisi perkawinan masyarakat Sikka pada awal mulanya sebelum masuknya misionaris bangsa Portugis di Sikka hanya dalam bentuk sirih pinang yang dimaknai sebagai simbol atau tanda ikatan cinta kasih dan persatuan antara suami istri serta ikatan persaudaraan antara kedua keluarga. Namun setelah masuknya pengaruh Portugis benda belis yang dulunya berupa sirih pinang digantikan dengan gading gajah yang merupakan makna simbolis kekuasaan dari leluhur masyarakat Sikka. Latar belakang munculnya gading gajah sebagai benda belis karena adanya banyak keluhan dari perempuan-perempuan Sikka yang diperlakukan tidak adil oleh laki-laki. Bagi laki-laki yang memiliki banyak harta bebas menikah lagi dan istrinya diterlantarkan begitu saja serta tidak dinafkahi. Sehingga pada masa kepemimpinan Raja Sikka yang bernama Agnes da Silva pada abad ke 17 mengatur perkawinan adat (belis) tambah ketat dengan tujuan memberikan perlindungan kepada perempuan. Masyarakat Sikka memaknai belis sebagai tanda penghargaan terhadap perempuan dan keluarganya. Benda-benda belis yang dulunya mengandung simbol kekuasaan dan status sosial kini mulai diabaikan dengan menggunakan uang sebagai penggantinya. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat Sikka saat ini, belis mengalami pergeseran makna, dimana masyarakat memaknai belis sebagai simbol prestise. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pergeseran makna belis adalah : simbol prestise, nilai ekonomi dan benda-benda belis.
In marriage customs of ethnic communities in Kupang put Sikka dowry (belis) as an important thing because it has a meaning as a symbol of appreciation and recognition to the dignity and to the dignity of a woman. But in fact now the practice has not been conducted belis payments as they should be giving rise to a new understanding of the negative and the community began to blame the customs. Many practices on behalf of indigenous peoples and raise the amount of treasure belis with demands that exceed the limits the ability of a person or group is especially associated with the issue of self esteem and prestige. The kind of research that is used the kind of qualitative descriptive on the ethnic Sikka in the Kupang of East Nusa Tenggara with the informant by as much as fifteen people.  The results showed that the dowry (belis) in the tradition of community marriage at the beginning before Sikka influx of Portuguese missionaries in the Sikka only in the form of a betel nut betel in the proposition as a symbol or a sign of unity and bond of love between husband and wife as well as the bonds of brotherhood between the two families. However after the influx of Portuguese influence, originally in the form of objects belis betel nut betel replaced with ivory elephant which is the meaning of symbolic power of ancestral community Sikka. The background to the emergence of elephant ivory objects as due to many complaints belis from Sikka women are treated unfairly by the men. For men who have a lot of free treasure remarried and his wife were abandoned completely for granted and not living. So in the time of King leadership Sikka named Agnes da Silva in the 17th century set the marriage customs (belis) add tight with the aim of providing protection to women. The community define as a sign of Sikka belis respect for women and their families. Belis objects that were once contained a symbol of power and social status are now starting to be ignored by using the money as his successor. In the development of community life today, Sikka belis experienced etymology, where the community define belis as a symbol of prestige. Dominant factors affecting the etymology belis is: a symbol of prestige, economic value and objects belis.
Kata Kunci : Pergeseran, Makna, Belis