Laporkan Masalah

BEDHAYA SEMANG KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT REAKTUALISASI SEBUAH TARI PUSAKA

Theresia Suharti, S.St.,MS., Prof. Dr. R.M. Soedarsono

2012 | Disertasi | S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Melalui pendekatan etnokoreologi dalam penelitian ini, yang didasari dari pandangan yang multidisiplin dalam sistem budaya lingkungannya, maka Bedhaya Semang sebagai tari pusaka ini bisa dicermati baik dari sisi tekstual maupun kontekstualnya. Meskipun sistem kehidupan budaya merupakan aspek yang cukup penting, namun karena Bedhaya Semang ini berasal dari masa yang telah lampau yaitu zaman Sultan Agung (1613—1645) atau zaman Mataram Islam, maka dalam memaparkannya tidak bisa meninggalkan aspek sejarah. Bedhaya Semang yang dianggap sebagai bedhaya pusaka tertua di keraton Yogyakarta, telah hampir satu abad tidak pernah tersentuh sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921—1939). Pengaruh pandangan modern sangat berpengaruh dalam perkembangan seni tari pada masa itu, sehingga banyak diciptakan bentuk-bentuk tari yang baru. Begitu tergodanya dengan sesuatu yang baru, sehingga tradisi lama seolah tersisihkan dari perhatian. Dalam perkembangan ini Bedhaya Semang akhirnya di-‘deposisi’-kan sebagai induk dari semua tari bedhaya dan serimpi di Keraton Yogyakarta. Begitu pelik dan rumitnya dalam membongkar tari Bedhaya Semang, melalui upaya yang penuh perjuangan yang berlandaskan kesabaran, akhirnya dalam penelitian pendahuluan dalam disertasi ini bisa mewujudkan kembali bentuk tarinya, yang berhasil direaktualisasikan pada tanggal 7 Oktober 2002 dalam rangka Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X yang ke tiga belas, di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta. Selanjutnya Bedhaya Semang bisa didokumentasikan dalam bentuk naskah tari yang lengkap dan mudah terbaca, serta dalam bentuk rekaman audio-visual. Sebagai sebuah dokumentasi hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan kehidupan tari di keraton Yogyakarta khususnya serta dalam ranah ilmu pengetahuan dunia tari pada umumnya.

Through the ethnochoreological approach applied in this research, based on multidiscipline view in its cultural environment, this Bedhaya Semang as a heirloom was observed from its textual as well as contextual sides. The cultural life system is considered to be a very important fact. Yet, it should be taken into consideration that Bedhaya Semang originated from the past, i.e. (1613—1645) or the era of Islamic Mataram. Consequently, this explanation cannot put aside the historical aspect. Bedhaya Semang which is regarded to be the oldest heirloom bedhaya in the Court of Yogyakarta, has not been touched for almost a century, since the reign of His Royal Highness Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921—1939). The influence of the modern perspective was realy be on the dances at the court at that time, which is so many new dances were be on the court living. So much interesting on the new thing, makes no attention on the old tradition. So on this situation Bedhaya Semang has been ‘despositioned’ as the source of all Bedhaya and Serimpi dances at the Court of Yogyakarta. It was so laborious and complicated to dissect and observe Bedhaya Semang. In spite of this fact, through an exhaustive effort accompanied by great patience, the introductory research of this dissertation had succesfully been able to put this dance into form and the reactualizationed it on October 7th, 2002 at the Bangsal Kencana of the Court of Yogyakarta, celebrating the thirteenth anniversary of the coronation of His Royal Highness Sultan Hamengku Buwono X. Then Bedhaya Semang was documented in the form of a complete dance script that could be understood easily and in the form of an audiovisual recording. It is hoped that this research will be advantageous in contributing valuable idea to the development of dance in the Court of Yogyakarta and to the scientific knowledge of dance in general.

Kata Kunci : pusaka – reaktualisasi – deposisi


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.