Laporkan Masalah

SISTEM STASIUN JARINGAN DI INDONESIA ANALISIS KEBIJAKAN dan IMPLEMENTASI TAHUN 2005 - 2010

Daniel Damaledo, SE, Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, M.Si,

2012 | Tesis | S2 Ilmu Politik/Ilmu Komunikasi

Pada era pra reformasi Indonesia khususnya di masa pemerintahan Orde Baru, media massa dikekang atau dihegemoni oleh pemerintah/penguasa. Media massa hanya diijinkan memberitakan/menyiarkan kepentingan politik ekonomi Pemerintah demi kelanggengan kekuasaan (State Centered). Media penyiaran dikontrol negara, kecuali TVRI dan RRI yang dapat memberitakan informasi sebagai corong Pemerintah. Di era Reformasi paskah kejatuhan pemerintahan Orde Baru, mengemuka tuntutan rakyat untuk kebebasan menyampaikan dan menerima informasi melalui media massa. Rakyat tidak ingin media massa diatur dan dikontrol Pemerintah. Maka pemerintahan transisi demokrasi melakukan regulasi terhadap sistem penyiaran nasional dan eksistensi lembaga penyiaran. Lahir UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengemban misi keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi siaran (diversity of content). Paling tidak ada tiga kemajuan utama dalam regulasi penyiaran nasional yang terkandung dalam UU Penyiaran yakni pertama, spirit demokratsisasi dan desentralisasi penyiaran melalui apa yang disebut Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Kedua, UU Penyiaran menghadirkan sebuah Lembaga Negara Independent yang mengatur penyiaran nasional yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dengan adanya KPI maka segala hal menyangkut isi siaran atau programa siaran tidak lagi diatur oleh Pemerintah melainkan telah menjadi kewenangan KPI. Dan kemajuan yang ketiga adalah kebebasan mendirikan lembaga penyiaran di seluruh Indonesia. Tidak ada lagi pembatasan pendirian lembaga penyiaran di daerah sebagaimana di era Orde Baru. Berdiri sepuluh Lembaga Penyiaran Televisi Swasta Nasional, ratusan Lembaga Penyiaran Televisi Lokal dan ribuan Stasiun Radio Siaran di seluruh Nusantara. Lembaga Penyiaran Nasional bebas menyiarkan berita dan program siarannya. Komisi Penyiaran Indonesia dibentuk sebagai representasi kepentingan publik mengatur dan mengawasi regulasi penyiaran dan operasional lembaga penyiaran. Kebebasan mendirikan dan mengelola media penyiaran adalah hal positif dan mutlak diperlukan, namun muncul hegemoni baru di industri penyiaran oleh kalangan swasta pemilik modal. Penguasaan media penyiaran oleh segelintir pemilik modal Jakarta dengan sistem siaran yang sentralistik dan isi siaran yang monokulturalisme telah menjadi keresahan baru. Media massa telah terbebas dari hegemoni negara/pemerintah (state centered) namun akhirnya jatuh dan dikuasai oleh kaum kapital yakni pemilik modal Jakarta dgn isi Siaran yang sentralistik dan hanya berfokus mementingkan keuntungan (market centered). Penguasaan publik sphere oleh sepuluh Lembaga Penyiaran di Jakarta inilah mengakibatkan 80 % Rakyat Indonesia ‘dipaksa ‘menonton siaran televisi yang sentralistik dengan isi siaran yang sarat dengan 5 ’lima sila’ atau 5.S (SARA, Saru, Sadis, Sihir, Sesat) setiap hari. Undang Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah mengamanatkan demokratisasi/desentralisasi Penyiaran, bahkan juga terdapat dalam aturan pelaksanannyannya yaitu PP No 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggraan LPS, dan aturan teknisnhya yakni Permenkominfo No 43 Tahun 2009 tentang Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Permen No 43 Tahun 2009 tentang SSJ adalah aturan atau ketentuan teknis bagi Lembaga Penyiaran Radio dan Televisi untuk membangun dan mengelola operasional siarannya agar tidak lagi secara sentralistik melainkan harus secara desentralisasi. Sistem penyiaran desentralisasi yang dimaksud adalah bahwa siaran televisi yang dipancarkan dari stasiun induk di Jakarta agar siarannya dapat diterima di daerah maka harus berjaringan dengan stasiun lokal yang berada didaerah tersebut. Dengan sistem inilah demokratisasi dan desentralisasi penyiaran dimulai yakni pemerataan kepemilikan (diversity of ownership) dan pemerataan informasi (diversity of content). Dengan sistem penyiaran berjaringan ini maka lembaga penyiaran di Indonesia memasuki era demokratisasi yaitu fase yang mengharuskan media penyiaran mengabdi pada kepentingan publik (public-centered). Demokrasi penyiaran menghendaki adanya keberagaman kepemilikan dan informasi/isi siaran, menjamin kebebasan aliran ide dan posisi multikulturalisme. SSJ dipilih menjadi instrumen teknis menuju demokratisasi dan desentralisasi penyiaran di Indonensia dengan kriteria sebagai berikut: 􀂾 Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) membangun pemerataan dan keberagaman informasi. 􀂾 Terdapat persentase durasi siaran lokal yang harus diputar pada jam tayang utama dan harus dipenuhi secara bertahap sesuai ketentuan SSJ tak hanya membangun keberagaman isi siaran, tapi SDM lokal yang terlibat dalam produksinya dan dipancarkan melalui studio siaran lokalnya. 􀂾 SDM lokal berperan menghidupkan industri kreatif dunia penyiaran dan lapangan kerja di daerah. 􀂾 SSJ membuka ruang kemitraan lembaga pendidikan/perguruan tinggi yang relevan. 􀂾 SSJ akan menarik gerbong investasi ke daerah baik badan hukum lokal maupun rumah rumah produksi. 􀂾 SSJ memberdayakan masyarakat daerah menuju kesejahteraan, dengan mempromosikan semua produk lokal dan berbagai pencerahan lainnya. Setelah sepuluh tahun UU Penyiaran, enam tahun berlakunya PP nomor 50 tahun 2005, tetapi sistim penyiaran televisi yang sentralistik masih belum berubah. Monopoli sepuluh lembaga penyiaran swasta nasional dengan ratusan stasiun rileinya masih tetap beroperasi seperti sediakala yakni secara sentralistik dari Jakarta dan direlai serentak di seluruh wilayah Indonesia. Ketentuan SSJ mengalami penundaan terus menerus dan hingga kini belum terwujud, bahkan praktek penyimpangan ditemukan dalam industri penyiaran di Indonesia misalnya tidak diterapkannya ketentuan minimal 10% isi siaran lokal pada prime time setiap hari oleh sepuluh stasiun televisi nasional di Jakarta. Demikian pula tidak diprioritaskannya alokasi kanal siaran televisi bagi stasiun televisi lokal di daerah sebagai basis bagi penerapan SSJ. Dalam kelemahan kewenangannya, KPI tidak berdaya dan melakukan pembiaran ketika stasiun televisi Jakarta tidak menerapkan SSJ. Di sisi lain Pemerintah cenderung berpihak kapada industri penyiaran dari pada membela kepentingan dan hak publik. Pertanyaan mendasar: Bagaimanakah kebijakan yang termuat dalam ketiga peraturan perundangan yang meregulasi penyiaran, yakni UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan LPS, dan Permenkominfo No 43 Tahun 2009 tentang SSJ. Mengapakah SSJ belum dapat diimplementasikan bahkan terabaikan hingga saat ini ? Keterlambatan bahkan kecenderungan pengabaian penerapan SSJ oleh industri pertelevisian nasional kita bukanlah masalah sederhana, bukan pula masalah dalam lingkup ekonomi atau industri semata, melainkan masalah nasional, masalah bangsa. Menurut hasil penelitian LSI 80% rakyat Indonensia menonton televisi setiap hari, maka televisi telah menjadi layar besar atau mimbar besar bangsa ini, bahkan dapat dikatakan menjadi guru bagi bangsa terutama generasi muda kita. Oleh karenanya penataan sistem penyiaran merupakan kebutuhan krusial Negara mengingat media massa/penyiaran memiliki kekuatan membentuk sikap perilaku bahkan dapat mempengaruhi iman setiap warga bangsa. Berdasarkan uraian singkat diatas, maka penulis ingin menelusuri dan menganalisis ketiga peraturan perundangan di bidang penyiaran yaitu UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), dan Permenkominfo No. 43 Tahun 2009 tentang Sistem Stasiun jaringan (SSJ) sebagai obyek penelitian. Apa yang terjadi dengan penerapan SSJ yang tertunda bahkan tidak ada kepastian hingga kini. Jadi yang menjadi obyek penelitian adalah ketiga peraturan perundangan tersebut sebagai aspek kebijakan regulasi yang dibedah dan dianalisis. Penulis juga melakukan penelusuran terhadap fenomena perkembangan penerapan SSJ yang diambil berbagai naskah, tulisan, dan pemberitaan berbagai media internet sebagai data sekunder. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi evaluasi penataan sistem penyaiaran nasional yang demokratis bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara ke depan.

-

Kata Kunci : Sistem penyiaran, lembaga penyiaran


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.