Laporkan Masalah

RESPONSIVITAS PEMERINTAH DAERAH TERHADAP ISU PEMERINTAHAN ASLI KAMPUNG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUBUNGAN KERJASAMA PEMERINTAHAN DESA DENGAN PEMERINTAHAN ONDOAFI/ONDOFOLO PADA MASYARAKAT ADAT SUKU SENTANI KABUPATEN JAYAPURA

IBRAHIM KRISTOFOL KENDI, S.SOS, Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si,

2011 | Tesis | S2 Magister Adm. Publik

Rupa-rupa kebijakan pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan Papua sudah diluncurkan. Yang paling mutakhir adalah Otonomi Khusus. Kebijakan yang disebut Barnabas Suebu, Gubernur Papua, sebagai kebijakan untuk “menyelesaikan masalah Papua dengan cara Papua” ini memberi wewenang kepada masyarakat Papua untuk menentukan arah pembangunannya sendiri sesuai dengan karakteristik adat dan kebudayaan mereka. Pasal 43 ayat (1) Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di uraikan pemerintah provinsi papua wajib mengakui menghormati dan melindungi memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Wilayah Kabupaten Jayapura masih tetap eksis memelihara keaslian budayanya dengan mempertahankan Struktur Pemerintahan Tradisional (Ondoafi/Ondofolo) yang di jumpai saat ini. Dewasa ini di daerah suku bangsa Sentani terdapat dua macam sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan formal berupa pemerintah desa dan sistem pemerintahan non formal yang disebut pemerintahan adat (tradisional). Pemerintah desa merupakan pemerintahan paling rendah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berada dibawah pemerintahan Kecamatan/Distrik. Pemerintahan adat (tradisional) merupakan pemerintah asli suku bangsa setempat (Sentani) yang sudah ada sejak jaman purbakala secara turun-temurun. Untuk mewujudkan hal tersebut diatas, keinginan masyarakat adat sentani dalam hal pengembalian identitas kampung yang telah hilang sejak dipaksakannya struktur pemerintahan desa hasil politik pemberdayaan masa Orde Baru, LSM AFP3 dan Dewan Adat Sentani (DAS) meminta dukungan pemerintah terhadap penguatan kapasitas institusi Ondoafi/Ondofolo sesuai amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pengembalian sistem pemerintahan asli kampung intinya adalah kepala kampung atau kepala desa dijabat langsung oleh Ondoafi/Ondofolo. Dengan demikian kapasitas Ondoafi/Ondofolo diperoleh melalui legitimasi hukum formal (Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004), serta legimimasi melalui pengakuan masyarakat tentang eksistensi seorang Ondoafi sebagai kepala adat di setiap kampung. Pengembalian sistem pemerintahan asli kampung telah di rampungkan dalam sebuah RAPERDA namun hingga saat ini pemerintah kabupaten jayapura tidak meresponnya, sehingga berpengaruh pula terhadap hubungan kerjasama antara pemerinah desa dan pemerintahan Ondoafi/Ondofolo dalam implementasi kebijakan di setiap kampung. Lembaga Peradilan Adat, Polisi Adat, sebagai alternatif terakhir jika RAPERDA tersebut tidak di sahkan, kedua tersebut harus diakui keberadaannya di setiap kampung karena merupakan bagian dari struktur pemerintahan Ondoafi/Ondofolo yang telah teruji dan bertahan hingga saat ini. Pro dan kontra antara legimasi kepemimpinan Ondoafi/Ondofolo dan kepala desa diakibatkan oleh tugas dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu kerjasama perlu dilakukan dengan merevitalisasi lembaga-lembaga yang dianggap mampu menyatukan kedua sistem pemerintahan ini yaitu peradilan adat dan polisi adat. Peradilan adat berfungsi mengadili dan memperdamaikan pihak-pihak yang bertikai sementara polisi adat bertugas mengamankan sumber-sumber kekayaan desa yang dianggap sangat vital bagi kehidupan masyarakat adat sentani secara berkesinambungan di wilayah tersebut.

Miscellaneous government policy to encourage the accelerated development of Papua has been launched. The most recent is the Special Autonomy. Policy called Barnabas Suebu, the Governor of Papua, as a policy to \"solve the problem of Papua with Papua way\" gives authority to the Papuan people to determine the direction of its own development in accordance with the characteristics of their customs and culture. Article 43 paragraph (1) of Law No. 21 of 2001 on Special Autonomy for Papua Province in Papua province have described the government must acknowledge respect and protect empower and develop the rights of indigenous peoples based on the provisions of applicable law. Jayapura regency still exist to maintain their culture while maintaining the authenticity of Traditional Governance Structure (Ondoafi / Ondofolo) are encountered at this time. Today in the Sentani tribe there are two kinds of systems of government. Formal system of government in the form of village government and non-formal system of government called the traditional government. Village government is the lowest of government in the Republic of Indonesia (NKRI) under District government. Government adat (traditional) is an indigenous tribe local government (Sentani), which has existed since ancient times for generations. To realize the above, the desire of indigenous peoples in terms of return Sentani village identity has been lost since the imposition of village governance structure of the political empowerment of the New Order era, the struggle of indigenous peoples Sentani which was facilitated by NGOs AFP3 and Sentani Tribal Council (DAS) for support government towards strengthening institutional capacity Ondoafi / Ondofolo as mandated by Law No.. 21 of 2001 regarding Special Autonomy for Papua Province. Returns the original village core system of government is the village chief or village head is held directly by Ondoafi / Ondofolo. Thus the capacity Ondoafi / Ondofolo obtained through formal legal legitimacy (Act No. 5 of 1979 and Law No. 32 of 2004), as well as legimimasi through public recognition of the existence of a Ondoafi as chiefs in each village. Returns the original village system of government has been Completes in a draft, but until now Jayapura district government did not respond, so that also affect the relationship of cooperation between villagers and government GOI Ondoafi / Ondofolo in policy implementation in each village Justice Institute of Indigenous Peoples, Indigenous Police, as an alternative last if the draft is not in the two passes must be acknowledged in every village because it is part of the governance structure Ondoafi / Ondofolo that have been tested and survived until today. Pros and cons between leadership legimasi Ondoafi / Ondofolo and village heads caused by the duties and functions of each. Therefore, cooperation needs to be done to revitalize the institutions that are considered able to unite these two systems of justice administration and police indigenous peoples. Traditional judicial function to hear and reconcile the warring parties while customs duty police officers secure the resources of the village which is considered vital to the lives of indigenous peoples in sustainable Sentani in the region.

Kata Kunci : Sistem pemerintahan desa, pemerintahan ondoafi/ondofolo, suku Sentani


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.