REKONSTRUKSI IDENTITAS DAYAK PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN BARAT

A. Muhrotien, Prof. Dr. Irwan Abdullah

2011 | Disertasi | S3 Agama dan Lintas Budaya

Penelitian yang berjudul “Rekonstruksi Identitas Dayak di Era Otonomi Daerah” ini dilaksanakan selama enam bulan pada tiga kabupaten yang memiliki sejarah berbeda dari segi konflik etnik, yaitu Bengkayang, Kapuas Hulu, dan Ketapang. Penelitian ini difokuskan pada konstruksi identitas pada masyarakat Dayak khususnya di era otonomi daerah; bagaimana hubungan atau dialektika antara agama Katolik dengan Budaya Lokal; mencari akar permasalahan terjadinya konflik di Kalimantan Barat dan bagaimana seharusnya konflik tersebut diselesaikan agar konflik tidak terulang lagi; dan proses pembentukan identitas Dayak, terutama setelah era otonomi daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik, dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif analitik digunakan untuk menggambarkan status kelompok manusia yang sedang berlangsung. Pendekatan kualitatif menekankan pada prosedur penelitian dengan menggunakan data kualitatif dengan kajian etnografi. Kajian etnografi dimaksudkan untuk memahami kehidupan masyarakat berdasarkan sudut pandang dari masyarakat yang bersangkutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa terminologi Dayak berasal dari luar yang digunakan orang Eropa untuk membedakannya dengan penduduk yang beragama Islam. Kata ’Dayak’ pada masa Orde Lama dan jauh sebelumnya berkonotasi penghinaan. Berbagai tipikal buruk yang terdapat pada orang asli Borneo selalu dilekatkan pada orang Dayak. Misionaris Katolik menggunakan terminologi ini dalam penyebaran agama Katolik. Pada akhirnya, kata Dayak memang bisa mempersatukan penduduk asli Borneo yang bukan Islam. Peran Gereja Katolik tidak terbantahkan dalam mempersatukan suku Dayak. Lahirnya Partai Persatuan Dayak juga tidak terlepas dari peran Gereja Katolik. Pada era otonomi daerah ini identitas Dayak semakin menguat. Isu putra daerah masih merupakan isu yang dominan. Isu etnisitas masih menonjol di Kalimantan Barat. Penguatan isu etnisitas ini seiring dengan perubahan politik pada tingkat nasional dan adanya kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah. Dalam realitasnya, hal ini telah memunculkan sebuah fenomena politik identitas. Proses politik dan rekrutmen kepemimpinan di daerah selama masa sepuluh tahun terakhir cenderung didasarkan pada parameter-parameter asalusul daerah dan etnik. Menguatnya identitas Dayak juga dapat dilihat dari aspek budaya Dayak. Identitas Dayak semakin menguat salah satunya disebabkan oleh kesadaran internal sendiri untuk membangkitkan kembali semangat kedayakan dalam berbagai bentuk termasuk dalam memperebutkan posisi penting dalam kepemimpinan lokal.

The research project entitled Dayak Identity Reconstruction in the Era of Otonomi Daerah takes place in three districts namely Bengkayang, Kapuas Hulu and Ketapang, and is conducted in six months. This research focused on the construction of identity in the Dayak community, especially in the era of Otonomi Daerah; how the dialectical between the Catholic with Local Culture happen; find the main causes of conflict in West Kalimantan and how that conflict should be resolved; and the construction process of Dayak identity, especially after the era of Otonomi Daerah. The project employs qualitative approach and descriptive analytical method. The method functions in describing human group status in the research time. The qualitative approach focuses on research procedure dealing with qualitative data from ethnographic studies. The ethnographic studies attempt to understand the society based on the point of views of its members. The findings of the project indicate that the terminology of Dayak came from the colonial era which was aimed at differentiating the non-Muslim local from the Muslim in the region. The word Dayak was also used by the Old Order elites and even before them as a word of humiliation. There was a Dayak label making to bad habits for the native of Borneo. In addition, the Catholic missionaries also used this terminology in their missionary work. And the project suggests that the word Dayak could unite the non Muslim local of Borneo. The role of Catholic churches is evident in the unity process. The establishment of the Partai Persatuan Dayak or the Dayak Unity Party was among others as part of Catholic churches support. In the era of Otonomi Daerah, the Dayak identity has been stronger, especially in the case of election time of the governor of West Borneo. The issue of local figure/elite is still central to the event. The condition shows that ethnic issues are still as stake in Wets Kalimantan. The strong ethnic issues have been influenced by political situation in national level and the decentralization policy or the Otonomi Daerah. In addition, the condition has promoted the emergence of politic of identity. Political and recruitment process of local leaders in the last ten years tends to be based on ethnic and regional records. Dayak’s identity has become more robust due to of the internal consciousness to redeveloping the Dayak’s enthusiasm in every single aspect including on how to gain a crucial position of local leadership.

Kata Kunci : Rekonstruksi, Identitas, Dayak,