Laporkan Masalah

PERKEMBANGAN BENTUK PERTUNJUKAN SAKURA DALAM KONTEKS KEHIDUPAN MASYARAKAT LAMPUNG BARAT DARI TAHUN 1986 - 2009

I WAYAN MUSTIKA, Prof. Dr. R.M. Soedarsono

2011 | Disertasi | S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Penelitian yang mengkaji perkembangan bentuk pertunjukan Sakura dalam konteks kehidupan masyarakat Lampung Barat tahun 1986 sampai 2009 ini, merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan performance studies dengan mengutamakan etnokoreologi. Oleh karena, dalam disiplin etnokoreologi memiliki kategori gerak tari, konsep garap, desain lantai, tatabusana, musik, bentuk pementasan, dan digunakan sistem analisis Notasi Laban. Di samping itu, etnokoreologi dipandang sebagai ranah dance studies yaitu sistem analisis tari yang memadukan penelitian tekstual dengan penelitian kontekstual. Seni Sakura memiliki berbagai bentuk penampilan, sehingga dalam kajiannya akan melibatkan pula metode, teori maupun konsep-konsep disiplin lainnya. Penelitian untuk disertasi ini juga menyajikan pembahasan tekstual secara lebih rinci, yaitu dengan melakukan analisis perkembangan, bentuk penampilan, maupun fungsi Sakura dari unsur-unsur yang membangun kehidupan masyarakat Lampung Barat. Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui tanggapan masyarakat Lampung Barat terhadap perkembangan dan fungsi seni Sakura yang memiliki kedudukan di dalam hari besar agama Islam yaitu Idul Fitri. Terwujudnya seni Sakura sebagai ajang ngejalang atau berkumpulnya masyarakat Liwa untuk saling bermaaf-maafkan pada saat Idul Fitri, memberikan nuansa yang sangat damai, sehingga terciptalah kerukunan dalam bermasyarakat. Sakura yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat Liwa tidak hanya memperkenalkan Sakura sebagai seni hiburan pada saat Idul Fitri, namun dari sisi perubahan sosial masyarakatnya mengakibatkan perkembangan Sakura semakin dikenal oleh masyarakat luas. Awal mulanya seni Sakura digunakan untuk syukuran hasil panen padi dan keselamatan desa oleh leluhurnya orang Lampung yaitu buay tumi, berkembang menjadi ajang silaturahmi untuk menyambut Idul Fitri. Kemudian, seni Sakura berkembang pula dengan berbagai bentuk penampilan seperti Sakura Nyakak Buah, Sakura parade keliling desa, Sakura penyambutan tamu, Sakura Seribu Wajah, dan Sakura sebagai tari kreasi. Ini mencerminkan ada kemajuan dalam kehidupan masyarakat Liwa terhadap usaha pelestarian seni Sakura sebagai warisan budaya nenek moyangnya. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa, Sakura pada masa lampau memang berawal dari seni ritual, yang telah mengalami perubahan dan perkembangan di Liwa. Kehadiran Sakura berawal pada saat Liwa sedang mengalami kerusuhan pada tahun 1986 dan bangkit kembali mulai 1988 sampai 2009. Terkait dengan identitas daerah dalam mencari jati diri, Pemerintah Lampung Barat menjadikan Sakura sebagai simbol silaturahmi untuk memajukan pariwisata.

The study is aimed at describing the development of Sakura art performance in the context of West Lampung people from the period of 1986 to 2009. This qualitative study uses performance Studies and ethnochoreology as the main framework. Ethnochoreology has some categories of dance movement, production concept, floor design, dressing, music, performance form. Laban Notation is used. In addition, ethnochoreology is viewed as dance studies, that is the analysis system of dance that integrate textual study and contextual study. The art of Sakura has some forms of appearance. Thus, the performance involves methods, theories, and other related concepts. The study presents detailed textual discussion through the analyses of development, forms of appearance, and function of Sakura from the elements that constitute the life of West Lampung people. This study is intended to identify the response of West Lampung people to the development and function of Sakura art in its special position in Islamic sacred day of Idul Fitri. The art of Sakura as a forum of ngejalang or the gathering of Liwa people to pass mutual forgiveness in Idul Fitri, presents peaceful nuance that is conducive for social peace. Sakura which has been a long standing generation in Liwa presents more than just entertainment in Idul Fitri, but also inspire social transformation. Thus, Sakura becomes more popular. Sakura is also performed to thank the abundant rice harvest and to pray for village safety to Liwa’s ancestors of buay tumi. It develops into a forum of silaturahmi (mutual visit) in welcoming Idul Fitri. The art of Sakura in later time also develops into various forms of performance such as Sakura Nyakak Buah, Sakura of aroundvillage parade, Sakura of guest welcoming, Sakura Seribu Wajah, and Sakura as creative dance. This reflects improvements in the life of the people of Liwa in reserving the art of Sakura inherited from the ancestors. The results of the study suggest that Sakura in past time was originally used in ritual services. It has been transformed and developed in Liwa. The pesence of Sakura started when Liwa was in riot in 1986 and revoked since the period of 1988 to 2009. With regard to the region in seeking self identity, the government of West Lampung made Sakura the symbol of silaturahmi to promote tourism.

Kata Kunci : Sakura, Buay tumi, Ngejalang, Perkembangan, Penampilan, dan Fungsi Sakura


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.