Laporkan Masalah

Politik (Seksual) atas Tubuh Perempuan: Sejarah Perbudakan Seksual Pada Masa Fasisme Jepang dan Neo-Fasisme Orde Baru di Indonesia, Sebuah Perbandingan

Anna Mariana, S.S., Prof. Dr. Bambang Purwanto, MA.

2011 | Tesis | S2 Sejarah

Karakter merupakan elemen yang menonjol dalam penilaian terhadap watak seseorang maupun kelompok. Bagi sebuah negara, karakter dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh penguasa atas berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam konteks itulah, karakter sebuah negara fasis dapat kita nilai yaitu dalam situasi pemerintahan yang otoriter, diktator, sistem politik partai tunggal, rasis dan militeris. Pada intinya adalah negara menjadi sentral dalam segala hal. Pembentukan rezim fasis di Indonesia terjadi pada masa penjajahan Jepang dan masa Orde Baru. Pemobilisasian masyarakat melalui pengerahan tenaga kerja paksa dan sumber daya alam pada masa kekuasaan Jepang menjadi ciri khas rezim ini untuk memenuhi kebutuhan perang. Sang penguasa pun mengatur masyarakat di berbagai ranah kehidupan agar mudah mengendalikan melalui kontrol pers, penertiban organisasi massa, hingga “menciptakan” “musuh-musuh” negara dan mengasingkannya. Warisan karakter negara fasis Jepang mengalami keterulangan pola pada masa setelah kemerdekaan, yakni pada masa Orde Baru. Karakter Orde Baru yang terwujud dalam pemobilisasian massa untuk pembangunan, penguasa partai tunggal, diktator, otoriter sekaligus berwatak militeristik adalah wujud nyata sebuah negara neo-fasis. Rezim Neo-fasis Orde Baru mengadopsi nilai-nilai fasisme dengan menambahkan modifikasi dalam praktiknya dengan “Politik pemaknaan” dan “Perintah halus” untuk melawan “musuh-musuh” negara. Satu catatan penting pada dua masa rezim fasis ini adalah kebijakan “membungkam” para “musuh” negara yang terwujud dalam kebijakan politik seksual terhadap “musuh negara” perempuan. Kebijakan ini melahirkan praktik perbudakan seksual yang secara sistemik didesain oleh rezim yang dialami oleh para perempuan “musuh negara”. Kekusaan dan ideologi fasis baik pada masa penjajahan Jepang dan Orde Baru telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehadiran beribu-ribu perempuan tak berdosa yang menjadi budak seks politik kekuasaan. Studi ini berfokus pada kebijakan politik (seksual) dua rezim yang berkarakter fasis yang melakukan eksploitasi seksual terhadap perempuan, dimana kedudukan perempuan berhadaphadapan dengan kekuasaan laki-laki. Tesis ini menemukan bagaimana karakter sebuah negara fasis (laki-laki) telah memberi alur kekerasan secara sistemik atas tubuh perempuan. Kondisi karakter rezim fasis itu telah menyeret para perempuan (warga negara)-nya menjadi budak seks, dinistakan dan dihinakan.

Characters are essential elements in determining someone’s or some group’s nature. In the case of a country (regime), the characters are visible from the policies taken by the ruler over various aspects of the society’s life. In that context, we are permitted to determine a fascist country. Are its characters, authoritarian governmental situation, mono-party political system, dictatorship, racism and militarism. The core character is that the State is supposed to be central in any matter of life. A fascist regime formation once took placed in Indonesa in the time of Japanese colonialism. Citizens mobilization and strict controls over them for the war’s sake is a good example of a real fascist policy. Besides, the regime applied the policies of regulating press, controlling mass organizations, and putting the State’s enemies into exile. The inherited fascist characters of the Japanese occupation was reified in the after independence era, that was in the New Order time. The New Order as a fascist regime could be seen in mass mobilization, mono party system, dictatorship, and in its militaristic nature was a real being of a neo-fascist regime. New Order adopted values of facism with modificated in their practise with “Political meaning” and “smooth order”for spread terror over its enemies state. A notable remark for the two fascist regimes eras is the existence of the sexual slavery problems, that left a prolonged traumas for the victims. Sexual slavery of the two regimes was part of their political policies for “silencing” the State’s enemies. In the time of Japanese occupation, the women turned into sexual slaves were known as Jugun Ianfu, while in the New Order era they were political prisoner women forced to become political power sexual slaves. Understanding the political policies of the two regimes could be an entrance point for explaining why in those two regimes sexual exploitations over women happened. This thesis is to resolve how the characters of a fascist regime provide possibility of violence over women through its political policies. Sexual politics of those regimes eventually dragged their (citizen) women into sexual slavery, annihilated and totally humiliated.

Kata Kunci : Fasisme, Perbudakan seks, Militerisme, Perbandingan.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.