Laporkan Masalah

PIETY REVISITED : THE CASE OF PESANTREN KHUSUS WARIA ALFATTAH SENIN-KAMIS YOGYAKARTA

Dian Maya Safitri, Prof. Dr. Elaine K. Swatzentruber

2011 | Tesis | S2 Agama dan Lintas Budaya

Menjadi waria yang ‘lebih saleh’ telah menjadi kebutuhan yang nyata bagi komunitas waria di zaman modern ini, seperti yang telah ditunjukkan oleh sebuah komunitas religious bagi para waria bernama Pesantren Khusus Waria Al-Fattah Senin-Kamis (selanjutnya akan disingkat menjadi ‘Pesantren Waria’). Pesantren ini bertujuan untuk menegosiasikan embodiment dalam pelaksanaan ritual-ritual Islam melalui khutbah progresif, kebebasan untuk memilih identitas relijius ketika melaksanakan sholat jamaah, dan jilbab. Prinsip utama yang mendasari terbentuknya komunitas ini adalah ‘perasaan nyaman’. Dengan menggunakan teori Mahmood, tesis ini berargumen bahwa proses untuk menjadi pribadi yang saleh terjadi melalui kesadaran individual, walaupun subjektivitas waria sangat dipengaruhi oleh logika hegemonis bahwa mereka itu adalah ‘wanita palsu’. Hal ini berbeda dengan konsep Bourdieu yang menyatakan bahwa kesalehan adalah sesuatu yang ‘spontan’. Selain itu, penulis juga memakai teori Peletz yang berargumen bahwa semua hal yang berhubungan dengan ‘perbedaan’, termasuk variasi gender, semestinya didukung dan dilindungi oleh masyarakat, pemerintah, dan pemimpin agama. Proteksi semacam ini merupakan bagian penting dari ‘legitimasi kultural’. Berdasarkan penelitian lapangan yang penulis dapatkan, toleransi masyarakat Jawa dan kepedulian dari Kesultanan Yogyakarta telah menciptakan sebuah kota yang ‘pluralis’ bagi komunitas waria. Hal ini menunjukkan bahwa Pesantren Waria merupakan sebuah contoh efektif akan adanya fenomena hidden transcript (Scott 1990) dan imaginary space (Blackwood 2005b) bagi para individu yang memiliki pemikiran yang sama. Kontribusi dari penelitian ini adalah : (1) Menjadi sebuah pemahaman kritis tentang paradigma ‘kesalehan’ dan menjadi sumber literatur akademis tentang kesalehan kaum waria yang berfungsi sebagai ‘jalan tengah’ dari binari ‘penindasan versus kebebasan’, (2) Sebagai argument tentang pentingnya toleransi terhadap pluralism gender dan legitimasi (kultural) di Indonesia.

The need to be ‘more pious’ among waria (Indonesian transgender and transsexual) community in this modern world is self-evident, like what has proven by community bonded by piety identified as Pesantren Khusus Waria Al-Fattah Senin-Kamis Yogyakarta (hereafter pesantren waria). This ‘pesantren’ has the objective to negotiate Islamic religious embodiment for waria’s spiritual needs through progressive preaching, freedom to choose religious identity when performing communal prayer (shalat jamaah), and to don the veil (jilbab). The underlying principal of this kind of community is ‘secure feeling’. In addition, following Mahmood, this thesis argues that the making of pious selfhood operates under individual consciousness instead of Bourdieu’s concept of ‘spontaneity’, although waria subjectivity is much influenced by hegemonic logic that they are ‘fake women’. Furthermore, following Peletz (2009) I also suggest that any kind of ‘differences’, including gender variations, need to be advocated and safeguarded within society, government, and religious leaders. This protection is an element of ‘cultural legitimacy’. Based upon my fieldwork study, Javanese tolerance and concern from the Yogyakarta Sultanate have rendered this city ‘pluralist’ for waria community. Accordingly, the pesantren waria has become an instance of effective ‘hidden transcript’ (Scott 1990) and ‘imaginary space’ (Blackwood 2005b) for like-minded pluralist individuals. This study contributes to : (1) a more critical understanding of the so- called ‘piety’ and fill the void of the discussion of pious movement in queer literature as ‘middle way’ of mythical juxtaposition of ‘oppression-liberty’, (2) an argument about the significance of tolerance and cultural legitimacy over gender pluralism and in Indonesia.

Kata Kunci : kesalehan, embodiment, negosiasi, Pesantren Waria, legitimasi kultural, pluralism gender


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.