Laporkan Masalah

KEBIJAKAN SOSIAL DI KOTA BANJAR PASCAPEMEKARAN Sebuah Studi Kasus tentang Pola Kebijakan Sosial dan Populisme Baru di Tingkat Lokal di Indonesia

Asep Mulyana, Wawan Mas'udi, S.I.P., M.P.A.

2011 | Tesis | S2 Politik dan Pemerintahan

Studi ini berangkat dari pertanyaan penting, yaitu bagaimana pola kebijakan sosial di Kota Banjar? Pertanyaan penelitian tersebut berangkat dari fenomena yang terjadi di Kota Banjar pascapemekaran dimana Pemerintah Kota (Pemkot) Banjar meluncurkan berbagai kebijakan sosial yang bertendensi untuk meningkatkan kapabilitas dan kemampuan ekonomi masyarakat, utamanya masyarakat miskin. Fenomena ini sebetulnya bukan sama sekali baru. Beberapa daerah di Indonesia pada era desentralisasi membangun kebijakan-kebijakan sosial yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Namun demikian, hingga kini belum ada eksplanasi teoritik yang dapat menjelaskan secara memadai fenomena tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, studi ini menjadikan pengalaman Kota Banjar sebagai kasus. Pemkot Banjar meluncurkan tiga kebijakan sosial utama, yaitu kebijakan sosial di sektor pendidikan, kesehatan, dan pedesaan. Kebijakan sosial tersebut ditopang pula dengan pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur sektoral (pendidikan, kesehatan, dan pedesaan) maupun infrastruktur perkotaan untuk memuluskan roda perekonomian di daerah tersebut. Studi ini menggunakan kerangka kerja yang disusun oleh Jayasuriya (2006). Menurut Jayasuriya, kebijakan sosial di negara-negara berkembang lahir atas kebutuhan rejim neoliberalisme global untuk mengintegrasikan kewargaan (citizenship) ke dalam pasar. Kebijakan-kebijakan sosial yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya masyarakat miskin, difokuskan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat agar selaras dan sejalan dengan kebutuhan pasar. Karena dibangun di atas fondasi kewargaan pasar (market citizenship) semacam itu, dan bukan melalui pembentukan pakta sosial yang berlangsung dalam negosiasi yang alot antara negara, warga, dan pasar, maka pola kebijakan sosial di negara berkembang menunjukkan watak yang antipolitik dan menonjolkan peran agen yang aktif. Dalam banyak hal, studi yang dilakukan Jayasuriya sangat dekat dengan kebutuhan untuk menjelaskan pola kebijakan sosial di tingkat lokal di Indonesia. Dalam kasus Banjar, studi ini meneliti konteks lokal yang mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan sosial prorakyat miskin, termasuk kemunculan elit populis yang bersinergi dengan gagasan-gagasan neoliberal Paska-Konsensus Washington (PKW) yang mengintegrasikan dimensi sosial dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Penelitian ini juga menemukan bagaimana populisme baru di Kota Banjar bekerja secara sentral, personal, dan tanpa kontrol, termasuk mengendalikan kekuatan politik lain dan mengabsenkan politisasi dan representasi dalam pelembagaan kebijakan sosial. Perhatian atas isu-isu tersebut dibutuhkan untuk melihat konsekuensi-konsekuensi logis dari situasi tersebut terhadap demokrasi. Sejauh ini muncul dilema-dilema di mana demokrasi dan kesejahteraan dinilai tidak selalu berjalan berdampingan. Kesejahteraan yang pernah dicapai oleh rejim-rejim developmentalisme di Asia Timur menunjukkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai melalui tangan besi. Kajian mengenai pola kebijakan sosial di tingkat lokal di Indonesia dengan menjadikan Kota Banjar sebagai kasus diharapkan memberikan kontribusi teoritik baru tentang dilema yang sama pasca-rejim developmentalisme.

This study is conducted with a starting point of an important question, i.e. how are social policies applied in Banjar Municipality? The research question are started from an interesting phenomenon where the Municipal Government of Banjar issued some social policies after the splitting of the region to improve the economic capacity of society, particularly the poor people. The phenomenon is actually not a neo thing. In decentralization era some local governments of Indonesia have developed the social policies with affirmation to the improvement of social welfare among the poor people. However, there is no adequate theoretical explanation on such local phenomenon. To answer the question, the study makes the experience in Banjar Municipality as a case. The Municipal Government of Banjar has issued the social policies in three main sectors, i.e. education, health and rural sector. The policies are supported also by the development of infrastructures in the three sectors, as well as urban infrastructures for increasing economic development in the region. The study used a framework proposed by Jayasuriya (2006). According to him the social policies in developing countries are issued for meeting the needs of global neoliberalism regimes of intregating citizenship into market. Such social policies for the improvement of society, particularly the poor people, are focused to strengthen the capability of society to be in line with the needs of market. Because of being built on the base of such market citizenship but not through the formation of social pacts in the prolonged negotiation among the state, citizen, and market, the pattern of social policy in the developing countries indicates antipolitical nature and promotes the active role of agents. In many respects, the study conducted by Jayasuriya is significantly relevant to the need of explaining the pattern of social policy at local level throughout Indonesia. In Banjar case, the study addressed the underlying local context of the pro-poor social policies, including the emergence of populist elites in sinergy with the neoliberal ideas after the Post-Washington Consensus, which integrates social dimensions in economic development policy. Therefore, the purpose of the study is to analyze the development of the neo-populism in Banjar Municipality, including in controlling other political powers and making the politization and representation absent in the formulation and institutionalization of social policy. Attention to such issues is required to observe the logical consequencies of the political situation on democracy. Dillemas appeared where democracy and welfare are assessed to be not able to achieve in a simulatenous manner. The social welfare ever achieved by developmentalism regimes in East Asia shows that the social welfare can be achieved by an iron hand domination technique. It is expected that the study on the pattern of social policies at local level throughout Indonesia with Banjar Municipality as the case can make neo theoretical contribution on the same dillemas after the era of developmentalism regime.

Kata Kunci : populisme baru, kebijakan sosial, politik kesejahteraan, neoliberalisme


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.