IMPLIKASI DAN SIGNIFIKANSI UNDANG-UNDANG KERJASAMA LUAR NEGERI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM MELAKUKAN HUBUNGAN KERJASAMA DENGAN NGO
Jackson Maruli Tua, Ririn Tri Nurhayati, SIP., M.Si., MA.
2011 | Tesis | S2 Ilmu Politik/Hubungan InternasionalPerkembangan fenomena hubungan internasional yang terjadi saat ini telah memasuki aspek-aspek baru, dimana Hubungan Internasional yang terjadi di Indonesia tidak hanya mengkaji tentang negara, tetapi juga mengkaji tentang peran aktor non-negara di dalam ruang lingkup politik global. Peran non-state actor yang semakin dominan mengindikasikan bahwa non-state actor memegang peran yang penting. Kecenderungan peningkatan intensitas maupun ekstensitas hubungan ini, baik yang bersifat bilateral, regional maupun global merupakan akibat dari semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang membawa dampak pada percepatan arus globalisasi masyarakat dunia. Konsekuensi logis dari arus globalisasi tersebut adalah munculnya saling ketergantungan antar negara untuk melakukan hubungan dan kerjasama dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan keamanan bersama di dalam suatu hubungan kerjasama yang setara, harmonis dan saling menghormati satu dengan lainnya. Adanya saling ketergantungan antar negara dan antar masalah mengakibatkan terciptanya suatu dunia yang tanpa batas (borderless world) yang seolah-olah telah membentuk suatu global village bagi masyarakat dunia. Sejalan dengan proses globalisasi tersebut, para pelaku hubungan internasional juga meluas, tidak hanya melingkupi negara (state actors) saja, namun telah meluas pada aktor-aktor selain negara (non-state actors) seperti organisasi internasional, x LSM, perusahaan multinasional (MNCs), media, daerah, kelompok-kelompok minoritas, bahkan individu. Perkembangan hubungan antar negara ini, juga membawa dampak pada peningkatan dan intensitas pembuatan kebijakan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan negara lain maupun dengan organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya. Dalam rangka mengantisipasi, mengakomodasi pola hubungan luar negeri yang semakin berkembang dewasa ini, disamping sekaligus menyelaraskan arus global dan berbagai kepentingan nasional dalam setiap level of interst, Indonesia telah mengeluarkan UU No. 37/1999 tentang hubungan luar negeri. UU Hubungan Luar Negeri tersebut memberikan justifikasi bahwa pemerintah bukanlah lagi satu-satunya lembaga pelaksana hubungan luar negeri. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa :â€Hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional ynag dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia.â€Dilain pihak UU No 22/99 dan UU no.32/1999 tentang Otonomi Daerah Khusus mengenai hubungan Luar negeri, pasal 88 (1) menyebutkan bahwa daerah dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri, yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan pemerintah di bidang (1) Politik Luar Negeri, (2) Pertahanan Keamanan, (3) Peradilan, (4) Moneter dan Fiscal, (5) Agama, serta kewenangan bidang lain. Hal ini juga semakin diperkuat dengan kemunculan UU No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional yang mempertegas hal di atas, khusunya pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen di tingkat pusat dan daerah yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan menteri. Dengan pemberlakuan UU No. 24 ini pada akhirnya terlihat jelas bahwa UU ini memberikan keuntungan bagi Pemerintah Daerah saat ini untuk melakukan kerjasama dengan pihak Luar Negeri. Pemerintah daerah melakukan hubungan kerjasama internasional bermula ketika sumberdaya yang dimiliki suatu daerah sangat terbatas dan untuk memenuhi kebutuhannya harus melakukan kerjasama dengan daerah lain maupun melakukan kerjasama dengan pihak asing (luar negeri). Selain itu, kerjasama antara Kota-Kota di Indonesia dengan Kota-Kota di Luar Negeri selama ini juga dilatarbelakangi oleh adanya kondisi riil tentang perlunya kerjasama antar daerah dan kerjasama dengan badan lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi, dan saling menguntungkan, yang diatur dengan keputusan bersama (Pasal 195, UU No. 32 Tahun 2004). xi Umumnya hubungan kerjasama antar kota sister city atau state/province yang dilakukan oleh pemerintah daerah hanya berdasarkan pada bukti tertulis melalui Memorandum of Understanding (MOU) atau Nota Kesepakatan. Dimana MOU ini merupakan dan termasuk suatu perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) pihak yang berkepentingan. Oleh karenanya suatu MOU yang dibuat antara 2 (dua) belah pihak akan mengikat kedua belah pihak tersebut. Kedua belah pihak tersebut sedemikian rupa harus mematuhi seluruh ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam klausula-klausula yang terdapat dalam MOU. Lebih lanjut manfaat kerjasama luar negeri dengan berlandaskan MOU setidaknya dapat dirasakan oleh salah satu pihak dikala pelaksanaan MOU itu mandeg atau dengan istilah “MOU macan kertas†artinya kesepakatan mati bisa dibangkitkan dan ditelusuri secara hukum supaya hidup kembali. Melihat semakin beragamnya bentuk kerjasama antar pemerintah daerah dengan pihak asing yang ada di Indonesia dewasa ini, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh implikasi undang-undang No 24 tahun 2000 di tingkat pemerintah daerah dalam melakukan kerjasama dengan luar negeri. Peneliti mengangkat kasus hubungan kerjasama yang terjalin antara IOM (International Organization for Migration) dan Pemerintah DIY. IOM sebagai salah satu NGO yang telah lama bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dimana fokus kerja mereka adalah isu-isu migrasi paksa yang berhubungan dengan bantuan rehabilitasi bagi korban pasca gempa, menyampaikan komitmennya untuk tetap memberikan support dalam penanganan korban bencana Yogyakarta pada fase rekonstruksi melalui Badan Penanggulangan Bencana Nasional (Bakortanas) dengan ditandatanginnya MoU antara IOM dengan Pemda DIY. Dalam kaitan ini, penting untuk mencermati UU tentang Otonomi Daerah terutama mengenai kewenangan daerah dalam melaksanakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri. Terlepas adanya perdebatan mengenai ketidaksesuaian antara UU Hubungan luar negeri dan Otonomi daerah terutama dalam hal kewenangan daerah melakukan hubungan dengan pihak luar negeri, atau perdebatan mengenai hubungan luar negeri dan kebijakan luar negeri, dari UU tersebut dapat ditafsirkan bahwa peran daerah – daerah akan semakin meningkat dan signifikan dalam menentukan bentuk kerjasama dengan lembagalembaga luar negeri. Mampukah DIY melakukan tugas koordinator dan kontrolnya yang begitu luas menjadi renungan serta pemikiran yang menantang yang dapat menjadi bahan diskusi yang menarik. Riset ini lebih fokus mengkonsentrasikan pada implikasi dari adanya UU no 24 thn 2000 terhadap hubungan luar negeri yang dahulu hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi sekarang Pemerintah Daerah pun dapat melakukannya. Bentuk-bentuk hubungan kerjasama yang terjalin antara pemerintah DIY dengan pihak asing setelah dikeluarkannya UU No 24 Tahun 2000 serta signifikansi Undang-Undang No 24 Tahun 2000 bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan xii hubungan kerjasama luar negeri khusunya dengan IOM.
The development of international relations phenomena that occur now in its new aspects, in which International Relations is happening in Indonesia is not only a review of the state, but also examines the role of non-state actors within the scope of global politics. The role of non-state actors are increasingly dominant indicates that non-state actors hold an important role. Trend of increased intensity and extent of this relationship, both bilaterally, regionally and globally are the result of increasing communication and information technologies that have an impact on the acceleration of the globalization of the world community. Logical consequence of globalization is the emergence of interdependence between countries to make contacts and cooperation in order to create prosperity and security together in a relationship of equal partnership, harmony and mutual respect for one another. The interdependence between countries and between the problems which resulted in the creation of a world without borders (borderless world) that seems to have formed a global village for the world community. In line with the globalization process, the perpetrators of international relations was also widespread, not only xiv surrounding state (state actors), but has expanded to non-State actors (non-state actors) such as international organizations, NGOs, multinational corporations (MNCs), media, local, minority groups, even individuals. The development of relations between these countries, also had an impact on the increase and intensity of international policymaking by the Government of Indonesia and other countries and with international organizations or other international legal subjects. In order to anticipate, accommodate the pattern of foreign relations are growing these days, in addition to aligning the flow as well as global and national interests in every level of interst, Indonesia issued Law no. 37/1999 concerning foreign relations. Foreign Relations Law provides justification that the government was no longer the sole implementing agency's foreign relations. Article 1, paragraph 1 states that: \"Foreign relations is all activities pertaining to regional and international aspects ynag done by the government at central and local level, or its institutions, state institutions, business entities, political organizations, community organizations, nongovernmental organizations , or a citizen of Indonesia. \"On the other side of Law No. 22/99 and Law on Regional Autonomy no.32/1999 Especially on Foreign relations, article 88 (1) states that the area can make mutually beneficial cooperation with institutions / agencies outside country, governed by a joint decision, unless the concerned government authority in the field (1) Foreign Policy, (2) Defense and Security, (3) Justice, (4) Monetary and Fiscal, (5) Religion, and authority of in other fields . This is also strengthened by the emergence of Law. 24 of 2000 on international agreements that reinforce the above, especially in Article 5, paragraph 1 states that state agencies and government institutions, whether departmental or nondepartment at the central and local levels that are planning to make a treaty prior consultation and coordinationabout plan with the minister . With the application of Law no. 24 this in the end it was obvious that this law provides benefits for current local government to cooperate with foreign parties. Local governments make international cooperation relationship began when the resources owned by a very limited area and to meet their needs should make cooperation with other regions and enter into agreements with foreign (overseas). In addition, the cooperation between Indonesia Cities with Cities for Foreign Affairs is also motivated by the real condition of the need for inter-regional cooperation and cooperation with other agencies that are based on considerations of efficiency and effectiveness of public services, synergy and mutual benefit , Which is governed by a joint decision (Article 195, Law no. 32 of 2004). Generally the relationship sister city cooperation between cities or state / province by the local government is based only on written evidence through a Memorandum of Understanding (MOU) or Memorandum of Understanding. Where xv this MOU represents and includes an agreement made by 2 (two) parties concerned. Therefore, an MOU is made between 2 (two) sides will bind both parties. Both sides in such a way must comply with all the provisions as stated in the clauses contained in the MOU. Further benefits of cooperation with overseas based on the MOU at least be perceived by either party, when his execution was stalled or MOU with the term \"paper tiger MOU\" means the agreement dead can be resurrected and traced by law in order to live again. Looking at the various forms of cooperation among local governments with foreign parties which exist in Indonesia today, the writer is interested to further study the implications of the law No. 24 of 2000 in local governments in cooperation with foreign countries. The researchers raised the case of the intertwined relationship between the IOM (International Organization for Migration) and the Government of DIY. IOM as one of the NGOs who have worked together with the government of Indonesia where the focus of their work is the forced migration issues relating to rehabilitation assistance to victims after the earthquake, expressed its commitment to continue to provide support in the handling of disaster victims in Yogyakarta on the reconstruction phase through the Agency for Disaster Management National (Bakortanas) with ditandatanginnya MoU between IOM with the Regional Government of DIY. In this regard, it is important to observe the Law on Regional Autonomy, especially on the regional authority in carrying out mutually beneficial cooperation with institutions / agencies abroad. Regardless of the debate about the discrepancy between the law of foreign relations and regional autonomy, especially in terms of local authority had intercourse with foreign parties, or the debate about foreign relations and foreign policy, the Act can be construed that the role of the region - the region will increase and significant in determining the form of cooperation with foreign institutions. Can DIY perform coordinator duties and control the vast become reflections and thoughts that challenge can be an interesting discussion. This research focus concentrates on the implications of the existence of Law No. 24 of 2000 on foreign relations which formerly only done by the central government, but now the Government could have done that. The forms of cooperation that exists between the government of DIY with foreign parties after the issuance of Law No. 24 of 2000 and the significance of Act No. 24 of 2000 for Local Government in conducting foreign relations especially cooperation with IOM.
Kata Kunci : Implikasi undang-undang, Kerjasama Luar Negeri, Pemerintah Daerah, NGO, Penanganan Pasca Bencana.