Laporkan Masalah

POLITIK REKOGNISI DALAM PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELESAIAN KONFLIK DI DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Suharno, S.Pd.,M.Si., Prof. Dr. Warsito Utomo,

2011 | Disertasi | S3 Manajemen dan Kebijakan Publik

Indonesia sebagai negara multikultural meniscayakan ruang koeksistensi (space of co-existence) yang memberikan rekognisi bagi berbagai identitas pembentuk multikulturalitasnya. Faktanya dalam banyak kebijakan negara sejak pemerintahan kolonial hingga pemerintahan Orde Baru menonjol politik monokultural, demi semata-mata stabilitas dan integrasi sosial. Kebijakan dengan kecenderungan pada politik monokulturalisme selain mempersempit ruang koeksistensi antar elemen multikultural menambah potensi alamiah konflik dengan bobot politis, apalagi kebijakan monokultural tersebut diinstrumentasi dengan sentralisme dan otoritarianisme. Perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dengan ketidakmampuan negara mengawal kebijakan tersebut merupakan variabel penting dalam berbagai konflik multikultural atau multietnik, seperti di Kalimantan yang telah terjadi puluhan kali, termasuk di Sampit yang menjadi locus sekaligus objek penelitian ini. Dari latar tersebut dapat ditesiskan bahwa kebijakan publik yang memuat politik rekognisi dapat menjadi solusi fundamental dan komprehensif bagi penyelesaian konflik antar etnis di Kalimantan, khususnya Sampit Kotawaringin Timur. Tesis tersebut dapat diurai ke dalam beberapa pertanyan penelitian. 1) Bagaimana konstruksi prinsip-prinsip politik rekognisi di dalam Perda tersebut? 2) Bagaimana relasi antara Perda Kotim tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik dengan upaya penyelesaian konflik? 3) Bagaimana implementasi Perda tersebut dalam mengatasi konflik antar etnik dan mempreservasi suasana damai? Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme, lembaga atau gejala tertentu melalui suatu pengamatan untuk menghasilkan data deskriptif, yaitu data yang berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip rekognisi telah terkonstruksi dalam Perda Kotim No. 5 tahun 2004, dimana setiap pihak yang bertikai diakui hak-hak dan kedudukannya. Etnik Madura sebagai etnis minoritas dan kurang diuntungkan diakui haknya sebagai warganegara untuk kembali ke Sampit dan tinggal di sana sepanjang menaati hukum yang berlaku dan bersedia ikut menjunjung falsafah belom bahadat atau “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung”. Etnik Dayak diakui sebagai etnis asli yang memiliki tatanan sosial dan kemasyarakatan serta adat-istiadat yang berlaku dan terpelihara, dan mewajibkan setiap orang yang datang untuk menghormati dan menjunjung adat-istiadat tersebut sepanjang menyangkut masalah sosial kemasyarakatan dan bukan ritual keagamaan. Perda mampu menyelesaikan konflik dan mencegah konflik laten menjadi konflik berikutnya, karena sesungguhnya persoalan besar Perda ini telah selesai pada saat masing-masing etnis yang berkonflik telah mencapai tahap konsensus untuk berdamai yang kemudian diformalkan dalam formulasi kebijakan sedangkan implementasinya sudah menjadi persoalan yang relatif mudah. Penyusunan Perda ini dengan demikian unik, bersifat bottom-up mengadopsi hasil konsensus yang telah diperoleh dengan proses yang sangat partisipatif dari warga masyarakat, memberi ruang dialog dan saluran aspirasi pihak-pihak yang bertikai, melalui proses beberapa musyawarah internal etnik dan antar etnik (Dayak dan Madura) sebagai pihak yang berkonflik. Pemberlakuannya memberikan kepastian yuridis formal berupa jaminan perlindungan kepada setiap pihak yang berkonflik untuk perdamaian. Pengaturanpengaturan yang termuat di dalamnya telah sesuai dengan tuntutan untuk menyelesaikan sisa-sisa masalah yang timbul setelah kerusuhan berdarah tahun 2001. Hal itu mendorong pihak-pihak yang berada dalam pengungsian untuk berani pulang ke Sampit untuk hidup berdampingan kembali sebagaimana sebelum terjadi konflik. Implementasi Perda berjalan baik dan secara gradual mampu mengharmonisasi warga masyarakat multikulutral serta selanjutnya mampu mempreservasi suasana perdamaian. Konflik etnik di Sampit relatif selesai secara komprehensif tanpa meninggalkan persoalan besar, yang membedakannya dengan penanganan konflik horizontal lainnya, seperti di Sambas dan Poso. Dari temuan penelitian ini dapat dirumuskan beberapa proposisi penting: 1) Paradigma lama old publik administration yang menyatakan bahwa proses formulasi kebijakan bersifat top down dilakukan oleh pemerintah (legislatif dan eksekutif) yang di level pemerintah daerah DPRD dengan Bupati / Walikota, implementasi kebijakan sebagai turunan konsep birokrasi yang bersifat top down pula tergugurkan oleh hasil penelitian. Titik krusial siklus kebijakan dalam penyelesaian konflik etnik Sampit justru terletak pada tahap pencapaian konsensus untuk perdamaian dari masing-masing etnis yang berkonflik yang kemudian diformulasikan dalam kebijakan/Perda. Proses formulasi bersifat bottom-up dari masyarakat sedangkan implementasi yang merupakan proses bekerjanya pemformalan dan pengawalan hasil konsensus untuk diwujudkan sebagai Perda justru berada pada mesin birokrasi. Hal yang demikian menunjukkan proses formulasi kebijakan yang lebih sesuai dengan teori demokrasi modern dan tuntutan pergeseran paradigma dari government menuju governance. Kebijakan yang sifatnya bottom-up dan partisipatif sejak tahap formulasi juga terbukti efektif pada tahap implementasi. Maka dalam tahapan kebijakan, proses formulasi kebijakan merupakan ”hulu” yang sangat menentukan ”hilir”. 2) Intervensi kebijakan Pemerintah Pusat dalam menyelesaikan konflik antar etnik dan konflik multikultural lainnya tidak berkorelasi positif dengan penyelesaian konflik tersebut. Prakarsa dan porsi Pemerintah Daerah yang besar seperti di Kotim terbukti menunjukkan penyelesaian konflik yang lebih permanen, paling tidak bila dibandingkan dengan konflik serupa di Sambas, Ambon, dan Poso.3) Politik monokultural sekalipun ditopang dengan kekuasaan yang besar tidak akan berhasil menyatukan masyarakat yang multikultural, baik dari sisi etnis, keyakinan, praktek keyakinan, dan gaya hidup, bahkan memendam potensi konflik yang dapat menjadi konflik terbuka dan bersenjata. 4) Dalam masyarakat multikultural, politik rekognisi merupakan instrumen utama untuk menjamin terwujudnya ruang ekspresi setiap identitas baik besar maupun kecil. 5) Politik rekognisi harus diwujudkan dalam suatu kebijakan publik (pemerintah atau negara), sehingga setiap pihak mendapatkan jaminan kepastian hukum. 6) Dalam penyusunan suatu kebijakan publik yang menyangkut hubungan antar kelompok dalam masyarakat multikultural diperlukan partisipasi dari setiap kelompok agar produk kebijakan dapat dipahami dan diterima oleh semua kelompok.

Indonesia, as a multicultural country, necessitates space of co-existence which gives recognition to the various identity-forming it multiculturality. In fact, in many state policy, since the colonial government until the New Order government, political prominence monocultural, solely for the sake of stability and social integration. Policies with the tendencies in politics monoculturalism, in addition to narrowing the space between the elements of multicultural coexistence, adding to the natural potential of conflict with political weight, especially monocultural policies are instrumented with centralism and authoritarianism. A combination of monocultural policies containing misrecognition with the inability of the state escort policy is an important variable in a variety of multicultural or multiethnic conflicts, such as in Kalimantan, which has happened dozens of times, including in Sampit which became the locus as well as the object of this research. From the background can be thesisized that public policy that includes political recognition can be a fundamental and comprehensive solution for settlement of inter-ethnic conflict in Kalimantan, especially East Kotawaringin Sampit. Thesis can be broken down into different research question. 1) How is the construction of political principles of recognition in the Local Regulation No. 5 of 2004 on the Handling of Population Impact of Conflict in Sampit, Kotim? 2) How is the relation between regional regulation with the effort of handling conflict? 3) How is the implementation of such local regulation in overcoming inter-ethnic conflict in a multicultural society and to preserve a peaceful atmosphere ? This study used a qualitative approach presented in the case study approach, conducted an intensive, detailed and profound of an organism, institution or through an observation of certain symptoms to generate descriptive data, i.e. data that form of words written or spoken of the people and observed behavior. The results showed: Local Kotim No. 5 of 2004 already contained the political principles of recognition in a very fundamental nature of the right to live in peace and living in Sampit for the citizens of Madura as ethnic minorities and the disadvantaged position. These rights are recognized by the citizens of the ethnic majority ethnic Dayak to return to Sampit and stayed there all obey the law and willing to participate have not uphold the philosophy of bahadat and \"where there stepped earth upheld the sky.\" While ethnic Dayak indigenous ethnic recognized position as a social order and civic and customary traditions accepted and maintained, and requires each person who comes to respect and uphold these traditions insofar as the social problem and not a religious ritual. The law is able to resolve conflicts in the process of developing documents is unique. The crucial point in the policy cycle of ethnic conflict lies in the policy formulation stage, where the construction of legal provisions that would bind both parties to a conflict is determined. Regulations that are bottom-up and participatory formulation stage since proved effective in the implementation stage. In the context Kotim law, the law is really a formalization of the consensus reached internal consensus among ethnic-specific prior Dayak and Madurese as a party to the conflict, enforcement have given formal judicial certainty to ensure the protection of each party to the conflict to peace, arrangements contained in it are in compliance with demands to resolve remaining problems that arise after the bloody riots in 2001. It encourages the parties are in a refugee to return to Sampit dare to live together again with people as before the conflict. Actually, law is a formulation that has been the understanding between the parties to respect each other, give and receive from the demands of the rights and obligations of each party. However, the law is absolutely necessary to give formal legal guarantee to every party to comply with such understanding. Local Policy Implementation is going well and gradually be able to harmonize and multikulutral mutietnik citizens so that in turn is able mempreservasi atmosphere of peace. Ethnic conflict in Sampit relatively comprehensively finished without leaving a big issue that distinguishes the handling of inter-ethnic conflicts in other places such as in Sambas From the findings of this study, can be taken several important propositions: 1) the crucial point in the policy cycle of ethnic conflict lies in the policy formulation stage, where the construction of legal provisions that would bind both parties to a conflict is determined. Regulations that are bottom-up and participatory formulation stage since proved effective in the implementation stage. 2) political monocultural even if supported by a great power will not work to unite a multicultural society, both in terms of ethnicity, belief, practice beliefs, and lifestyles, and even tended to bury a hidden conflict time can be open and armed conflict. Hence politics is the answer to the diversity multicultural national identity and state of Indonesia. 3) In a multicultural society, political recognition is the main instrument to provide guarantees for the existence and the realization of the living expression of each of the identity of both large and small, major or minor. 4) Political recognition must be realized or included in a public policy (government or state), so that each party obtain legal certainty. 5) In preparing a public policy concerning inter-group relations in a multicultural society required the participation of each group, so the product of public policy can be understood and accepted by all groups. 6) central government policy intervention in resolving inter-ethnic conflicts and other multicultural conflict is not positively correlated with the settlement of the conflict. Initiative and a large portion of local government such as in Kotim proven show a more permanent solution to the conflict, at least when compared with a similar conflict in Sambas, Ambon and Poso.

Kata Kunci : Multicultural, conflict, politic of recognition, public policy, Sampit, Dayak, Madurese


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.