Laporkan Masalah

PERAN UPACARA GAREBEG KERATON NGAYOGYAKARTADALAM MENDUKUNG KETAHANAN SOSIAL BUDAYADI KOTA YOGYAKARTA

M. Daldiri Dwi Purnomo, Pro. Dr. Kodiran, MA.

2011 | Tesis | S2 Ketahanan Nasional

Upacara Garebeg diselenggarakan dengan tujuan untuk menunjukkan rasa syukur dan merupakan pemberian Sultan kepada rakyatnya, yang diwujudkan dalam simbol gunungan. Sejarah menunjukkan bahwa keberadaan Upacara Garebeg sudah bermuara sejak zaman dahulu berupa kurban mahesolawung, yang berlangsung semenjak Kerajaan Pengging pada abad 10 di Pulau Jawa. Kebiasaan tersebut seiring perkembangan Islam di Pulau Jawa selanjutnya dimodifikasi sedemikian rupa pada zaman Kerajaan Demak menjadi Upacara Garebeg. Upacara Garebeg berlangsung seterusnya hingga zaman Kerajaan Mataram Islam, sampai zaman penerusnya yaitu Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakaarta, sebagai tempat diselenggarakannya Upacara Garebeg. Tujuan penelitian untuk mengetahui sejauhmana peran Upacara Garebeg dalam mendukung terwujudnya ketahanan sosial budaya di Kota Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, dengan berusaha mengungkapkan fakta-fakta yang menjelaskan latar belakang keberadaan Upacara Garebeg serta seluk beluk penyelenggaraannya melalui pengumpulan data dalam bentuk wawancara dan penelaahan dokumen-dokumen yang ada. Data yang ada dianalisis menggunakan metode kualitatif dengan mengedepankan adanya hubungan antara penyelanggaraan Upacara Garebeg dengan keikutsertaan masyarakat Kota Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Upacara Garebeg dalam mendukung ketahanan sosial budaya di Kota Yogyakarta memiliki arti yang signifikan dan berjalan dengan baik. Peran Upacara Garebeg menunjukkan tiga bentuk peran; yaitu pertama, sebagai sebuah perayaan; kedua, sebagai wahana pendidikan; dan ketiga, sebagai obyek wisata. Bentuk peran tersebut setelah berinteraksi dengan masyarakat KotaYogyakarta akan melahirkan bentuk sentimen yang beraneka macam. Bentuk sentimen dalam masyarakat tersebut bisa berwujud ke arah yang diharapkan secara positif, namun terdapat juga bentuk sentimen ke arah yang tidak diharapkan secara negatif. Ketahanan sosial budaya Kota Yogyakarta tidak diukur dengan angka-angka, secara statistik. Namun, keberhasilannya bisa dilihat dari implikasi yang diperoleh berupa menurunnya angka kekerasan, budaya santun masyarakat, suasana kondusif di bidang sosial dan budaya, dan lain sebagainya. Situasi ini menunjukkan hasil kerja yang dicapai seluruh stake holder masyarakat Kota Yogyakarta, termasuk dukungan yang diberikan oleh peran Upacara Garebeg Keraton Ngayogyakarta yang diselenggarakan tiga kali sepanjang tahun.

The Garebeg ceremony held to show the gratitude to God, and is a gift from the Sultan to his people. This gift embodies in the symbol of Gunungan. The history shows that the Garebeg ceremony has started a long time ago with the mahesolawung sacrifice, since the Pengging Kingdom in 10th century at the Java Island. This tradition changed as the Islam spread in Java Island and modified into Garebeg ceremony in Demak kingdom era. The ceremony continues through the Islamic Mataram kingdom era until the next generation, namely Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Palace. This research carried out where the Garebeg ceremony is held, Yogyakarta, Special Region of Yogyakarta. The goal of the research is to find out the role of Garebeg ceremony in supporting the establishment of socio cultural resilience in Yogyakarta. Research methodology in use is descriptive method, which exposes the facts of the Garebeg ceremony’s setting and holding details. The data collected through interview and documents analysis. The data analyzed with qualitative method, with the Garebeg ceremony and Yogyakarta people participation put in advance. The result shows that the role of Garebeg ceremony in supporting the socio cultural resilience of Yogyakarta is significance and runs well. There are three roles of this Garebeg ceremony; first as a celebration, second as educational device, and third as tourism object. Those roles, after the interaction with Yogyakarta people, will create various sentiments. The sentiments embody inside the society could be positive expectable or negative which is not expectable. The socio cultural resilience of Yogyakarta was not measured statistically with numbers. However, the success shows with the implication in the decreasing of violence, the people’s polite behavior, and conducive situation in social and culture. These situations also show the achievement of the whole stake holder of Yogyakarta society which includes the role of Garebeg ceremony in Ngayogyakarta Palace which held three times a year.

Kata Kunci : Peran, Upacara, Ketahanan Sosial Budaya

  1. S2-PAS-2011-M_Daldiri_Dwi_Purnomo-ABSTRACT.pdf  
  2. S2-PAS-2011-M_Daldiri_Dwi_Purnomo-BIBLIOGRAPHY.pdf  
  3. S2-PAS-2011-M_Daldiri_Dwi_Purnomo-TABLEOFCONTENT.pdf  
  4. S2-PAS-2011-M_Daldiri_Dwi_Purnomo-TITLE.pdf