Laporkan Masalah

TRANSFORMASI DALAM PEMENTASAN NASKAH DRAMA SADURAN: Studi Kasus Studiklub Teater Bandung (STB)

Lina Meilinawati Rahayu, SS., Prof. Dr. C. Soebakdi Soemanto, S.U.

2011 | Disertasi | S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Penelitian ini merupakan upaya menganalisis transformasi pementasan naskah saduran: Studi Kasus Studiklub Teater Bandung (STB). Teori yang digunakan dalam menganalisis naskah dan pementasan ialah semiotik drama dan teater dari Keir Elam (The semiotics of Theatre and Drama, 1980). Analisis semiotik naskah dan pementasan bertujuan untuk membongkar makna sosio-kultural dari perubahan-perubahan yang dilakukan penyadur dan sutradara dari naskah terjemahan ke naskah saduran kemudian ke pementasan. Naskah dan pementasan yang dijadikan objek penelitian adalah Camar karya A. Chekov, terjemahan Asrul Sani, disadur dan disutradarai Suyatna Anirun dan Inspektur Jenderal karya Nikolai Gogol, terjemahan Asrul Sani, disadur dan disutradarai Arya Sanjaya. Hasil penelitian mengenai kajian bandingan dari terjemahan ke saduran ke pementasan menunjukkan berbagai penyesuaian dengan budaya setempat. Penyadur yang kemudian menjadi sutradara sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan naskah bila dipentaskan. Oleh sebab itu, bagian-bagian yang tidak mungkin dihadirkan di pentas sudah dihilangkan, diringkas, atau diganti. Namun, ketaatan penyadur untuk tetap mempertahankan atmosfer cerita menjadikan Chayka masih tetap terasa asing. Hasil penelitian bandingan Inspektoer Djenderal menunjukkan keberanian penyadur untuk mengambil inti cerita dan membuang hampir setengah dialog pada naskah menjadikan cerita lebih dekat dengan budaya sasaran. Memaknai setiap perubahan dari naskah terjemahan ke naskah saduran kemudian ke pementasan berarti mengkonstruksi suatu pemahaman baru. Melalui perburuan tanda-tanda yang tersembunyi dan berelasi dengan tanda-tanda lain menunjukkan adanya pembaruan dengan memaksakan masuk kultur lokal dalam naskah asing. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa STB dalam pementasan-pementasannya mempunyai cara-cara sendiri untuk tetap bertahan hingga kini, yaitu tetap setia pada transformasi naskah-naskah realis dengan konsep interkultural, yaitu mengupayakan pentas sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari serta mendekatkan pentas dengan budaya lokal. Hal inilah yang kemudian dijadikan salah satu upaya untuk memudahkan penonton memahami pementasan. Cara yang dilakukan STB sejak dipimpin oleh tokoh sentralnya, Suyatna Anirun, tetap diikuti oleh penerusnya sampai saat ini. Komitmen inilah yang menjadikan STB bertahan lebih dari 50 tahun dalam konstelasi teater modern di Indonesia. Hal inilah yang membedakan STB dengan kelompok-kelompok teater modern pada masanya yang turut hilang bersama-sama dengan meninggalnya pendiri yang sekaligus tokoh sentralnya.

This research entitled “Transformations in the Performance of Adaptation Texts: A Case Study on STB” is an attempt to analyze the transformations of texts undergoing the processes of translation, adaptation and performance. The analysis is framed by the seminal work of Elam (1980) on semiotics for theater and drama. With reference to Elam, texts and performances were semiotically analyzed to examine the socio-cultural meanings underpinning changes made by the adapter/script-writer and director. The scripts and performances under analysis were Camar, a translation by Asrul Sani from Chekov’s Chayka (Seagull), which was adapted and directed by Suyatna Anirun, and Inspektur Jenderal, a translation also by Asrul Sani from Nikolai Gogol’s Inspector General, adapted and directed by Arya Sanjaya. Findings from the comparative study from the translations to adaptations to performances indicate that there are adjustments to the local culture. Considerations for future performances of the texts were evidenced from the omission, modification, and condensation of text parts deemed as potential obstacles when performed. However, faithfulness to the atmosphere of the original text has kept the sense of foreign-ness in Chayka. Whereas a comparative study on Inspektoer Djenderal has incorporated a big portion of local culture to the performance that local culture becomes a dominant culture in the performance. Each transformation from the translations to adaptations to performances means the constructions of new meanings. Examinations of signs and its textual inner-workings suggest processes of renewing texts by imposing local cultures, in this case to foreign texts. The research also reveals that STB’s survival is attributable to the fact that they have remained faithful to realist texts with intercultural concepts. This means that they make their performance as true to daily reality as possible and as close as possible to the local culture. These two factors are eventually regarded as the attempts to make performance more easily understood by the targeted audience. The choice to do this has been carried out since the era of Suyatna Anirun, STB’s central figure, and has been maintained by his successors ever since. This is a commitment which has resulted in STB’s prevailing existence in Indonesia’s modern theatre. This is also a distinctive factor separating STB from its contemporary Indonesian modern theater groups which commonly die out when their central figure left or deceased. Based on the research, it is safe to say that the ways opted by STB could be recommended to other modern theater groups in the country as they are evidence to STB’s survival in the dynamic of Indonesian theater world.

Kata Kunci : saduran, transformasi, semiotik drama, semiotik teater, interkulturalisme


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.