Pengaruh bentuk pemerintahan pseudoabsolutisme pasca Perjanjian Giyanti 1755 terhadap perkembangan Tari Jawa gaya Yogyakarta
PRAMUTOMO, R.M, Promotor Prof. Dr. R.M. Soedarsono
2008 | Disertasi |Perjanjian Giyanti 1755 adalah pembagian bekas kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Pasca Perjanjian Giyanti 1755 telah menempatkan era pemerintahan Kraton Jawa tidak lagi berkuasa secara politis. Akibat langsung dari peristiwa di atas, yakni selain raja Jawa, masih ada kekuasaan kolonialisme melalui Gubernur Jendral Belanda. Konsepsi kekuasaan Jawa ratu gung binathara yang dimaknai sebagai ‘raja besar yang didewakan’ menjadi bersifat semu. Topik ‘pseudoabsolutisme’ pasca Perjanjian Giyanti 1755 diacu dari keterkaitan administrasi birokrasi kolonial dalam pembentukan negara jajahan setelah tahun 1800-an. Salah satu fakta penting berakibat pada pembentukan simbol-simbol dalam wilayah kekuasaan ‘pseudo’ pemerintahan tradisional. Pada wilayah Kraton Yogyakarta bukti pengaruh itu tanpa kecuali masuk dalam pembentukan simbol-simbol yang mencerminkan perbenturan otoritas tradisional (pemerintahan kerajaan Jawa) dan otoritas legal rasional (masuknya administrasi birokrasi kolonial). Akibat estetis pada simbolisme seni pertunjukan dapat ditelusuri dari keterlibatan seni pertunjukan tari dalam resepsi seremonial maupun protokoler kenegaraan. Pada momentum inilah raja bertindak sebagai impresario, sutradara, dan aktor sesungguhnya. Sebuah refleksi refleksi dari berkurangnya kekuasaan politik, yudisial, maupun militer. Secara periodik ‘pseudoabsolutisme’ dan dampaknya bagi perkembangan tari Jawa gaya Yogyakarta dapat dicermati dari masa awal pengaruhnya, masa mulai berlangsungnya, hingga puncaknya pada era Sultan Hamengku Buwana VIII (1921—1939). Era ini merupakan puncak pertaruhan otoritas kharismatis Sultan Yogyakarta yang diupayakan melalui kreasi seni pertunjukan tari. Kehadiran genre koreografi baru turut dipicu oleh tingkat frekuensi dan partisipasi aktif Sultan Yogyakarta dalam berhubungan dengan petinggi kolonial Belanda. Seni diciptakan sebagai pertahanan terakhir otoritas kharismatis melalui pameran status. Awal pemerintahan Hamengku Buwana IX, 1940—1945, hingga akhir zaman pendudukan Jepang, genre baru Beksan Golèk Ménak diciptakan pada tahun 1941. Melalui disertasi ini, kajian pengaruh bentuk pemerintahan ‘pseudoabsolutisme’ pasca Perjanjian Giyanti 1755 hingga akhir masa pendudukan militer Jepang 1945 ternyata mempunyai bukti-bukti penting bagi perkembangan genre dan penampilan tari gaya Yogyakarta.
The Giyanti Treaty of 1755 is a division’ treaty of the Islamic Mataram kingdom in two regions, Yogyakarta and Surakarta. The post Giyanti Treaty of 1755 was politically replaced the Javanese kingdom had no more power. A direct impact of the treaty portrayed The king’s power was under colonial power through the power of the General Governor of the Dutch. The conception of ratu gung binathara as The God- kings had placed Javanese power as a ‘pseudo’. The topics of ‘pseudoabsolutism’ in the post Giyanti Treaty of 1755 referenced from the colonial administration of beurocracy accompanied by the building of colonial state and its relationship by 1800 A.D. The most important fact of its impact was the forming symbolism had been occured arround the ’pseudo’ traditional government. There is no exception that it reached fluently to the forming of symbolism in arts of the Court of Yogyakarta and its reflection to the competition among the traditional authority (Javanese kingdom) and the legal rational authority (colonial’s bureaucracy of administration). The symbols of performing arts and its impact of aesthetic might be searched from the dance performance which was a part from the ceremonial reception and the state protocol. The King’s role means as an impresario, a director, and a main actor. It was a reflection of a polical, a judicial, and a military powerless. “Pseudoabsolutism’ and its impact to the development of Yogyakarta dance style could be searched each periods; since the early influence, during its development, until its summit in the reign of The king Hamengku Buwana VIII (1921—1939). During this era a status of Sultan’s charisma as a point of inclination and it aim through the creation in dance performances. An appearance of the dance choreography was supported by a gradual contact between Sultan of Yogyakarta and the Dutch’s leaders and Sultan’s participation actively. Performing arts have been created as the last defence of charisma through the set of status display. Early the reign of The King Hamengku Buwana IX, 1940—1945 a new piece of Golèk Ménak dance has been created by the king during 1941. Through this disertation ‘pseudoabsolutism’ from the post Giyanti Treaty of 1755 and its influence until Japanese military occupation had much important evidences to the development of dance presentation and modes of creation in the Yogyakarta dance style.
Kata Kunci : Pseudoabsolutisme, Perjanjian Giyanti, Tari Jawa gaya Yogyakarta, Pemerintahan tradisional