Muhammadiyah dalam dinamika politik Indonesia (1966-2006)
JURDI, Syarifuddin, Promotor Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A
2008 | Disertasi |Penelitian ini berusaha menjelaskan dan mendalami Muhammadiyah dalam dinamika politik Indonesia antara 1966-2006. Dinamika politik yang dikaji dalam studi ini mencakup sejumlah keterlibatan, sikap, dan respons Muhammadiyah terhadap perubahan politik Indonesia, baik menyangkut sistem politik, struktur politik, dan budaya politik. Secara empirik, studi ini melibatkan data yang terkait dengan peran dan respons Muhammadiyah terhadap dinamika politik dalam kurun waktu yang dikaji. Secara teoritik, analisis terhadap Muhammadiyah dalam dinamika politik Indonesia berdasarkan perspektif politik. Dinamika politik Muhammadiyah dalam rentang politik Indonesia khususnya yang diteliti dalam studi ini menunjukkan varian yang berbeda; terkadang Muhammadiyah berhasil menjaga sikap netralnya terhadap politik, tetapi juga berada dalam kooptasi dan hegemoni kekuatan politik. Sikap netral politik diterapkan untuk menjaga independensi gerakan serta menghilangkan kesan telah terkooptasi oleh partai politik. Namun dalam perkembangannya, sikap netral politik dalam sistem otoriter Orde Baru tidak sepenuhnya dapat diterapkan, mengingat dominannya elite-elite Muhammadiyah yang bekerja sebagai PNS dibawah kooptasi dan hegemoni rejim Orde Baru, secara de facto berafiliasi dengan Golkar, kekuatan politik rejim berkuasa. Dinamika politik Muhammadiyah pada masa otoriter mencerminkan kuatnya afiliasi kepentingan dengan rejim berkuasa. Pola hubungan ini membawa implikasi pada sejumlah proses legislasi yang membuka peluang kalangan Islam dan Muhammadiyah untuk memperjuangkan aspirasi Islam dalam proses pengambilan kebijakan. Tampak sejumlah kebijakan yang berhasil dipengaruhi kalangan Islam pada masa otoriter seperti disahkannya UU UU Perkawinan 1974, UU Keormasan 1985, UU PN 1988, UU Peradilan Agama, Pembentukan ICMI 1990, Pendirian Bank Muamalat 1992, kasus Monitor, soal Kristenisasi dan persoalan politik lainnya mencerminkan hubungan saling menguntungkan. Secara umum, dinamika politik Muhammadiyah mencerminkan relasi mutualistik, kendati pemerintah hingga jatuhnya Orde Baru 1998 masih merupakan kekuatan yang dominan. Fase akhir Orde Baru, Muhammadiyah mengambil sikap politik yang kritis terhadap ketimpangan kekuasaan, sikap tersebut bertujuan untuk membebaskan Muhammadiyah dari dosa-dosa politik Orde Baru. Pada masa transisi-demokrasi pasca Orde Baru, orientasi politik Muhammadiyah semakin tidak jelas dan terkesan ambivalen, pada rumusan organisasi, Muhammadiyah bersikap netral terhadap partai politik, namun dalam prakteknya proses penghimpitan Muhammadiyah dengan partai politik terus berlangsung, baik pada level elite organisasi maupun pada massa. Tarik menarik kepentingan antara faksi-faksi politik yang telah terbentuk sejak awal dekade 1990 semakin kuat, bahkan prinsip dakwah amar ma’ruf nahi munkar menjadi semakin cair ketika dihadapkan pada kekuatan ekonomi politik. Sementara proses penghimpitan dengan partai politik ditandai oleh dua orientasi yakni mereka yang cenderung memandang politik secara legal formal (kelompok purifikan) menghimpitkan Muhammadiyah dengan partai ideologis Islam dan mereka yang lebih pluralis memilih afiliasi politik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pragmatis-praktis. Kelompok netral yang menghendaki Muhammadiyah tetap menjadi tenda bangsa tidak berdaya menghadapi permainan kelompok politik. Secara umum, Muhammadiyah pasca Orde Baru kurang berhasil mempengaruhi proses politik bangsa. Dengan demikian, dinamika politik Muhammadiyah dalam periode yang diteliti mengindikasikan dua kecendrungan yakni; pertama, pada rejim otoriter Orde Baru Muhammadiyah berhasil mempengaruhi proses pengambilan kebijakan politik pemerintah, karena kuatnya afiliasi kepentingan politik Muhammadiyah dengan rejim berkuasa. Kedua, pada era tranisis demokrasi pasca Orde Baru, Muhammadiyah mengalami kendala-kendala sosio politik dalam mempengaruhi proses pengambilan kebijakan dan bahkan terkesan kurang tegas dan tidak berdaya menghadapi oligarki partai. Pada periode ini, upaya menghimpitkan Muhammadiyah dengan berlangsung dalam ragam bentuk, ini menegaskan kegamangan Muhammadiyah menghadapi perubahan politik bangsa.
This research attempts to explain and understand Muhammadiyah in the dynamics of Indonesian politics during 1966-2006. The political dynamics observed in this research embraces a number of involvements, attitudes and responses of Muhammadiyah to the dynamics of Indonesian politics, either relate to political system, political structure or political culture. Empirically, this research involves the datum connecting to Muhammadiyah’s role and response to the political dynamics during those researching time. Theoretically, analysis of Muhammadiyah in the dynamics of Indonesian politics is based on political perspective. The dynamics of Muhammadiyah politics in Indonesian politics times particularly which is observed in this research shows different variants. Sometime, Muhammadiyah succeed keeping its neutrality towards politics, but also being in co-optation and hegemony of political power. The political neutrality applies in maintaining the movement independency as well as eliminating the impression of being co-optated by political party. However, in its development the political neutrality in New Order authoritative system could not apply fully, considering the dominant of Muhammadiyah elites of those who work as civil servants under the co-optation and hegemony of New Order regime, which is de facto has affiliated with The Golkar, the political power of in charge regime. The dynamics of Muhammadiyah politics in authoritative period reflects the strong interest affiliation with the regime in charge. This relation form brings implication of a number of legislation process which provide the opportunity for muslim people and Muhammadiyah to fight islamic aspiration in taking policy process. It appears in an amount of policies succeed influented by muslim people in the authoritative period. For instance; as being legalized The 1974 Marriage Law, The 1985 Mass Organization Law, The 1988 National Education Law, The Religious Court Law, the establishing of ICMI in 1990, the establishing of Muamalat Bank in 1992, Monitor tabloid case, christianization and others political affairs which reflecting mutually beneficial relationship. In general, the dynamics of Muhammadiyah politics reflects mutualistic relation, although the goverment, as the collapse of New Order in 1998 is still the dominant power. In the end phase of New Order, Muhammadiyah has critisc towards the imbalance power in order to make Muhammadiyah free from the New Order political sins. In transition – democration period post New Order, Muhammadiyah political orientation is more not clear and is impessed ambivalent. In organizational formulation, Muhammadiyah takes neutral to political party, however in its practice the squeezing process Muhammadiyah against political party still occurs, either in the level of organizational elite or mass. The mutually tug of interest among political factions which has been establishing since the earlier of 1990 is becoming stronger. Even the dakwah principle amar ma’ruf nahi mungkar turns to be more fluid as facing the economy political power. Meanwhile the squeezing process Muhammadiyah against political party is marked by two orientation; i.e. those who tend to view politics legally formal (purificant group) squeezing Muhammadiyah against islamic ideologic party and those who are more pluralist choosing political affiliation based on practice- pragmatic considerations. The neutral group of which intend Muhammadiyah to still be the tent of the nation is powerless facing the game of political group. Generally, post New Order Muhammadiyah is less succeed influenting the process of national politics. Thus, the dynamics of Muhammadiyah politics during the reseaching time has indicated two tendencies; i.e. first, in authoritative period of New Order, Muhammadiyah get success in influenting the process of political policy taking of the goverment since the strong affiliation of Muhammadiyah political interest with the regime in charge. Second, in the period of transition democracy post New Order, Muhammadiyah has politics socio obstacle in influenting the policy taking process and being impressed less explicit and powerless in dealing with partical oligarchy. In this period, the squeezing Muhammadiyah has going on in various forms, of which confirms the ambiguity of Muhammadiyah in facing the change of national politics. Key words: Muhammadiyah, political dynamics, state
Kata Kunci : Muhammadiyah,Politik negara-pemerintah,Perubahan politik, Muhammadiyah, political dynamics, state (goverment) and political change