Kearifan lokal dan persepsi masyarakat Tewoyan di Desa Muara Mea dalam pengelolaan sumberdaya hutan di sekitar kawasan hutan lindung, Gunung Lumut Kabupaten Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah
CHRISTIANTO, Roberto Valentino, Dr. Sri Ritohardoyo, M.A
2010 | Tesis | S2 Ilmu LingkunganMasyarakat Muara Mea merupakan bagian dari suatu kelompok masyarakat yang berada dalam proses perubahan pola kehidupan dari masyarakat ladang ke masyarakat industri. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat desa Muara Mea adalah suatu perubahan yang terjadi pada sistem sosial yang mencakup tata nilai sosial, sikap, dan pola perilaku kelompok dan juga terjadi pada tataran kelembagaan. Dalam konteks pengelolaan lingkungan, kelompok masyarakat tradisional lebih bersandar pada penyesuaian masyarakat terhadap lingkungannya sedangkan kelompok masyarakat modern berkaitan dengan upaya pengelolaan yang juga memiliki kecenderungan ke arah komersialisasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kearifan lokal dan persepsi masyarakat Muara Mea dalam pengelolaan sumberdaya hutan di sekitar kawasan Hutan Lindung-Gunung Lumut yang merupakan kawasan sakral dan situs budaya bagi masyarakat yang menganut kepercayaan Kaharingan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode analisis deskriptif normatif dan eksplanatif interprelatif dengan analisis kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode survei dengan menggunakan metode wawancara kombinasi terstruktur dan tidak terstruktur terhadap responden dan informan kunci. Teknik analisis data secara kualitatif dengan analisis tabel berdasarkan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Muara Mea, norma dan hukum adat yang berlaku merupakan penjabaran dari Kaharingan yang membentuk suatu kearifan lokal, mulai dari kehidupan bermasyarakat, beragama, serta hubungan dengan lingkungannya. Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan di sekitar kawasan Hutan Lindung-Gunung Lumut, aktivitas masyarakat yang utama adalah berladang, berburu, serta mengambil hasil hutan non kayu untuk memenuhi kebutuhan dasar (subsisten). Seluruh aktivitas masyarakat didasarkan pada aturan adat disertai dengan sanksi adat yang berlaku baik secara internal maupun eksternal apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum adat tersebut. Pelaksanaan hukum adat di Muara Mea merupakan salah satu bentuk manajemen konflik secara tradisional untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Hukum adat yang berlaku di kecamatan Gunung Purei keberadaannya lebih kuat dibandingkan dengan hukum positif, tetapi seringkali menimbulkan perbedaan persepsi antara masyarakat dengan pihak pemerintah terutama dalam pemanfaatan sumberdaya hutan di sekitar kawasan Hutan Lindung-Gunung Lumut. Jika dikaitkan dengan berkembangnya investasi pada sektor HPH, pertambangan, dan perkebunan yang ada di wilayah Muara Mea, hukum adat memiliki posisi yang lemah dalam upaya memperjuangkan hak masyarakat adat atas pengelolaan sumberdaya hutan di wilayahnya. Perbedaan persepsi akan memicu terjadinya konflik terkait dengan kepemilikan lahan serta kesulitan untuk mengakses sumberdaya hutan. Pengaruh internal (motivasi, tingkat pendidikan) dan faktor eksternal (kinerja sistem kelembagaan, pengaruh iklim investasi, ketimpangan program pembangunan yang memarjinalkan masyarakat adat) ini secara perlahan mempengaruhi persepsi masyarakat Muara Mea dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Terutama pada kelompok masyarakat modern yang saat ini bersentuhan dengan perubahan, proses desakralisasi alam kemungkinan tidak dapat dicegah lagi apabila tidak ada upaya dari pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan mengakomodir kepentingan masyarakat adat dalam penguatan kelembagaan dan dituangkan dalam hukum positif.
The Muara Mea community is a part of a society that is shifting from agricultural to industrial society. The change that happens to Muara Mea society is a change at the social system and institutional organizations that covers social value, behavior, and attitude of the society. In environmental management, the traditional society is relying more on the people’s adjustment to their respective environment, while the modern society is related to the managing effort which lean towards commercialization. The Purpose of this research is to study the local wisdom and perception of Muara Mea’s community in their utilization of forest resources near protected Forest-Mount Lumut area which is a cultural and sacred site to the followers of Kaharingan belief. This research is executed by using descriptive method of normative and explanative interpretive with qualitative analysis. By using survey research method, data collection with combination interview method applied to respondents and key informants. Data analysis technique doing by qualitative with table analysis based on interactive model. The result revealed that in life of Muara Mea community, norm and traditional law applied are the extension of Kaharingan that forms the local wisdom, starting from social life, religious life, and the relation of with its environment. Regarding the usage of forest resources around Protected Forest-Mount Lumut, the main activities is farming, hunting, and gathering non-timber forest products (NTFP) to fulfill their basic need (subsistence). The whole community’s activities are based on law tradition that are followed by the sanctions, both applied internal and external of community who disobey the law tradition. Traditional Law enforcement at Muara Mea is one form traditional management of conflict to handle the problems in community. Traditional law applied at Gunung Purei district showed that traditional law position is stronger than positive law, but this often makes any difference of perception between local community and the government especially in utilization of forest resources Hutan Lindung-Gunung Lumut’s area. And if it is related to progress invest in forestry, mining, and plantation sector in Muara Mea, position of traditional law is weak in context of their rights to management of forest resources in the region. The difference of perceptions will be affect to conflict if it’s related to lands property and difficulty to access forest resources. Internal factors (motivation, level of education) and external factors (institutions system performance, policy of investment, unbalanced of development programs which it’s makes people marginalization) this will effect with perception of Muara Mea’s community in utilizing forest resources. Especially at group of modern public now stays in change process, unsacred process of nature slowly happened. There must be any preventive action to solve these problems with accommodating public of interest by institutional and law reinforcement.
Kata Kunci : Kearifan lokal,Persepsi,Muara Mea,Hutan Lindung,Gunung Lumut,Kaharingan,Desakralisasi alam