Dampak implementasi kebijakan pengembangan desa wisata terhadap pemberdayaan masyarakat desa di Kabupaten Sleman :: Studi kasus di Desa Wisata Tanjung dan Desa Wisata Pajangan
NUGROHO, Dewanto Tri, Prof. Dr. Phil. Janianton Damanik, M.Si
2010 | Tesis | S2 Magister Studi KebijakanPengembangan desa wisata di Kabupaten Sleman sudah dimulai sejak akhir dasawarsa 1990an. Pada awalnya, sekitar tahun 2001, tercatat hanya ada 2 desa wisata, saat ini memasuki pertengahan tahun 2010, jumlah tersebut telah mencapai angka 38. Konsep desa wisata di Kabupaten Sleman yang lebih mengedepankan inisiatif dan swadaya masyarakat dalam pembentukan dan pengelolaan mengindikasikan adanya tekad yang kuat dan antusiasme yang tinggi dari masyarakat untuk mengembangkan wilayahnya dengan basis usaha wisata. Menindaklanjuti keinginan kuat masyarakat tersebut, Pemerintah Kabupaten Sleman melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman menetapkan arah kebijakan pengembangan desa wisata sesuai dengan RPJP dan RPJM Kabupaten Sleman dengan pedoman pertama, menggunakan kekhasan, kearifan dan sumber daya lokal untuk mampu bersaing secara global, kedua, melakukan usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan ketiga, usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bentuk nyata kebijakan pengembangan desa wisata tersebut antara lain; kebijakan anggaran, fasilitasi pengembangan desa wisata, pembuatan papan nama, papan petunjuk dan papan informasi, promosi dan pemasaran, pelatihan sumber daya manusia desa wisata, pendampingan dan pembinaan desa wisata serta lomba desa wisata. Desain penelitian deskriptif kualitatif diterapkan dengan harapan mampu menggambarkan implementasi kebijakan penegmbangan desa wisata dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Sleman. Secara lebih khusus studi kasus digunakan agar deskripsi riil dampak implementasi kebijakan ini dapat tergambarkan lebih detail. Studi kasus dilaksanakan di dua desa wisata dengan kategori sama, yaitu Desa Wisata Budaya Tanjung dan Pajangan. Pada Desa Wisata Tanjung, di mana inisiatif dan antusiasme masyarakatnya relatif lebih tinggi, ditemukan adanya peningkatan keberdayaan masyarakat. Adanya tambahan pemasukan dan peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat, partisipasi aktif masyarakat, infrastruktur dan fasilitas umum yang terbangun serta dinamisnya lembaga pengelola desa wisata mengindikasikan bahwa efek pemberdayaan dari keberadaan desa wisata relatif dirasakan oleh masyarakat. Dengan menjual kekhasan yang hampir sama, ternyata konsep desa wisata di Pajangan tidak membawa dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Beberapa hal yang menyebabkan stagnannya pengembangan desa wisata Pajangan antara lain; ketiadaan lembaga pengelola dan pengelolaan yang hanya ditopang oleh satu figur sentral serta kurangya antusiasme dan partisipasi masyarakat. Pada akhir tulisan, penulis merekomendasikan untuk melakukan redefinisi konsep dan kriteria desa wisata dengan nafas dan nuansa lokal Kabupaten Sleman, sehingga fokus pengembangan desa wisata dapat dilaksanakan dengan basis lokal. Wacana pembuatan produk hukum seperti Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati yang memberi kerangka acuan pengembangan desa wisata dapat juga dilaksanakan. Mediasi dan stimulasi harus tetap terus dilakukan untuk meminimalisasi potensi konflik yang ada dalam desa wisata. Kebijakan pelatihan SDM desa wisata, promosi dan pemasaran, lomba desa, serta fasilitasi pengembangan patut untuk dilanjutkan.
Development of tourism villages in Sleman regency have started since the late 1990s. Initially, around 2001, noted there are only two tourism villages, now entering mid-year 2010, that number had reached 38 villages. The concept of tourism villages in Sleman district that emphasizes initiative and community organizations in the establishment and management indicates a strong determination and enthusiasm of the community to developing their villages based on tourism. Following up the strong community desire, Sleman District Government through the Department of Culture and Tourism set policy the development of tourism villages’ direction in accordance with RPJM-RPJP Sleman with these following guidelines; first, using the uniqueness, local wisdom and resources to compete globally, second, do efforts to improve the quality of human resources, and third, efforts to improve the welfare of the community. The policies on developing tourism villages are; budget policy, facilitating the development of tourism villages, manufacturing signs, signage and information boards, promotions and marketing, human resources training, mentoring and coaching as well as tourism villages’ competitions. Qualitative descriptive research design are applied, so it can describe the policy implementation on torism villages development and the impact felt by the people in Sleman. More specific, the real impact of the implementation of these policies are detailly described by the case studies that used in this research. The case study was conducted in two tourism villages with the same category, Cultural Tourism Village of Tanjung and Cultural Tourism Village of Pajangan. At the Tanjung, where the initiative and enthusiasm of its people is very high, found an increase in community empowerment. The additional revenues and increased economic capacity of communities, the active participation of communities, infrastructure and public facility that is built up and the dynamic tourism village management institutions indicate that the effects of empowerment relatively felt by the community. Selling almost the same peculiarities, it turns out the concept of village tourism in the Pajangan did not bring a significant impact on the community life. The development stagnancy in Pajangan are caused by these things; the absence of management institutions, the dependency on one central figure, and lack of enthusiasm and community participation. At the end of this journal, the authors recommend to perform a concept and criteria redefinition of village tourism with the local colour, so the development of village tourism can be focused and implemented with a local base. Discourse making legal products such as regional regulation or decree which gives a frame of reference the development of village tourism can also be implemented. Mediation and stimulation should still continue to be done to minimize the potential conflicts that exist in the tourism village. Human resources training, promotion and marketing, the tourism villages’ competition and facilitating the development of tourism villages ought to proceed.
Kata Kunci : kebijakan pengembangan desa wisata, desa wisata, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan ekonomi, peningkatan partisipasi masyarakat, pembangunan masyarakat, tourism villages’ development policies, rural tourism, community development, economic c