Representasi kelompok kultural dalam politik lokal :: Studi tentang Gerakan Kerapatan Adat Kurai dalam mengembalikan representasi di Kota Bukittinggi
IRAWATI, Drs. Haryanto, M.A
2010 | Tesis | S2 Ilmu PolitikPrinsip desentralisasi yang dianut oleh UU No. 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 memberi ruang yang lebar bagi pengakuan terhadap hak asal usul. Kebijakan ini memberi inspirasi kelompok-kelompok masyarakat adat untuk melakukan rekonstruksi kekuasaan yang pernah mereka miliki dengan membangkitkan kembali nilai-nilai lokal. Kekuatan identitas etnik yang menjadi fenemona umum kemudian mendapat momentum di Sumatera Barat. Kekuatan kelompok Adat di Kota Bukittinggi yang tergabung dalam Kerapatan Adat Kurai (KAK) merasa tidak puas dengan kondisi tidak diterapkannya Pemerintahan Nagari di Kota. Mereka menuntut diterapkan Pemerintahan Nagari seperti halnya di wilayah Kabupaten lainnya di Sumatera Barat. Klaim KAK sebagai pemegang kuasa atas wilayah kota Bukittinggi menjadi sumber kekuatan untuk memaksakan tuntutan mereka. Organisasi KAK ini merupakan lembaga yang menjembatani antara masyarakat Kurai dengan Pemerintah. Namun selama pemerintahan orde baru, KAK kehilangan eksistensi dan pengaruh terhadap politik lokal. Kehilangan pengaruh mereka terhadap pemerintahan formal Negara, membuat pemimpin adat yang tergabung dalam KAK berusaha mengembalikan sistem Pemerintahan Nagari yang akan memberi ruang bagi mereka untuk berkuasa. Ada indikasi bahwa tuntutan KAK ini merupakan usaha untuk mengembalikan kekuasaan dari kelompok elite adat. Kepentingan elit lokal pun sangat mungkin menjadi pendorong gerakan KAK ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan dokumentasi. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling. Analisis data menggunakan metode emik dan etik serta literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan KAK lebih dimotivasi oleh kepentingan politis untuk mendapatkan akses dan representasi kelompok mereka dalam Pemerintahan Kota. Dalam dinamikanya gerakan KAK ini lebih banyak dikendalikan oleh aktor-aktor pendukung yang sebagaian besar adalah mantan birokrat, birokrat, politisi dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Isu gerakan digunakan oleh para elit pendukung untuk kepentingan mereka. Dinamika gerakan sangat berkaitan dengan kepentingan para aktor untuk mencari dukungan dalam event politik tertentu. Para elit adat (pemimpin adat) selaku aktor penggagas klaim justeru belum memperoleh representasi baik secara politis, kultural maupun ekonomis dalam politik lokal. Rendahnya posisi tawar mereka terhadap Pemerintah dan lemahnya organisasi KAK selaku wadah gerakan menjadi faktor yang menyebabkan belum berhasilnya gerakan politik KAK.
The principle of decentralization adopted by Law No. 22 of 1999 and revised with Law No. 32 of 2004 gives a wide space for the recognition of the origin right. This policy inspires indigenous groups to do power reconstruction that they ever had through reviving their local values. The strength of ethnic identity became public phenomena later gained momentum in West Sumatra. The Bukittinggi City Indigenous groups power incorporated in Kerapatan Adat Kurai (KAK) are not satisfied with the condition that Nagari are not applied in the City Government. They demanded that the Government applied Nagari as in other areas in West Sumatra District. KAK claims as a holder of authority over the area of Bukittinggi city is a source of strength to impose their demands. KAK has a function as mediator organization between Kurai communities and government. However during the reign of the new order, KAK losing their existence and influence over local politics. Losing their influence on formal governance, make KAK indigenous leaders trying to restore the system of Nagari Government which will give a room for them to power. There are indications that KAK demand is an attempt to restore the power of traditional elites. The interest of local elites is one of possibility as motivation for this movement. This research uses a qualitative approach with case study research design. Data was collected with in-depth interviews and documentation. Informant selection conducted with a purposive sampling technique. Furthermore, data analysis using emic and ethics methods and literature related with research problems. The results of the research showed that KAK movement more motivated by political interests to gain access and representation of their group within local government. KAK movement are controlled more by supporting actors with large part is a former bureaucrat, bureaucrats, politicians and people close to power circle. The elites used movement issue to support their interests. The movement dynamics is closely linked with the interests of the actors to find support in a particular political event. The indigenous elite (traditional leaders) as the initiators have not obtained a good representation as politically, culturally and economically in local politics. Their less bargaining position against the Government and the weakness of KAK organization as a movements place become factors that cause unsuccessful KAK political movement.
Kata Kunci : Kerapatan Adat Kurai (KAK), Gerakan politik, elit dan Sistem Pemerintahan Nagari, Kerapatan Adat Kurai (KAK), a political movement, elite and Nagari Government System