Responsivitas angaran terhadap perempuan :: Studi terhadap alokasi anggaran belanja langsung APBD Kota Yogyakarta pada Dinas Kesehatan tahun 2007-2009
MULYANINGRUM, Asri Widya, Dr.Ambar Widaningrum, M.A
2010 | Tesis | S2 Magister Studi KebijakanKebijakan anggaran daerah mencerminkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya pengalokasian anggaran harus memenuhi azas keadilan. Namun realitasnya, ditemukan bias gender dan kepentingan dalam APBD. Besaran alokasi anggaran program/kegiatan yang ditujukan bagi kelompok gender perempuan pada APBD Kota Yogyakarta Tahun 2006 hanya sebesar 0,01 persen dari total belanja. Di sektor kesehatan Pemerintah Kota Yogyakarta hanya mengalokasikan 5 persen dari total belanja daerah tahun 2006. Itupun, hanya seperempatnya yang digunakan untuk belanja non kedinasan. Alokasi anggaran untuk program kesehatan yang memungkinkan perempuan untuk mendapat manfaat besar hanya Rp 1,26 milyar. Hal tersebut menunjukkan kesehatan perempuan belum mendapatkan perhatian besar dalam anggaran. Praktek bias anggaran juga tercermin dari adanya penghitungan gaji ganda bagi aparatur. Ditemukan alokasi yang diperuntukkan bagi aparatur pada pos belanja publik yang besarnya mencapai 58 persen dari total belanja publik. Kecenderungan tersebut mencerminkan kebijakan anggaran daerah masih mengabaikan hak-hak perempuan terhadap APBD. Padahal perempuan juga memiliki hak atas APBD, salah satunya hal untuk mendapatkan alokasi anggaran yang memadai sebagai upaya meningkatkan kesejahteraannya. Realitas diatas mendorong untuk dilakukan analisis terhadap APBD Kota Yogyakarta pada tahun-tahun berikutnya. Penelitian dilakukan untuk mengetahui responsivitas APBD Kota Yogyakarta pada tahun 2007 – 2009 dengan mencermati anggaran belanja langsung program/kegiatan kesehatan perempuan pada Dinas Kesehatan. Responsivitas tersebut dilihat dari komitmen Kepala Dinas Kesehatan dalam pemanfaatan anggaran belanja langsung, alokasi anggaran dan asumsi yang digunakan dalam pengalokasian anggaran. Untuk mengukurnya peneliti menggunakan indikator antara lain menjadikan perempuan sebagai target sasaran (gender targeted), kesesuaian dengan kebutuhan dan komposisi penggunaan. Penelitian ini berbasis pada metode penelitian kualitatif dengan memanfaatkan data kualitatif dan kuantitatif untuk mendapatkan gambaran yang utuh atas jawaban pertanyaan penelitian. Kesimpulan yang diperoleh, anggaran belanja langsung kesehatan perempuan pada Dinas Kesehatan tidak responsif terhadap permasalahan kesehatan perempuan. Komitmen Kepala Dinas Kesehatan cukup responsif dalam mengatasi permasalahan kematian ibu dan bayi dan status gizi yang rendah serta membuka peluang agar aspek kesehatan lain mendapatkan perhatian yang lebih besar dalam anggaran. Mata anggaran yang ada baru relevan dengan masalah kesehatan maternal dan status gizi. Alokasi untuk aspek tersebut menyerap sebagian besar anggaran kesehatan perempuan. Akibatnya aspek kesehatan untuk kekerasan berbasis gender, penyakit degeneratif, kesehatan seksual, kesehatan remaja dan lansia mendapatkan alokasi yang minim. Tren alokasi baik nominal maupun riil juga tidak responsif. Hanya aspek kesehatan maternal yang bergerak positif dan konsisten. Tren alokasi tidak sesuai dengan tingkat inflasi yang terjadi dan tren peningkatan alokasi untuk aparat jauh lebih besar dibanding alokasi untuk masyarakat. Pengalokasian anggaran ditekankan pada permasalahan penting dan mendasar yang nantinya akan digeser pada permasalahan lain. Namun asumsi ini tidak diterapkan sehingga permasalahan lain tidak mendapat peningkatan perhatian. Akibatnya penentuan alokasi anggaran tidak sesuai dengan dinamika terjadi.
The budget reflects government’s commitment to improve public service and welfare. Therefore the budget allocation must satisfy the principle of justice. In fact, we found gender bias and interest bias in the regional budget. Budget allocations for activities aimed at gender group of women only for 0,01 percent of total expenditure of Yogyakarta’s budget 2006. In health sector, Yogyakarta government allocated only 5 percent of total expenditures in 2006. Only about a quarter were used for non official expenditure. Allocation for women’s health program only Rp 1,26 billion. It showed that women’s health had not gotten much attention in the budget. The budget was also reflected double wages calculation for officials. There were some allocations for officials reached 58 percent of public expenditure. These trends reflected the regional budget policy still ignore women’s right in the budget. Whereas women also had rights to get an adequate budget allocations as the effort to improve their welfare. Based on facts above, researcher is compelled to examine Yogyakarta’s budget responsiveness by looking at direct expenditure for women’s health program/activites in Dinas Kesehatan in 2007 – 2009 periods. Responsivenees is seen from the commitment of health regional department head to use direct expenditure, budget allocations and the assumption used in budget allocation. There are some indicators to measure it such as women as target of programs/activities, meeting the real needs and the composition of its use. This research based on qualitative research methods using qualitative and quantitative data to obtain a whole understanding to answer research question. Direct expenditure on women’s health activities/programs in The Regional Department of Health has not fully responsive to women’s health issues. Head of Health Regional Department (Kadis) commits to overcome maternal dan infant mortality and malnutrition trough direct expenditure. Budget is allocated by the program / activity that has been set. This allocation is arranged to support AKI and AKB programs, prevent sexually transmitted diseases, malnutrition and violence against women. But there is no allocation for health problems due to work and reproductive health for teenager and older people. Budget allocations is emphasis on important and fundamental issues. And the emphasis will be transferred to another problem if the intensity of this problem has been reduced. However, this assumption does not apply. So that other issues of women’s health do not receive increased attention. On the other side of the Yogyakarta Government can not predict the inflation rate and GDP carefully. As result, the budget does not match the dynamics underway and the inflation rate. Thus, the assumption in the budget allocations are not responsive to women's health issues.
Kata Kunci : Anggaran,Responsif perempuan,Kesehatan perempuan