Posisi dan peluang Pemerintah Indonesia dalam renegosiasi kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia
SUSILAWATI, Drs. Riza Noer Arfani, MA
2010 | Tesis | S2 Hubungan InternasionalKerjasama kontrak karya antara Pemerintah Indonesia sebagai pemilik tambang dengan PT. Freeport Indonesia (PT FI) untuk mengeksploitasi Tembaga di Timika Papua sudah berjalan kurang lebih 40 tahun. Banyak orang melihat perjanjian kerjasama tersebut cenderung sangat merugikan. Kerugian yang diakibatkan oleh kontrak tersebut muncul dalam bentuk kerugian materi akibat pembagian keuntungan yang tidak adil ataupun dampak negatif aktivitas pertambangan tersebut bagi masyarakat atau penduduk dan lingkungan di sekitar tambang. Keberadaan PT FI, menurut pandangan mereka, juga tidak membawa kesejahteraan yang berarti bagi masyarakat Papua hingga saat ini, sekalipun penambangan tembaga tersebut telah menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan. Berbagai dampak negatif yang dihasilkan oleh aktivitas penambangan PT FI nampaknya tidak menjadi perhatian utama bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Berlanjutnya dampak negatif aktivitas penambangan dan ketidakpedulian pemerintah terhadap dampak negatif aktivitas tersebut telah mendorong tuntutan agar pemerintah mengkaji ulang atau menegosiasi ulang kontrak karya tersebut. Tuntutan tersebut bukannya tidak beralasan. Joseph E. Stiglitz misalnya berargumen bahwa kontrak karya bukanlah harga mati. Sejauh tidak mencerminkan ketidak-adilan bagi kedua belah pihak, setiap kontrak harus dinegosiasi ulang. Pada saat yang sama, berbagai gerakan massa juga berkembang dipicu atau didorong oleh aktivitas penambagan ini. Gerakan massa ini telah menjadi masalah yang sangat serius dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat Papua dan membahayakan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tuntutan kemerdekaan Papua. Tesis ini membahas masalah-masalah yang muncul akibat kontrak karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT FI serta peluang untuk menegosiasikan ulang kontrak karya tersebut. Tesis ini berangkat dengan argumen bahwa sekalipun kontrak karya penambangan tembaga tersebut menempatkan pemerintah Indonesia dan rakyat Papua dalam posisi yang tidak beruntung, negosiasi ulang nampaknya tidak menjadi agenda pemerintah. Lebih jauh, tesis ini berpendapat bahwa tidak adanya negosiasi ulang kontrak tersebut lebih disebabkan oleh ketidakmauan, dan bukan ketidakmampuan pemerintah untuk melakukannya. Taruhan politik yang dihadapi pemerintah sangat besar untuk berpikir tentang renegosiasi.
Kontrak Karya (the working contract) between the government of the Republic of Indonesia and PT Freeport Indonesia to mine copper in Timika, Papua, has been taking place for more than 40 years. Many criticize the contract as disadvantageous for Indonesia. The profit earned through the mining is not fairly shared by both parties and the mining activities do no have any positive impact to the society. While PT Freeport enjoys a huge amount of profit from the activities, the welfare of the Papuan is not significantly improved. At the same time, extensive exploitation of the resources has also resulted in serious environmental problems. The ecosystem, from which many floras and faunas live, has been destroyed. People suffered a lot without having any capacity to change the situation. The governments, both local and national, do not seem to show their concern with the situation. Believing that the contract is unfair, many suggested that the government should renegotiate with PT Freeport Indonesia. Joseph Stiglitz, for example, argues that contract is not unnegotiable. As long as a contract is unfair, it must be renegotiated. The rise of mass movements in Papua is clearly ignited or, at least, facilitated, by the feeling of being disadvantaged from the mining activities. The movements have created serious problem in the relations between the national government and the Papuan with the latter’s demand for independence. The future of the Unified Indonesian State (NKRI - Negara Kesatuan Republic Indonesia) is in jeopardy. This research deals with the problems brought about by much criticized work contract between the Government of the Republic of Indonesia and PT Freeport Indonesia and speculates about the prospect of renegotiation of the contract. It argues that while the contract has clearly put the government and the people of Papua in the disadvantaged position and despite the fact that many have suggested the government to renegotiate it, renegotiation does not seem to be high in the agenda. It argues further that the failure to renegotiate the contract lies in the unwillingness rather that in the incapacity of the government of the Republic of Indonesia. The political stake is too high for the government to think of renegotiation.
Kata Kunci : Kontrak karya,Renegosiasi,Kemampuan politik,PT Freeport