Laporkan Masalah

Implikasi spasial dan kelembagaan dari pemekaran wilayah Nagari-nagari di Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat

PUTRA, Okta Yendra, Ir. Sudaryono, M.Eng., PhD

2009 | Tesis | S2 MPKD

Kembali ke sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat ditujukan untuk menjaga eksistensi budaya Minangkabau. Dalam implementasinya, selain akibat adanya perkembangan pertumbuhan jumlah penduduk di masing-masing nagari, ternyata banyak permasalahan-permasalahan yang berujung munculnya keinginan-keinginan masyarakat untuk menjadikan wilayah jorong/desa lama mereka untuk menjadi nagari tersendiri. Hal ini kemudian juga dipermudah dengan munculnya peraturan-peraturan yang memberikan peluang terwujudnya keinginan masyarakat tersebut. Di sisi yang lain, terbentuknya sebuah nagari otonom menurut adat Minangkabau tidaklah mudah dan mempunyai syaratsyarat yang cukup rumit. Di Kabupaten Sijunjung, pemekaran nagari ini telah menghasilkan 8 nagari baru dari 5 nagari induknya pada tahun 2008. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan bagaimana pola terbentuknya ruang pada nagari-nagari yang baru serta untuk mengetahui apa implikasinya terhadap tata spasial dan kelembagaan di nagari yang mengalami pemekaran tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode analisa deskriptif interpretatif yang lebih menekankan pada interpretasi data empiris berupa hasil wawancara, observasi lapangan dan kajian pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika dahulunya sebuah nagari terbentuk dari gabungan dua koto atau beberapa koto maka pada saat ini rata-rata sebuah nagari yang baru hanya terbentuk dari perkembangan sebuah koto yang langsung menjadi sebuah nagari. Terdapat dua model pemekaran nagari yang terjadi di Kabupaten Sijunjung yaitu terbentuknya nagari yang sesuai dan kurang sesuai dengan pola terbentuknya nagari menurut adat Minangkabau. Nagari Siaur dan Nagari Lubuk Tarantang adalah nagari hasil pemekaran dari Nagari Sungai Lansek merupakan pemekaran nagari yang sesuai dengan adat Minangkabau, sedangkan Nagari Latang dan Nagari Kampung Dalam adalah nagari hasil pemekaran dari Nagari Lubuk Tarok merupakan pemekaran nagari yang kurang sesuai menurut adat Minangkabau. Implikasi spasial dari adanya pemekaran nagari yang kurang sesuai dengan adat Minangkabau adalah permasalahan pemanfaatan ruang dan sumber daya alam akibat sulit dijelaskannya pembagian wilayah terutama wilayah fungsional nagari yang mengakibatkan adanya ketergantungan nagari hasil pemekaran terhadap nagari induk, dan menurunnya bukti-bukti fisik sebagai simbol berdirinya sebuah nagari. Dampak kelembagaan yang muncul adalah makin terpinggirkannya peranan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam mengelola pemerintahan nagari akibat adanya perbedaan perspektif mengenai pengertian dan keberadaan lembaga ini, tingginya kerawanan konflik sosial budaya di masyarakat, dan terjadinya pergeseran pemahaman tentang filosofi hidup bernagari tersebut di kalangaan masyarakat.

Reimplemention of the nagari system in West Sumatera is essentially aimed to maintain Minangkabau cultural values. The implementation of this program has been influenced by some social problems – including population growth in each nagari – that result in a demand of regional administrative reconfiguration. People of some villages in Sijunjung, West Sumatera, aspire to have their jorong or villages developed into an autonomous nagari. According to the Minangkabau traditional laws, certain requirements and conditions apply in the process of establishing an autonomous nagari. However, current administrative regulations seem to make this process more easier complicated. This condition thus allows the former 5 nagari in the Regency of Sijunjung to develop into 8 new nagari in 2008. This research is aimed at identifying and describing the model of spatial formation in the new established nagari and its implication on both the spatial lay-out and the system of traditional institution of the former nagari which experience territorial re-configuration. This research is conducted using qualitative method with descriptive approach. It focuses on the interpretation of empirical data which are collected through interviews, observation and documentaries. The result of this research shows a significant change in the pattern of the establishment of a nagari in Sijunjung Regency. Formerly, a nagari was usually developed from two or more merged koto while currently most of new nagari are established immediately from one koto. Nowaday, the administrative reconfiguration of nagari in Sijunjung mainly follow two categories of pattern. In the first category are new nagari which are established accordingly to the Minangkabau traditional laws such as Nagari Siaur and Nagari Lubuk Tarantang which are developed from former Nagari Sungai Lansek. In the second category are new nagari which are established not accordingly to the Minangkabau traditional laws such as Nagari Latang and Nagari Kampung Dalam which are developed from Nagari Lubuk Tarok. This second pattern of territorial reconfiguration has brought about some spatial implications such as problematical utilization of space and natural resources which is due to the indistinct operative boundaries between nagari that allowed the dependency of new nagari on their former nagari, and disappearance of substantial evidence as the symbol of the establishment of a nagari. The second pattern of nagari’s territorial broadening also generates institutional implication i.e. the lessening role of Kerapatan Adat Nagari / KAN (the Minangkabau Traditional Institution) in governing the nagari that caused by diverging perspectives on the concept and the task of KAN , high risk of potential sociocultural conflict, and the changing phylosofy of nagari among Sijunjung people.

Kata Kunci : Nagari,Pemekaran wilayah,Implikasi,Taat spasial,Kelembagaan,territorial re-configuration,implication,spatial,institution


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.