Seni Shalawatan Katolik sebagai media harmonisasi antar umat beragama masyarakat Turgo
DWIRAWATI, Shinto, Prof. Dr. Heru Nugroho
2009 | Tesis | S2 Kajian Budaya dan MediaGereja Katolik semenjak Konsili Vatikan II menganjurkan agar gereja membuka diri dan menerima unsur-unsur kebudayaan setempat sejauh unsur-unsur kebudayaan setempat tidak bertolak belakang dengan ajaran-ajaran agama Katolik. Usaha-usaha semacam ini gereja Katolik menyebutnya dengan inkulturasi. Pada awalnya sejarah lahirnya Seni Shalawat Katolik yaitu setelah Erupsi Gunung Merapi yang terjadi 22 November 1994 yang tergolong cukup besar dan telah memporak-porandakan lingkungan sekitar gunung. Beberapa dusun mengalami rusak, terutama Dusun Turgo, Masyarakat Turgo imannya agak goyah sehingga memerlukan kekuatan iman. Banyak sekali nilai penting yang menjadikan komunitas Shalawatan Katolik di dusun Turgo ini berusaha untuk terus menghidupkan shalawatan, dengan alasan-alasan dan nilai penting sebagai media pewartaan, konsolidasi antar umat, penyampaian ajaran injil dan penguatan iman, pelayanan dalam masyarakat ,ajaran moral, dan aktualisasi diri dalam seni. Syair-syair dalam shalawat Katolik yang berisikan ajaran-ajaran Yesus Kristus, pujipujian pada Allah selain ajaran teologis syair-syair dalam shalawat Katolik berisi tentang hubungan antar umat beragama. Antara Shalawat Katolik dan Laras madya ( shalawatan Islam) sering pentas bersama, bila pentas bersama menggunakan alat musik bergantian, bila shalawat Katolik sedang pentas, maka laras Madyo mengiringi dengan ‘girong’ atau tepuk tangan sambil mendengarkan syairnya. Hal tersebut sungguh harmoni. Seni Shalawatan Katolik ini merepresentasikan kerinduan untuk beriman, kerinduan untuk beribadah . Shalawat Katolik merepresentasikan Iman yang kita hayati, tanpa memperdulikan aqidah, ritual dan lain-lain, Shalawat Katolik merepresentasikan Iman sejati yang diwujudkan dengan tembang. Di kalangan muda-mudi Katolik ada beberapa sudut pandang dalam menanggapi keterputusan regenerasi Shalawat Katolik di Dusun Turgo antara lain: Generasi muda pada umumnya tidak berdomisili penuh di kampungnya, penggunaan bahasa Jawa halus yang kurang dimengerti kaum muda, serta tidak adanya kemampuan dasar untuk memainkan alat musik terbang.
Catholic Church since the Vatican II church council encourage the church to open up and accept the elements of local cultural elements as far as the local culture is not contradictive to the Catholic teachings. This efforts is called inculturation due to the Catholic church Arts Shalawat Catholic borned after the big Eruption of Mount Merapi which was on 22 November 1994 that damage to the environment around the mountain. Some villages are damaged, especially Turgo village. Turgo people’s faith were quite bouncy and indeed need the strength of faith. Many important values that make Shalawat Catholic community in this village try to hold the shalawatan, as an important and valuable information media for consolidation among the people, the submission of the gospel and the faith teachings, service in the community, moral teachings, and self-actualization in art. besides containing teachings of Jesus Christ, praise God and the teachings theologies, lyrics of slaka contain about relationships among people as human being who believe in God. Between shalawat Catholic and Laras Madya (shalawatan - Moslem) often perform together. When they perform in one stage they use the instrument one after the other. when the shalawat Catholic play, Laras Madya support with the 'girong 'rythmic or clapping while listening its lyric. This is indeed in harmony. Shalawatan Catholic art represents the longing to believe, longing to worship. Shalawat represents the faith that we believed, without considering dogma, rituals and others. Shalawatan Catholic represents the true faith that is transformed through tembang. Among young Catholic, there are some perspective in responding to the continuity of regeneration of Shalawatan Catholic in Turgo such as: Young people generally do not stay permanently in their village, The lack of understanding in using Javanese language by young people, lack of basic ability to play a musical instrument-musik terbang.
Kata Kunci : inkulturasi, budaya lokal, representasi, agama Katolik, inculturation, local culture, representation, Catholic