Analisis kebijakan desentralisasi fiskal Kota Bekasi Jawa Barat :: Studi kasus pendidikan dasar dan menengah

YUNUS, M, Dr. Samsubar Saleh, MA

2009 | Tesis | S2 Magister Administrasi Publik

Berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM), ternyata sektor pendidikan amat strategis dan fundamental sehingga memerlukan komitmen pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mewujudkan peningkatannya. Data dan fakta berbicara bahwa SDM Indonesia berdasarkan Laporan HDI – UNDP (1999) masih terpuruk pada urutan ke 105, sedangkan indeks tingkat pendidikan masih tergolong rendah yaitu 0,77% dibandingkan dengan Philipina (0,99); Thailand (0,81). Dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan, sebenarnya merupakan momentum peluang dan tantangan daerah, yang sangat diharapkan bahwa kondisi pengelolaan pendidikan akan semakin membaik, partisipatif, demokratis dan bertanggungjawab kepada masyarakatnya. Salah satu permasalahan krusial dalam sektor pendidikan adalah masalah anggaran atau pembiayaan pendidikan, baik secara nasional yang dialokasikan dalam APBN maupun secara daerah dalam APBD-nya, yang merupakan wujud nyata komitmen pembiayaan pendidikan oleh pemerintah pusat maupun daerah (kabupaten dan kota). Oleh karena itu perlu dicermati dan dianalisis seberapa besar wujud nyata komitmen dimaksud, apalagi sejak pelaksanaan desentralisasi tahun 2001.Studi ini sengaja mengambil kasus daerah Kota Bekasi dengan berbagai pertimbangan teknis dan non teknis, juga mengingat posisi dan karakteristiknya. Untuk itu pula dengan segenap keterbatasan, penelitian ini Kota Bekasi dengan jenjang SD, SLTP, dan SMU berstatus negeri dan swasta. Pengambilan data sekolah sampel tersebut diperlukan untuk dasar analisis mikro, yaitu menemukan biaya rata-rata per siswa untuk periode tahun 1999 – 2006 berdasarkan pendekatan budgeter (APBS). Sedangkan data untuk memperkuat analisisi makro, berupa data APBN dan APBD serta PDB dan PDRB untuk daerah kasus. Cross-check data dengan berbagai data statistik daerah dan nasional juga ditempuh sesuai dengan kebutuhan studi. Berdasarkan tinjauan teoritis semakin meyakinkan bahwa pendidikan merupakan bidang garap analisis kebijakan publik yang bersifat lintas disiplin. Disamping itu pendidikan merupakan persoalan kebutuhan pokok (dasar) yang berarti pula termasuk kajian ekonomi pembangunan ataupun ekonomi publik, dan oleh karenanya pendidikan memerlukan campur tangan pemerintah agar tidak terjadi kegagalan pasar (market failure). Hasil studi analisis ini menggambarkan bahwa kondisi pembiayaan pendidikan pada daerah kasus (Kota Bekasi) telah ada antisipasi dan komitmen alokasi anggaran sektor pendidikan terhadap total APBDnya (>20%), terutama diperkuat alokasi anggaran rutin, pada kedua Periode. Pada Periode Pertama yaitu; (20,03%-29,40%)dan pada periode kedua (20,96%-5,23%). Kota Bekasi nampak lebih dinamis dalam perkembangan alokasi anggaran baik rutin maupun pembangunan. Namun untuk alokasi anggaran pembangunan pada Kedua Periode masih timpang dibanding alokasi rutinnya. Sedangkan dilihat dari kontribusi pembiayaan sektor pendidikan terhadap PDRBnya, untuk kedua masa kepemimpinan tersebut masih dibawah 1%. Nampak biaya rata-rata 4 tahun per siswa untuk tingkat SD Negeri dan SMU Negeri di Kota Bekasi pada Periode Pertama secara umum nampak lebih tinggi presentasinya dibanding dengan Kota Bekasi pada Periode. Lihat perbandinganya pada Periode Pertama yaitu : SDN Rp. 467.001, dan SDS Rp. 435.861,- untuk SDN nampak lebih mahal; kemudian SLTPN Rp. 693.519,- dan untuk SLTPS Rp. 789.135,- untuk tingkatan ini SLTPN lebih murah dibanding swasta, selanjutnya SMUN Rp. 980.989,- dengan SMUS Rp. 928.515,- pada tingkatan ini SMUN lebih mahal dibanding SMUS. Kemudian pada Periode Kedua yaitu sekolah negeri dari semua tingkatan lebih murah dibanding sekolah swasta, hal ini terjadi diperkirakan karena telah efektifnya dana BOS yang sudah terdistribusikan

Related to the development of human resources, educational sector is in fact so strategic and fundamental that it requires both the central and local government’s commitment in order to achieve it. Based on the data and facts reported by HDI-UNDP (1999), Indonesian human resources still ranked fairly low on the list, placing the 105th, and the level of education was relatively below average, 0,77%, compared to that of Philippines (0,99) and Thailand (0,81). Actually, the implementation of education decentralization policy can be perceived as an opportunity as well as a challenge to gain momentum by local governments, which are expected to improve their management of education so that the condition will become better, more participative, democratic, and accountable to the society. One of the most crucial problems in the sector of education is the issue of educational budget and expenditure, either nationally as allocated in the State Budget (APBN) or locally as in the Local Budget (APBD), which shows the tangible evidence of commitment from the central and local governments (regencies and municipalities) concerning the abovementioned issue. Therefore, it is worth the analysis and careful attention to figure out the extent of the commitment, knowing the fact that the decentralization policy has been initiated since 2001. This study intentionally chose the case that occurred in Kota Bekasi as the object of analysis for some technical and non-technical reasons, as well as for its particular position and characteristics. Hence, the analysis focuses on the state and private elementary schools, junior and senior high schools in Kota Bekasi. Certain data were sampled from the schools for the foundation of micro analysis in order to find out the average expense of each student during the period of 1999-2006 based on the School Budget (APBS). To strengthen the macro analysis, data of the State and Local Budget (APBN and APBD) as well as the National Gross Domestic Income (PDB) and the province’s Gross Regional Domestic Income (PDRB) were also taken into account. Data cross-check with those of the regional and national statistics was also carried out according to the need of the study. Based on theoretical review, it becomes more obvious that education is an interdisciplinary object of analysis on public policy. Moreover, education is a matter of basic necessity, which also shows that it also included in the study of development economy or public economy. Thus, it requires the interference of the government to avoid market failure. The study result shows that regarding the condition of educational expenditure in Kota Bekasi, there had been anticipation and commitment from the local government concerning the allocation of budget for the sector of education out of the total amount of APBD (more than 20%), strengthened by the allocation of routine budget. This situation occurred during the first period, that reached (20,03%-29,40%) and of second period, that arrived at (20,96%-5,23%). Kota Bekasi seems to have more dynamic development pertaining to the allocation of routine or development budget. However, the development budget during both of the mayoralties was still considered inadequate compared to the routine budget. In addition, the contribution for educational sector out of PDRB throughout the two periods was also still below 1%. It can be seen that the average expense for each student in four years at the State-Elementary Schools (SDN) and State-Senior High Schools (SMUN) in Kota Bekasi during the first period was generally higher in percentage compared to that of the second period. The development shows that throughout the first period, SDN was Rp. 467,001, and Private Elementary School (SDS) was Rp. 435,861-, SDN was higher here; then State Junior High School (SLTPN) was Rp.693,519-, and Private-Junior High School was (SLTPS) Rp.789,135-, here, SLTPN was cheaper. Next, SMUN was Rp.980,989-, and Private Senior High School (SMUS) was Rp.928,515; at this level SMUN was higher than SMUS. Later on, during the second period for all state-schools at all levels in Kota Bekasi were cheaper than private ones. This was due to the effectiveness of School Operational Assistance (BOS) that had been evenly distributed.

Kata Kunci : Desentralisasi fiskal,Pendidikan dasar dan menengah,Kota Bekasi