Intelektual kolektif gerakan ilmiah untuk melawan dominasi :: Pandangan Pierre Bourdieu tentang intelektual
MUTAHIR, Arizal, Prof. Dr. Heru Nugroho
2009 | Tesis | S2 SosiologiPenelitian ini berikhtiar menelaah pemikiran Bourdieu tentang intelektual. Untuk meraih tujuan tersebut, pertama-tama diurai tentang biografi kehidupan Bourdieu dan keadaan yang melatarbelakangi pemikiran Bourdieu. Kemudian, dilanjutkan dengan usaha mengurai konsep-konsep pemikiran Bourdieu. Konsep-konsep itu digunakan untuk mengurai lebih jauh pemikiran Bourdieu yang berkenaan dengan tujuan penelitian ini. Selanjutnya, pandangan Bourdieu tentang intelektual coba digunakan untuk melihat realitas intelektual Indonesia. Metatheorizing varian pertama dari Ritzer digunakan sebagai model penelitian ini. Metatheorizing yakni studi reflektif dalam struktur teori sosiologi secara keseluruhan. Sedangkan metateori varian pertama yakni sebuah usaha memahami secara mendalam sebuah teori. Berlandaskan itu, studi pustaka digunakan sebagai metode penelitian ini. Studi pustaka merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Hal itu berarti berkaitan dengan proses penafsiran. Pemikiran Gadamer tentang hermeneutik terutama tentang pemahaman, digunakan sebagai model penafsiran. Pemikiran Gadamer memuat pemikiran bahwa pengalaman pemahaman merupakan proses; dialog antar-teks, penerjemahan, dialektika pertanyaan dan jawaban, serta pertemuan dua cakrawala, yakni cakrawala teks dan cakrawala pembaca. Hasil penelitian didapat bahwa karier dan kehidupan Bourdieu dilalui dengan penuh perjuangan. Tidak seperti intelektual Perancis pada umumnya, misal Sartre atau Foucault, Bourdieu berasal dari kaum pinggiran. Atas usahanya yang terus menerus menekuni penelitian lapangan dengan panduan disiplin teoritis, Bourdieu menjadi pusat di ranah intelektual Perancis. Sebelumnya, ranah intelektual Perancis dipengaruhi dua pemikir besar yakni Levi Strauss dan Sartre. Namun Bourdieu berusaha lepas dari keduanya. Usaha Bourdieu memunculkan konsep khas, yakni field(ranah) dan habitus. Dengan menggunakan kedua konsep itu, Bourdieu berupaya mengurai realitas sosial. Bourdieu melihat realitas sosial merupakan sebuah proses dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas. Atau disebut juga dengan praktik. Praktik sosial terjadi dalam ranah. Dalam ranah, agen berjuang untuk meraih posisi. Posisi agen di dalam ranah tergantung volume modal yang dimiliki. Ranah intelektual merupakan salah satu dari pelbagai bidang kehidupan. Intelektual merupakan nama khusus untuk agen yang mendiami ranah intelektual seperti politisi untuk nama agen yang berada di ranah politik. Agen di dalam ranah intelekual berjuang untuk memperoleh pengakuan dan imbalan. Perjuangan agen berdasarkan aturan yang disepakati dalam ranah. Karya merupakan usaha yang legal. Semakin diakui karya seorang agen, semakin agen mempunyai posisi dalam ranah terutama dalam hal otoritas melegitimasi karya lainnya. Oleh karena itu, intelektual mempunyai sifar bidimensional, yakni menjunjung komitmen dan berpihak pada kepentingan publik. Semakin tinggi sifat bidimensional dijunjung oleh para agennya, semakin otonom ranah intelektual. Namun demikian, otonomi ranah sering dicampuri oleh kekuatan eksternal, yakni kekuasaan, ekonomi dan politik yang ditopang kekuatan media. Untuk menghadapi itu, Bourdieu mengajukan ide intelektual kolektif, yakni gabungan beragam intelektual lintas batas disiplin ilmu, aliran pemikiran bahkan ideologi untuk membela kepentingan publik. Ranah intelektual Indonesia, pada derajat tertentu terdapat intelektual kolektif. Di beberapa tempat terdapat intelektual kolektif yang menyuarakan kepentingan publik.
The research is attempting to study Bourdieu’s thinking on intellectual. To achieve that goal, initially Bourdieu biograph and his academic background are revealed. Then, this research came to his concepts and thoughts. They are used to unearth Bourdieu’s thinking related to this research. Lastly, Bourdieu thought is taken to get a view on the reality of Indonesian intellectuals. The first variant of Ritzer’s metatheorizing is the model for this research. Metatheorizing is a reflective study within the general structure of sociological theories. Its first variant is an enterprise to have a whole understanding on a particular theory. Therefore the method for this research is literary study consists of a set of activities associated with collecting literal data, and reading, taking note and analyzing research materials. Since those are related to the process of interpreting, Gadamer thought on hermeneutics has been the model. Gadamer hermeneutics is concerning with an idea that understanding experience is the process of intertextual--dialogue, translation, the dialectics of ask and answer and the fusion of two horizons, text and reader. The research has shown that Bourdieu career and life are getting through the tough struggle. Unlike a lot of famous French intellectuals such as Sartre and Foucault, Bourdieu came up from suburban. By his continuous attempt to occupy field research diligently with theoretical guidance, Bourdieu has become a centre within French intellectual field. Despite before his time, this field has been heavily influenced by two giant intellectuals, Claude-Levi Strauss and Jean-Paul Sartre, Bourdieu has tried to be free from them. He came up with distinctive concepts: field and habitus. The two concepts are his tools to disentangle social reality in which he saw as a process of dialectics between internalization, externalization and internality-externalization, or paraphrased as practice. Since the practice occurs within sphere, agent is struggling to get a position. Yet, this position depends on the volume of capital he/she has. Intellectual is one of many field within life. Intellectual is also the specific name for agent dwells within intellectual field just like politician is the specific name for agent dwells within political field. Agent in intellectual field tries to have acknowledgment and reward. However this attempt may only be conducted based on agreed rule within filed. In this context, the work of agent is agreeable. The more acknowledged the work, the higher position an agent will have, particularly in the authority to legitimize other works. Henceforth, intellectual has two dimensions: carrying commitment on the head and taking side to public interests. The higher these two dimensions are taken by intellectual, the more autonomy them posses. In spite of that, the autonomy of sphere has been occasionally intervened by external powers: economic and political power supported by media. Against the intervention, Bourdieu has addressed the idea of collective intellectual: the joint various interests of intellectuals across discipline, school and ideology to advocate public interests. Indonesian intellectual field, to some extent, has collective intellectuals. In some cases, collective intellectuals stand up for public interests are existing.
Kata Kunci : Bourdieu,Habitus,Ranah,Modal,Intelektual,Otonomi,Intelektual kolektif, Bourdieu, habitus, field, capital, intellectual, autonomy, collective intellectual