Makna persetujuan bersama dalam pembentukan peraturan daerah

DWIKURYANTO, Hery, Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H

2009 | Tesis | S2 Magister Hukum

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 membawa pengaruh perubahan terhadap sistem pemerintahan daerah, tidak terkecuali berkaitan dengan legislasi daerah. Kewenangan pembentukan peraturan daerah yang semula menjadi kewenangan kepala daerah bergeser menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pergeseran kewenangan ini berpengaruh pula terhadap proses pembahasan rancangan peraturan daerah. “Persetujuan bersama” DPRD dan kepala daerah menjadi syarat untuk dapat ditetapkannya peraturan daerah oleh kepala daerah. Dalam penelitian ini diajukan tiga masalah, yaitu (1) pada tahapan apa persetujuan bersama dilakukan dalam proses pembentukan peraturan daerah ?, (2) bagaimana bentuk persetujuan bersama dalam pembentukan peraturan daerah ?, (3) Apakah konskwensinya jika kepala daerah tidak memberikan persetujuan terhadap suatu rancangan peraturan daerah? Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif-empiris yang bersifat deskriptif, karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara rinci tentang obyek yang dikaji dengan memanfaatkan norma-norma hukum ketatanegaraan yang ada sebagai sumber datanya. Hasil penelitian ini menunjukkan, pertama persetujuan bersama terhadap rancangan peraturan daerah terjadi pada saat dilakukan pembahan bersama DPRD dan kepala daerah. Hal ini dapat terjadi pada tahapan konsinyering, pembicaraan tingkat pertama, pembicaraan tingkat ketiga, atau pembicaraan tingkat keempat. Kedua persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah atas rancangan peraturan daerah dituangkan dalam bentuk dokumen naskah persetujuan bersama. Ketiga apabila kepala daerah tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah, maka rancangan peraturan daerah tersebut tidak dapat ditetapkan menjadi peraturan daerah. Atas dasar uraian diatas, maka dalam pembahasan rancangan peraturan daerah perlu dibangun keharmonisan dan komunikasi yang baik antara kepala daerah dan DPRD, dengan tetap mengedepankan prinsip checks and balances. Persetujuan bersama tidak perlu diformulasikan dalam bentuk dokumen naskah persetujuan bersama, mengingat hakekat persetujuan bersama secara material telah terjadi dalam pembicaraan tingkat ketiga. Pada pembicaraan tingkat keempat hanyalah merupakan formalitas atas adanya persetujuan bersama. Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah kepala daerah dapat menolak untuk memberikan persetujuan, dengan konskwensi rancangan peraturan daerah tersebut tidak dapat ditetapkan menjadi peraturan daerah.

Alternation of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has brought influences to the changes of local administration system, particularly pertaining to the local legislation. The authority of local regulation establishment which was previously on the hand of local government head (Regent/Mayor) has shifted to the authority of Regional People's House of Representatives (DPRD). The shift of authority has also affected the process of local regulation establishment. “The joint approval” between DPRD and the local government head is the requisite for the Regent/Mayor to enact the local regulation. Under this study, there are, therefore, three issues to be discussed in relation to the local regulation establishment, namely (1) in what level is the joint approval required?; (2) what is form of the joint approval?; and (3) what is the consequence for the Regent/Mayor if he/she does not give his/her approval to the drafted local regulation? This study can be categorized as a normative-empiric law research, which is descriptive in nature, aimed at providing detailed description of the studied objects based on the existing norms of constitutional laws, as data sources. The result of this study shows the followings: First, the joint approval on the draft local regulation takes place when it is discussed by DPRD and the local government head. The discussion is conducted during the “konsinyering” (working committee meeting), the first-phase discussion, third-phase discussion, or the fourth-phase discussion. Second, the joint approval between DPRD and the local government head on the draft local regulation is written down in a joint-agreement document. Third, if the Regent/Mayor does not give his/her approval to the drafted local regulation, the draft local regulation cannot be enacted as a local regulation. Based on the afore-mentioned description, during the discussions of draft local regulation, it is then necessary to build up a sound communication and harmoniousness between the Regent/Mayor and DPRD, and setting-out the principles of checks and balances. The joint approval is not necessarily formulated in a joint-agreement document, considering that the essence in the joint approval has, in a material way, has taken place in the third-phase discussion. Meanwhile, the fourth-phase discussion is just a formality of the joint approval. In the discussion of draft local regulations, the Regent/Mayor may refuse to give his/her approval, with a consequence that the draft local regulation cannot be enacted as a local regulation.

Kata Kunci : Pembentukan peraturan daerah,Persetujuan bersama,local government establishment,joint approval