Laporkan Masalah

Posisi perempuan Jawa :: Tinjauan atas novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer

SUMARTINI, Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo

2008 | Tesis | S2 Sastra

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan posisi perempuan Jawa di dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, karya sastra Indonesia yang memuat kehidupan perempuan Jawa pada awal abad dua puluh. Posisi perempuan yang dimaksud adalah bagaimana perempuan menempati posisinya sebagai makhluk individu dan sosial yang hidup dalam lingkup keluarga dan masyarakat, yang terlihat pada peran dan kedudukan serta potensi yang dimiliki perempuan dalam karya sastra. Pandangan tentang posisi perempuan dalam masyarakat Jawa dikelompokkan menjadi dua sisi. Pandangan pertama mengatakan bahwa perempuan Jawa menempati posisi yang tinggi. Hal itu terlihat pada peran-perannya yang penting dalam kehidupan, baik itu kehidupan keluarga maupun masyarakat. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa perempuan Jawa memiliki potensi diri dalam mewujudkan dirinya sebagai manusia yang memiliki kedudukan dan peran penting, terutama dalam bidang ekonomi. Pandangan lain mengatakan bahwa peranan penting perempuan dalam sektor ekonomi dan pengelolaan rumah tangga belum tentu menunjukkan tingginya status dan kedudukan perempuan Jawa. Sebaliknya, mereka memiliki beban ganda karena mereka harus mencari nafkah untuk keluarga dan dituntut untuk menyelesaikan sebagian besar pekerjaan domestik sehingga mereka harus membagi waktu dan sumber daya untuk memenuhi kedua kewajiban tersebut secara bersamaan. Gadis Pantai memuat persoalan perempuan dalam masyarakat Jawa yang ingin menemukan eksistensi dirinya sebagai manusia yang sama kedudukannya dengan manusia lain. Persoalan itu diwujudkan dalam tokoh Gadis Pantai, gadis cantik dan muda, yang berasal dari kampung nelayan, dan diperistri oleh seorang priyayi Bendoro dalam usia yang relatif muda. Dalam menjalani kehidupan sebagai istri Bendoro, ia mulai memahami jarak yang tak terhingga antara dirinya dan suaminya. Ia hanya dijadikan sebagai istri percobaan sebelum Bendoro menemukan jodohnya dari keturunan priayi. Perbedaan status sosial membuat Gadis Pantai tak dapat mengaktualisasikan dirinya layaknya istri, ibu dan anggota masyarakat seutuhnya. Ia disubordinasi, diasingkan, serta dibatasi hak-haknya sebagai manusia yang merdeka. Setelah ia melahirkan seorang anak perempuan, ia langsung diceraikan, dipisahkan dari anaknya, dan diusir dari rumah Bendoro. Ia tidak kembali ke kampung nelayan asalnya, tetapi memilih pergi ke kota kecil di selatan yaitu ‘Blora’. Kritik sastra feminis digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian ini. Analisis ini digunakan untuk mengungkap bagaimana posisi perempuan Jawa direfleksikan dalam novel Gadis Pantai. Posisi perempuan tersebut akan ditelusuri melalui peran dan kedudukan serta potensi yang dimiliki perempuan dalam Gadis Pantai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam Gadis Pantai masih menempati posisi di sudut-sudut yang terpinggirkan, dalam arti bahwa perempuan belum mendapatkan eksistensi diri sebagai manusia yang utuh dan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Potensi perempuan yang masih berkisar pada kecantikan fisik keterampilan domestik menjadikannya tetap berada posisi yang tersubordinasi. Sebagai istri ia hanya dijadikan sebagai percobaan seks suami sebelum menikahi perempuan yang status sosialnya sama dengannnya, ia pun diabaikan hak-haknya sebagai ibu. Alasan status sosial tampaknya sangat dominan mewarnai perjalanan hidup Gadis Pantai. Berasal dari keluarga rakyat biasa membuat Gadis Pantai tetap berada pada posisi yang terabaikan. Penolakan Gadis Pantai untuk kembali ke kampung nelayan setelah diceraikan oleh Bendoro merupakan bentuk penolakannya atas eksploitasi diri perempuan melalui keluarga. Oleh keluarganya ia diupetikan kepada Bendoro sehingga ia menjalani kehidupan yang serba terasing dan tak berarti. Pilihannya untuk pergi ke selatan merupakan bentuk sikap Gadis Pantai dalam menemukan dirinya sebagai manusia yang merdeka. Keluarga dan suaminyalah yang mengantarkan dirinya berada dalam kesengsaraan. Dengan demikian penelitian ini menyimpulkan bahwa perempuan Jawa dalam novel Gadis Pantai berada pada posisi yang tersubordinasi, the second sex, orang asing, dan belum memiliki eksistensi diri sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Peran kelas sosial sangat menentukan posisi perempuan dalam masyarakat Jawa pada masa itu.

The purpose of this study is to explore the Javanese women position as reflected in Pramoedya Ananta Toer’s Gadis Pantai, Indonesian literary work who exposed about Javanese women life in the early of twenty century. Women position in this study is overviewed through the role and status and also potential skill as a human being who lived in family and society. Opinion concerning to the position of women in Javanese society divided in two major views. The first view stated that Javanese women have the high position in the society. They have a big role in many aspects of life, particularly in economic sector. This fact indicated that Javanese women have a potential skill in concretizing their existence in family and social life. The other opinion views that the important role of women either in economic factor and family responsibility not meant that they have a high position, but they have a double burden because of they have to make money to earn the family budget and demanded to finish almost all the domestic jobs, therefore they have to divide time and resources to provide the two necessities in one time. Gadis Pantai exposed about woman problem in Javanese society, who intend to actualize her existence as a human being who stand the same as the others. The problem is embodied through the protagonist woman character Gadis Pantai, young and beautiful girl, who come from the small village named kampung nelayan, and married to a Bendoro, a priyayi. In running the life as Bendoro’s wife, she lastly understood that there is a big gab among herself and her husband. She just to be the exercise wife before Bendoro found the new wife from the high social status as his own status. The diffferenciation of social status made Gadis pantai could not be able to actualize her self as a wife, woman, and mother in exact meaning. She was subordinated, isolated, and limited in rights as an independent woman. After bearing her daughter, she was directly divorced, took away from her child, and evacuated from Bendoro’s house. She was not come back to her native village, but preferred went to small city in the south ‘Blora’. Feminist literary criticism is used as a tool of analysis in this study. It is used to explore the Javanese woman position as reflected in Pramoedya Ananta Toer’s Gadis Pantai. The woman position is traced through the role and status and also potential skill of woman in the novel. The result of analysis indicated that woman in Gadis Pantai keep standing in backside, the second sex, in the meaning that woman was not getting yet self existence as a absolute human and has the same status as the man do. Woman potential skill that oriented on physical beauty and domestic skill made her keep standing in subordinated position. As a wife, she was to be the exercise wife which oriented on giving sexual service to her husband, on the other side, as a mother she was denied to take care her daughter. Social status, in fact, were dominantly coloured the life of Gadis pantai. Coming from the proletarian social status made Gadis Pantai difficult to transform her self in society and keep in denied. The negation of Gadis pantai to coming back to her native village is to be symbol that she was against women exploitation through family way. By her family she exploited to get married to Bendoro, so she was running the isolation and objection. Preferring to go to Blora is meant that the Gadis Pantai attitude in finding herself as independent woman. It was the way to actualize her self as human being, who able to decide, to plan, to act for her life. This study concluded that the Javanese woman position as reflected in Gadis Pantai novel is standing in back side as the second sex, liyan, and not getting yet existence in exact meaning. Physical beauty and domestic skill, in fact, could not be able to make women being considered in the society. In other side, social class also still considered as one indicator to exist as human in the high position at the time.

Kata Kunci : Gadis pantai,Feminis,Posisi perempuan,Kelas sosial, Gadis Pantai, woman position, feminism, social class


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.