Sejarah perkembangan misi Katolik dan kegiatan pendidikan di Flores tahun 1859-1942
ROE, Yosef Tomi, Dr. Harlem Siahaan, S.U
2008 | Tesis | S2 SejarahStudi ini membicarakan tentang sejarah perkembangan Misi Katolik dan kegiatan pendidikan di Flores pada tahun 1859-1942. Studi ini dimulai dengan deskripsi tentang Misi Katolik awal di pulau Flores dan pulau Solor yang di bawah oleh para saudagar dan misionaris Portugis dari Ordo Dominican tahun 1630. Karya pewartaan ini dilanjutkan oleh Misionaris Yesuit dari tahun 1859- 1914, lalu diserahkan ke tangan misionaris Tarekat Societas Verbi Divini (SVD) yang berpusat di Steyl negeri Belanda tahun 1914-1942. Masyarakat Flores sebelum menganut agama Katolik, telah memiliki kepercayaan asli (percaya pada arwah leluhur). Setiap suku yang menganut kepercayaan asli tersebut baik secara perorangan maupun kolektif senantiasa memiliki emosi atau perasaan religius. Emosi tersebut merupakan tanda terhayatinya keyakinan atas nilai-nilai religius mereka, termasuk merasakan secara transcendental adanya relasi dan kehadiran Tuhan atau dewa yang memiliki kekuatan gaib. Pemujaan terhadap arwah leluhur yang kerap terjadi telah mengarah pada asal mula mereka dan menjadi perlambang bagi setiap identitas. Di samping itu agama tradisional memberikan kesempatan kepada anggota masyarakatnya untuk menciptakan suatu mobilitas sosial yang bersifat vertikal dengan menerima pengaruh dari luar dalam hal ini agama Katolik. Kehadiran agama Katolik yang dibawa oleh misionaris Yesuit Portugis dan SVD Belanda mempunyai tujuan yakni pengubahan (conversion) suatu golongan masyarakat dari kepercayaan lama tradisional menuju iman baru. Kegiatan ini tidak berjalan mulus. Pertikaian sering terjadi, karena penduduk asli ingin mempertahan tradisi adat leluhurnya. Di samping itu, banyak umat yang telah dibaptis menjadi Katolik kembali ke ajaran semula yang menurutnya lebih menguntungkan. Bahkan ada misionaris yang meninggal, karena ajarannya dilarang. Kendati demikian halnya, usaha pewartaan Injil bagi masyarakat Flores tetap dilakukan dengan cara interaksi yang intensif antara pewarta dan masyarakat sasaran. Penyampaian dan penerimaan ajaran merupakan proses sosial yang bersifat interaktif. Untuk itu serangkaian kontak dan komunikasi menjadi faktor keharusan, karena keduanya merupakan basis serta interaksi sosial. Perubahan agama yang dianut membuat anggota masyarakat (umat) menjadi lebih sadar akan perilakunya, karena agama merupakan salah satu unsur yang menjadi elemen kehidupan manusia untuk dijadikan sebagai sebuah sistem nilai dalam hidup. Agama tidak hanya berpengaruh terhadap kehidupan religiusitas, tetapi juga membawa implikasi yang sangat dalam untuk menentukan sikap dalam pilihan kehidupan individu. Proses sosial yang dilakukan misionaris agar dapat menjembatani perbedaan kultur dengan mendirikan sarana-sarana komunikasi seperti sekolah, rumah sakit dan panti asuhan tetap dilaksanakan. Bidang pendidikan memiliki kontribusi yang besar dalam pewartaan Injil. Karena pendidikan dan penyebaran agama berjalan bersama setelah misionaris menyesuaikan diri dengan kondisi setempat, karena proses pewartaan agama antara lain mensyaratkan ketentuan untuk memahami bahasa dan budaya setempat serta berkomunikasi baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, berpengetahuan yang cukup dapat membantu masyarakat pribumi Flores mengubah sikap dan tingkah laku. Lewat belajar dapat menghasilkan anggota masyarakat memiliki pengetahuan yang nantinya dapat membentuk suatu golongan baru dalam masyarakat Flores yaitu kaum terpelajar sebagai kelompok elite baru atau kaum intelegensia yang membawa perubahan paradigma, sehingga timbulnya nilai-nilai baru di Flores. Studi ini menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang dititik beratkan pada pendekatan struktural fungsional. Oleh karena itu studi ini menggunakan konsep-konsep ilmu sosial. Pendekatan sosial dipakai untuk menjelaskan realitas sosial yang dihadapi misionaris dan usaha penyesuaiannya atau hubungan antara misionaris dengan masyarakat sasaran seperti tercermin dalam bentuk saranasarana yang dipakai, serta hubungan yang dibangun.
The study discusses the history of Catholic Mission Development and educational activities in Flores from 1859-1942. It was initiated by the description of early Catholic Mission in Flores and Solor islands which was brought by the Portuguese merchants and missionaries from Dominican Order in 1630. This work of preaching was continued by Jesuit Missionaries from 1859- 1914, then was handed down to the Tarekat missionaries of Societas Verbi Divini (SVD) which was based in Steyl, Netherlands from 1914-1942. Before Flores society embraced Catholic, they have had native belief (beliefs in the ancestor’s spirit). Each tribe embracing native belief, either individually or collectively, posses religious emotions or feeling. The emotion is a sign of the comprehension upon the beliefs on their religious values, including the emotion of sensing transcendentally the connection and the presence of God or Goddess which posses mysterious power. The worship upon the ancestors spirit which often occurs has pointed to their origin and become signs for every identity. Besides, traditional religions give second chances for its members to create a vertical social mobility by accepting influences from the outsiders, respectively Catholic. The presence of Catholic brought by Portuguese Jesuit missionaries and Netherlands SVD aim at conversing a certain class of society from their old values to the new one. This is not running smoothly. Clashes often take place due to the native people's desire to maintain the ancestors' tradition. Besides, there are many people baptized as catholic returned to their previous teachings, which is much more significant. There is also, in fact, a murdered missionary, because his teaching is banned. However, the efforts of Bible preaching for Flores people are still in progress with intensive interaction between the preacher and the target community. The deliverance and the acceptance of the teaching is a social process which is interactive in nature. Therefore, a series of contact and communication becomes the requirement, because both are the bases of social interaction. The changes in religion embraced make the society (ummah) aware of their behavior. This is due to the fact that religion is one of the elements in human life to be transformed into a value system in life. Religion does not only bring influence on religiosity (religious life), but also bring deep implications to determine the attitudes in the choices of individual life. Social process conducted by the missionaries to bridge the cultural differences by establishing communication facilities, such as schools, hospitals, and orphanages are still in progress. Field of education gives big contribution in the preaching of the Bible. This is due to the fact that the education and religion preaching are taking place at the same time after the missionaries adapted themselves with their surroundings. It is also important to be noted that the preaching of a religion requires the understanding of the local language and culture as well as the ability to communicate well. Thus, it can be said that having sufficient knowledge may help the native people of Flores to change their attitudes and behaviors. Studying may result in the members of society's possession of knowledge, which in turn will enable them to form a new class in Flores society, namely the intellectuals as a new elite group or the intelligentsia which will bring changes in paradigm to stimulate the birth of new values in Flores. The study employs social sciences approach, by focusing on the functional structural approach. Therefore, it applies the concepts of social sciences. The social approach is employed to explain the social reality faced by the missionaries and their adaptation efforts as well as the relationship between the missionaries and the target society as reflected in the facilities used and the relationship built.
Kata Kunci : Misi,Pendidikan,Mobilitas sosial,Elite,mission, education, social mobility