Mengusik habitat terburuk :: Eksploitasi hutan mangrove Bengkalis, 1893-1940
NOVITA, Santi, Prof. Dr. Bambang Purwanto
2008 | Tesis | S2 SejarahPenelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai jalinan kebijakan kehutanan, khususnya hutan mangrove. Kebijakan ini berpengaruh terhadap struktur kebijakan eksploitasi hutan mangrove, ekonomi hutan mangrove dan dampak pengusahaan hutan mangrove oleh pengusaha Cina (Tauke) di afdeling Bengkalis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yaitu heuristik (pengumpulan data) , kritik sumber (ekstern dan intern), interpretasi (analisis), dan historiografi. Data-data yang digunakan bersumber dari penelitian arsip dan sejumlah perpustakaan yang mendukung penelitian ini. Pendekatan ekonomi politik digunakan untuk menjelaskan perkembangan eksploitasi hutan mangrove dan proses interaksinya dengan perubahan sosial dan politik dalam jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penguasaan Belanda terhadap daerah Kesultanan Siak melalui Traktat Siak tahun 1858, telah menyebabkan terjadinya perubahan kebijakan dalam pengusahaan hutan mangrove. Bersamaan dengan perkembangan pelabuhan Singapura, eksploitasi hutan mangrove dilakukan di Bengkalis untuk memenuhi kebutuhan pasar Singapura. Eksploitasi hutan mangrove oleh pengusaha panglong berupa kayu balok, kayu arang dan kayu bakar sebagian besar di ekspor ke Singapura. Akhirnya kebijakan mengenai hutan mangrove diletakkan dibawah wewenang Dinas Kehutanan. Meningkatnya eksploitasi hutan mangrove dan buruknya kondisi kehidupan kuli di lokasi panglong maka terjadi perubahan atas kebijakan kehutanan tahun 1925, dengan dikeluarkannya Panglongreglement yang mengatur tentang eksploitasi hutan mangrove, pengusaha panglong dan kuli. Namun peraturan ini cenderung untuk meningkatkan pendapatan negara yang lebih besar dari hasil eksploitasi hutan mangrove Bengkalis. Penduduk yang tinggal disekitar hutan turut merasakan akibat dari peraturan ini, rusaknya hutan mangrove mengurangi tangkapan mereka sebagai nelayan, selain itu mereka yang biasa mengambil kayu bakar dan kulit kayu di hutan mangrove dikenakan pajak, jika melanggar dikenakan sanksi. Sementara pengusaha panglong terus melakukan eksploitasi terus secara berlebihan dengan sistem tebang habis karena Tauke mengejar keuntungan yang besar dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar Singapura yang digunakan untuk membangun kota pelabuhan Singapura seperti: pembangunan galangan kapal, industri-industri dan perkebunan gambir. Memasuki pertengahan abad ke-20, ketika pemerintah mulai menata kondisi hutan mangrove dengan mengirim pengamat hutan untuk melakukan pemetaan agar bisa diadakan rehabilitasi dan reboisasi hutan mangrove, untuk daerah Bengkalis karena potensi hutan mangrove yang cukup luas untuk suplai pelabuhan Singapura dan daerah lainnya, maka penebangan yang dilakukan oleh pengusaha panglong telah merusak hutan mangrove dengan menguras potensinya. Adapun dampak yang ditimbulkan oleh pengusahaan hutan mangrove oleh panglong adalah kerusakan ekosistem yang sangat mengkhawatirkan. Dampak lain yang cukup menguntungkan adalah pembangunan jalan-jalan untuk pengangkutan kayu yang dirintis oleh tenaga kerja panglong, akhirnya bisa berkembang menjadi sarana transportasi antar desa. Tanah-tanah bekas penebangan terutama bekas pohon nibung banyak dijadikan sebagai kebun karet, sehingga pekerjaan penduduk pesisir dari nelayan beralih menjadi petani karet.
The research aims at providing a picture of interwoven being in the establishment of forestry policy, especially that of mangrove. The policy is influential to the policy structure of mangrove exploitation, the economics of mangrove, and the effect of Chinese businessmen’s (Tauke’s) cultivation on mangrove in Bengkalis afdeling. The research uses historical research-methods, i.e. heuristics (data collecting); sources criticism (external and internal); interpretation (analysis); and historiography. The data in use are derived from archive researches and used to explain mangrove exploitation development and its long term process of interaction with social and political changes. Results of research showed that the Dutch acquisition of Siak Sultanate’s region by mean of Siak Treaty in 1858 had been the initial cause of changes in mangrove cultivation policy. With the growing of Singaporean Harbour, mangrove in Bengkalis was exploited to meet market demand. Panglong businessmen exploited the mangrove to produce wood blocks, wood piles, and charcoals to be exported to Singapore. The policy was eventually handed over to the Colonial Government to be under Forestry Service’s charge. Increase to mangrove exploitation and deterioration to life condition of the labourers in the panglong locations had contributed to a change of forestry policy in 1925, in form of deliverance of Panglongreglement , a regulation for the mangrove exploitation, panglong businessmen, and labourers. But the regulation, within tendency of raising the Government’s income, had worsened Bengkalis mangrove exploitation. People lived in the environment were then consequential victims to it, for it had considerably damaged the ecosystem and caused a great loss to their seafaring income; meanwhile, their taking of mangrove woods and woods’ skins for wood piles was now subject t tax imposition, with sanction to violation. At the same time panglong businessmen kept on excessively exploiting with the system of “total cutting down†within Tauke’s ambition for big incomes, as there was a rising demand for woods in the Singapore market to build the City of Harbour- for shipyards, industries, and uncaria gambir plantations. Into the mid of nineteenth century, by the time the Government began to think about reconstructing mangroves by sending forestry observers to assess areas so that rehabilitation can be made, the Bengkalis mangrove population, for its vast area potential to supply Singaporean Harbour and other regions, had already suffered from damages done by the panglong businessmen, who had taken nearly all of its sources. The effects of cultivation by the panglong on mangrove are really serious ecological problems. However, the cultivation had also resulted beneficially in some ways: the roads once built for wood transportations by hands of panglong have now become the transportation assets for the villages; the empty mangrove areas once suffered from the cutting downs of trees, especially of nibung trees, have been made into rubber plants plantations by the locals, who have found new occupation as rubber plant growers from previously unfortunate seafarers.
Kata Kunci : Bengkalis,Hutan mangrove,Panglong,