Penyelesaian kasus korupsi melalui gugatan perdata

SITOMPOEL, Hotma, Prof. Emmy Pangaribuan, S.H

2008 | Tesis | S2 Magister Hukum

Korupsi tidak boleh ditoleransi. Korupsi harus diselesaikan secara hukum. Berbicara mengenai bagaimana hukum berurusan dengan korupsi, banyak orang hanya memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum pidana. Memang, hukum pidana Indonesia mengandung banyak ketentuan yang berhubungan dengan hukuman terhadap mereka yang melakukan korupsi. Mereka nampaknya lupa bahwa hukum perdata Indonesia pun mengandung ketentuan-ketentuan tertentu yang dapat diterapkan dalam hubungan dengan korupsi. UU tentang Pemberantasan Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001) mengandung 4 (empat) ketentuan berhubungan dengan gugatan perdata. Ketentuan itu adalah Pasal 32, 33, 34 dan 38C. Tulisan ini secara mendalam mendiskusikan ketentuan-ketentuan ini. Tulisan ini mendiskusikan bagaimana menerapkan ketentuan-ketentuan ini, serta permasalahan yang dihadapi oleh para ahli hukum dalam penerapan ketentuan-ketentuan ini. Diskusi dalam tulisan ini menemukan bahwa Pasal-Pasal dalam UU Pemberantasan Korupsi yang berhubungan dengan gugatan perdata mengandung ketentuan yang sempit. Contohnya, Pasal 32 menentukan bahwa jika ada kerugian Negara, tetapi tidak ada bukti untuk menyangka si tersangka telah melakukan korupsi, penyidik harus menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Pengacara Negara, atau kepada instansi yang dirugikan, guna menyelesaikan perkara melalui proses perdata. – Ketentuan ini sempit, sebab hanya berhubungan dengan penghentian penyidikan karena tidak cukup bukti, sementara Pasal 109 KUHAP menentukan ada 3 alasan bagi penghentian penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, perbuatan yang disangkakan tidak dikategorikan sebagai tindak pidana, atau perkara harus ditutup demi hukum, seperti karena meninggalnya tersangka atau karena lewatnya tenggang waktu untuk penuntutan (daluwarsa).Karenanya, tulisan ini menduskusikan gugatan-gugatan perdata yang tidak tercakup oleh Pasal-Pasal tersebut di atas. Dalam diskusi mengenai bagaimana menerapkan ketentuan-ketentuan UU Pemberantasan Korupsi tersebut, tulisan ini mendiskusikan siapa atau instansi apa yang berwenang mengajukan gugatan yang dimaksud oleh tiap-tiap Pasal tersebut, siapa yang harus digugat, serta isi dari gugatan itu. Hukum perdata mengenal beberapa jenis gugatan, seperti gugatan perorangan (actio in personam) dan gugatan kebendaan (actio in rem). Dalam hubungan dengan “actio in personam” hukum perdata mengenal gugatan perbuatan melawan hukum dan gugatan wanprestasi. Tulisan ini mendiskusikan kapan gugatan tertentu harus diajukan ke pengadilan dalam usaha untuk memulihkan atau meminimalkan kerugian kegara akibat terjadinya korupsi.

Corruption should not be tolerated. It should be solved by the hands of law. Speaking about how the law deals with corruption most people look only at the provisions of criminal law. Indeed, Indonesian criminal law contains lots of provisions relating to criminal sentences applicable to those committing corruption. They seem to forget that Indonesian civil law, too, contain certain provisions applicable to deal with corruption. Indonesian Law on the Eradication of Corruption (Law No. 31 of 1999 as revised by Law No. 20 of 2001) contain 4 (four provision) relating to civil lawsuit. They are Articles 32, 33, 34 and 38C. This paper thoroughly discusses these provisions. It discusses how to implement these provisions, as well as the problems lawyers may face in the implementation of these law provisions. The discussions in this paper find that the Articles of the Law on the Eradication of Corruption relating to civil lawsuit contain narrow provision. For example, Article 32 provides that if the financial loss of the state can be established, but there is lack of evidence to allege the suspect of having committed corruption, the investigator should hand the dossier of the case to the State Attorney, or to the injurious state agency, in order to solve the case through civil proceedings. This provision is narrow, because it relates only to the termination of investigation due to insufficient evidences, where as Article 109 of the Indonesian Criminal Procedures (KUHAP) states that there are 3 reasons for the termination of investigation, namely insufficient evidence, the alleged act is not categorized as a criminal offense, or the case should be terminated by law due, for instance, to the death of the suspect or due to the lapse of time available for prosecution (statutory time limitation). Accordingly, this paper discusses civil suits that are not covered by the said Articles of the Law. In the discussions about how to implement the said provisions of the Law on the Eradication of Corruption, this paper discusses who or what agency is authorized to file the civil lawsuit stated in each Article of the law, who should be sued as the defendant(s), as well as the content of the lawsuit. Civil law recognizes several types of civil claims, like personal claim (actio in personam) and property claim (actio in rem). Relating to “actio in personam” civil law recognizes claim relating to tort and claim relating to breach of contract. This paper discusses when a certain claim should be brought before the court in the effort to recover or minimize the financial loss suffered by the state due to the commission of a corruption.

Kata Kunci : Kasus korupsi,Gugatan perdata, Corruption, civil law suit.