Grassroots movement and urban environment governance adjustment :: A political ecology perspective on the conflict on riverside area in Surabaya, Indonesia
ARIFA, Yessiana, Dr. Johan Woltjer
2008 | Tesis | S2 MPKDPolitik ekologi, gerakan untuk mempertahankan nilai humanisme dan nilai lingkungan, adalah perspektif yang digunakan untuk mempelajari tentang hubungan antara komunitas “grassroots†atau kaum marjinal yang berjuang untuk kehidupan mereka dan lingkungan sekitarnya. Program relokasi dilakukan untuk mengatasi masalah banjir di Surabaya, dengan strategi pelebaran sungai. Akan tetapi warga yang menempati pinggiran sungai menolak untuk direlokasi. Studi ini bertujan untuk memberikan umpan balik pada perencana dan pengambil keputusan bagaimana memposisikan masyarakat dalam perencanaannya. Dengan metode ‘actor mapping’ (Aligica, 2006; Latour, 2005) dan menggunakan variabel turunan dari sumber basis kekuasaan (French and Raven, 1959) untuk mempelajari hubungan-hubungan antar actor yang terlibat di dalam konflik. Juga menggunakan basis kekuasaan dan struktur dominasi kekuasaan (Scott, 2001) untuk menjelaskan konflik antara komunitas stren kali melawan pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah (propinsi). Diskusi mengenai konflik warga stren kali dengan pemerintah dapat diketahui bahwa terdapat nilai-nilai yang dipertarungkan dan diperjuangkan. Konflik terjadi akibat kesadaran lingkungan yang lemah, kemiskinan dan tidak konsistennya penegakan hukum. Faktor penting yang memungkinkan terjadinya konflik adalah sistem politik yang berlaku, masalah lingkungan sebagai seting, kurangnya konsistensi penerapan kekuasaan negara untuk mengoreksi, kekecewaan masyarakat atas kegagalan negara mengakomodasi hak warga negara, peningkatan kesadaran untuk berpolitik, keterbukaan sistem politik dimana semua orang berhak mengemukakan pendapat dan faktor paling penting adalah situasi masyarakat yang tidak memiliki banyak pilihan selain melawan (‘cul-de-sac situation). Sejak dilancarkannya protes, kesadaran berpolitik warga stren kali meningkat demikian juga dengan kesadaran terhadap lingkungan. Hubungan antara warga negara dengan institusi negara juga meningkat, seperti fungsi dewan perwakilan yang merepresentasikan kepentingan masyarakat dalam hal ini warga stren kali. Hal penting lainnya adalah naiknya posisi tawar ‘grassroots’ dalam perencanaan, bukan sebagai objek perencanaan namun sebagai competitor bagi perencana. Hal ini dimungkinkan dengan terciptanya koalisi yang kuat antara, ‘grassroots’, NGO yang memiliki kekuatan keahlian dan dewan perwakilan rakyat sebagai pengambil keputusan. Koalisi ini menggantikan posisi pemerintah sebagai perencana. Reposisi peran aktor dalam proses perencanaan ini mengindikasikan adanya ‘actor adjustment’. Maka kekuatan laten dari grassroots merupakan perspektif baru memaknai partisipasi dalam proses perencanaan.
Political ecology, a movement defending humanity value and environmental value, is a perspective to examine about relation of grassroots people struggle to keep their livelihood with its surrounding environment. Relocation program has initiated by government in order to solve flood problem in Surabaya. Giving land to the river is the government strategy, but the riverside community refuses to be relocated. This study is expected can give a feedback to the planners and decision makers about positioning community within their plan, and give a new perspective about a problem from grassroots people point of view. Operating actor mapping (Aligica, 2006; Latour, 2005) and using derived variable from French and Raven (1959) about sources power basis to see the relations among actors that involved in the conflict and about operating power basis and structure power domination by Scott (2001) can explain the conflict between grassroots riverside community against goverment. Discussing about grassroots conflict riverside community againsts government, it can be learned that there is a value that is contested. The conflict raises is because of lack of environmental awareness, poverty and inconsistency law enforcement. Other factor important is the situation within the container, namely the political system, environmental problem as the setting, less consistency of state corrective power, disappointment when state fail to accommodate citizen right increasing awareness about political right, political system opening chance to everybody to speak of movement and the most important is cul-de-sac situation as effect of pressing. Many consequences have been resulted. Since they made a protest, the grassroots people political awareness has been increased, as well as their environmental awareness. The relations between citizen and state institutions go improve. Other important thing is that the grassroots raised bargain power. In offering planning, as competitor, community based riverside management, they made a solid coalition, between grassroots people, NGO as expert power sources and Legislative board as decision maker. This coalition forced the provincial government against the grassroots. Because of this coalition, grassroots has replaced the power of planning. There is a repositioning role of actors in planning process within the conflict, or it said actor adjustment. On and on, grassroots has latent power that can give a new perspective, the meaning of participation within planning process.
Kata Kunci : Grassroots,Marginal people,Political ecology,Actor mapping,Power relations,Actor adjustment,Partisipasi masyarakat,Proses perencanaan, Grassroots, marginal people, political ecology, actor mapping, power relations, actor adjustment, environment, riverside