Pro-kontra pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua dalam perspektif Nenggi-Kenggi dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah

KOGOYA, Willius, Prof. Dr. Kodiran, MA

2008 | Tesis | S2 Ketahanan Nasional

Kebijakan Pemekaran yang diberlakukan menurut UU No. 45/1999, UU No. 5/ 2000, UU No. 21 Tahun 2001, Inpres No. 1/2003 mendapat tanggapan pro dan kontra. Penelitian ini ingin menilai pro-kontra kebijakan pemekaran dalam perspektif Nenggi-Kenggi dan mengetahui perubahan dalam rangka ketahanan wilayah. Teori yang digunakan terutama Perspektif Nenggi-Kenggi dan teori konflik serta teori ketahanan wilayah. Inti masalah penelitian adalah mengapa terjadi pro-kontra dan bagaimana perspektif Nenggi-Kenggi terhadap kepentingan Pihak yang terlibat serta implikasinya terhadap ketahanan wilayah. Penelitian dengan pendekatan budaya orang Dani/Lani ditemukan adanya Nenggi- Kenggi, dalam sosiologi diartikan sebagi nilai dan konsep dalam masyarakat yang mengandung ajaran moral. Nilai atau ajaran moral Nenggi-Kenggi dapat menjadi alternatif pemecahan konflik pemekaran wilayah dan konflik sosial lainnya. Terlepas dari adanya penolakan kebijakan pemekaran dengan adanya upaya memisahkan diri dari NKRI, hasil penelitian menunjukkan adanya Elite politik dan pemerintahan pusat dan daerah terlibat dan melibatkan masyarakat dalam pro-kontra di Papua pasca pemberlakuan kebijakan pemekaran dengan UU No. 45 Tahun 1999 dengan UU No. 21 Tahun 2001. Pro- Kontra pemekaran yang diposisikan sebagai; (1) konflik internal pemerintah dengan melibatkan masyarakat, (2) Konflik horizontal dan vertikal akibat perubahan sosial dalam implementasi kebijakan Pemekaran wilayah dan Otonomi Khusus di Papua. Dua hal tersebut dalam perspektif Nenggi-Kenggi kurang mengamalkan ajaran moral nenggi-kenggi yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari nilai dalam Pancasila sebagai dasar negara dan landasan pengambilan kebijakan menyangkut kepentingan umum, sekalipun pemberlakuan kebijakan yang bersifat pro-kontra dalam internal elite pemerintahan dalam arti positif dapat diposisikan sebagai strategi kebijakan negara dalam rangka menjaga stabilitas NKRI. Perubahan sosial akibat kebijakan pemerintah dan konflik kepentingan di Papua berimplikasi positif dan negatif terhadap ketahanan wilayah yang ikut mempengaruhi ketahanan nasional terutama ancaman disintegrasi bangsa.

The policy of the areal splitting implemented in accordance with Law No. 45/1999, Law No. 21/2001, President Instruction No.1/2003 raised pros and cons. This study is to assess the conflict concerning the policy of the areal splitting from the Nenggi-Kenggi perspective and to find out changes for regional resilience. Theories used are mainly those from the Nenggi-Kenggi perspective, as well as those of conflict and regional resilience. A problem of the study is why the conflict around the policy of the areal splitting has occurred and how the Nenggi-Kenggi perspective is toward the interest of involved parties and its implications on the regional resilience. From the study with the cultural perspective of Dani/Lani, it can be found that in a sociological approach the Nenggi-Kenggi are value and concept in local communities with moral precepts. The value or moral precepts of Nenggi-Kenggi can be one of the alternatives for resolving the conflict around the policy of the areal splitting and other social conflicts. Regardless of refutations against the policy of the areal splitting related to the struggle of separatism from the Unitary State of the Republic of Indonesia, result of the study shows that certain political elites of central government as well as the local communities have been found to be involved in the conflict around the policy of the areal splitting in Papua after the implementation of the policy based on Law No. 45/1999 and Law No. 21/2001. The conflict around the policy of the areal splitting are positioned as: (1) the internal conflicts of government involving the local communities; (2) horizontal and vertical conflicts due to social changes in implementing the policy of the areal splitting and Special Autonomy programs in Papua. In the Nenggi-Kenggi perspective, the two positions are considered as due to not pursuing the Nenggi-Kenggi moral precepts as inseparable parts of the values contained in the Five Pinciples (Pancasila) as the foundations of State and the basics of decision-making process concerning public interests despite the fact that the underlying spirit and goals of the policy’s implementation involving the internal conflict of government can in a positive point of view be considered as a policy strategy for central government in securing the stability of the Unitary State of the Republic of Indonesia. Social changes resulted from the governmental policy and interest conflict in Papua have actually positive and negative implications on regional resilience, in turn influencing national resilience, especially in terms of preventing the threat of national disintegration.

Kata Kunci : Kebijakan pemekaran,pro kontra,Nenggi,Kenggi,Ketahanan wilayah,Conflict, the Policy of Areal Splitting, Nenggi-Kenggi, Regional Reselience