Laporkan Masalah

Kehidupan seni tari di Keraton Yogyakarta pada era Sultan Hamengku Buwono X

WIDYASMORO, Agnes, Prof. R.M. Soedarsono

2008 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Kehadiran seni tari di keraton Yogyakarta pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X ini telah mengalami berbagai perubahan. Semenjak tari klasik gaya yogyakarta tercipta hingga kini mengkristal di keraton Yogyakarta, telah mengalami berbagai perubahan. Tari klasik gaya Yogyakarta mengalami masa keemasannya pada zaman Sultan Hamengku Buwono I, V, dan mencapai titik kulminasinya pada zaman Sultan Hamengku Buwono VIII. Pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX, keraton Yogyakarta mengalami lebih banyak perubahan. Tahun pertama pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX dianggap sebagai awal perkembangan atau perubahan bentuk seni tari di keraton Yogyakarta. Kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX ini dikenal dengan konsep kepemimpinan ‘Tahta untuk Rakyat’. Lebih lanjut, keterbukaan ini diteruskan dan digulirkan kembali oleh Sultan Hamengku Buwana X dengan meneguhkan kembali ‘Tahta untuk kesejahteraan kehidupan sosial budaya masyarakat’. Selaras dengan konsep kepemimpinan berpihak kepada rakyat yang di deklarasikan oleh Sultan, kehadiran seni tari di keraton Yogyakarta juga mengalami berbagai perubahan. Transformasi konsep kepemimpinan, ide dan gagasan Sultan dituangkan melalui genre tari yang baru. Selain tari bedaya sebagai media transformasi, tari kreasi baru dan tari kontemporer juga digunakan sebagai media penyampaian pesan dari Sultan kepada masyarakat. Selain sebagai personifikasi dari konsep kepemimpinan Sultan, hal ini terjadi karena pola berfikir Sultan sebagai pemimpin dan masyarakat yang mengalami perubahan ke arah modern. Titik kulminasinya adalah keraton Yogyakarta pada saat ini mendeklarasikan bahwa tidak mempunyai tarian sakral. Bedaya Sĕmang yang selama ini dianggap sebagai tarian yang sakral Keraton Yogyakarta, pada saat ini kehadirannya tidak dianggap sakral. Penelitian ini menggunakan pendekatan utama etnokoreologi, dengan menggunakan notasi laban sebagai teknik pencatatan gerak tari. Teori-teori pendamping digunakan teori perubahan sosial, teori mengenai penciptaan tari, serta teori teks dan konteks.

The existence of dancing art at Yogyakarta Palace, in Sultan Hamengku Bowono X era has changed a lot. The ongoing changing has existed since the Yogyakarta style of classical dancing was created, will be crystallized up to now and will be continuously changing in the future. The Yogyakarta style of classical dances have got their Golden Ages on the era of Sultan Hamengku Bowono I and V. Moreover, the classical dances have got the most one during the Sultan Hamengku Bowono VIII era. On the era of Sultan Hamengku Buwono IX, the Yogyakarta Palace has changed a lot. The first years of the Sultan Hamengku Bowono IX era was considered to be the starting point of the development or the style reform of dancing arts in Yogyakarta Palace. This era was recognized as the “Throne for People” leadership concept. Moreover, it is continuously done and the Sultan Hamengku Buwono X, which gave more emphasis on restrengthening the concept of “Throne for socio-cultural life’s prosperity”, continuously, ran it. In accordance to the implementation of the leadership concept which give more emphasis on people/society, which has been declared by the Sultan, the existence of dancing arts in the Yogyakarta Palace has been changing so much. The Sultan’s leadership concept, ideas, and opinion transformation was performed through a new dancing art genre. Besides Bedaya dance as the transformational media, new dancing creation and contemporer dancing were also used as the transformational media, to convey messages from the Sultan to the community. Besides that it is also used as the personification style of Sultan leadership concept. This is happened, as the critical thinking pattern of sultan as the leader and also the society which are changing to the modern orientation. The culmination point is that nowadays, Yogyakarta Palace does not have any sacred dances. Bedaya Semang was not considered as the most sacred dance in Yogyakarta Palace anymore. This research applies ethno choreology as the main approach, by applying the laban notation technique in recording the dancing movement. The additional theories used are social changing theory, dancing creation theory, and also text and contextual theory.

Kata Kunci : Seni tari keraton,Sultan Hamengku Buwono X,Media transformasi,Palace dances, Sultan Hamengku Bowono X


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.