Laporkan Masalah

Perebutan wilayah pasca pemekaran daerah otonom di Provinsi Maluku Utara :: Analisis tentang konflik antara Kabupaten Halmahera Barat dengan Kabupaten Halmahera Utara dalam memperebutkan wilayah 6 (enam) desa

KAMIRUDIN, AAGN Ari Dwipayana, M.Si

2008 | Tesis | S2 Ilmu Politik (Politik Lokal dan Otonomi Daerah)

Konteks perebutan wilayah desa yang melibatkan Kabupaten Halmahera Barat (kabupaten induk) dengan Kabupaten Halmahera Utara (kabupaten baru) telah belangsung sejak tahun 2003 (pascapemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 2003). Namun hingga saat ini, belum ditemukan titik kompromi yang bisa diterima oleh kedua pihak. Terkait dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konflik wilayah enam, serta mengidentifikasi mengapa persoalan ini berlarut-larut hingga penelitian ini berlangsung. Dalam menganalisis, penelitian deskriptif ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling, yakni orang-orang yang benar-benar kapabel, dalam arti cakap, sanggup dan mampu memberikan data dan informasi yang terpercaya (valid) menyangkut persoalan enam desa. Berdasarkan hasil penelitian, persoalan enam desa ini ternyata masih terkait dengan situasi konflik di masa lalu, khususnya implementasi PP Nomor 42 Tahun 1999 yang mengalihkan wilayah enam desa dari Kecamatan Jailolo ke Kecamatan Makian Malifut. Walaupun secara de jure wilayah enam desa telah dialihkan ke dalam Kecamatan Makian Malifut, tetapi aspek pelayanan pemerintahan tetap dilaksanakan sebagaimana biasanya oleh Kecamatan Jailolo. Hal ini karena bersamaan dengan pemberlakuan PP tersebut, terjadi konflik kekerasan di wilayah Maluku Utara dalam kurun waktu 1999-2000. Ketika terjadi pemekaran daerah otonom melalui UU Nomor 1 Tahun 2003, wilayah enam desa yang telah dialihkan ke dalam Kecamatan Malifut, masuk dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara. Hal ini kemudian dipersoalkan oleh Kabupaten Halmahera Barat selaku kabupaten induk. Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dengan pertimbangan de facto tetap mengklaim wilayah enam desa. Dukungan ini semakin diperkuat dengan munculnya Surat Permohonan Nomor 03/KSP/2003, tanggal 8 Nopember 2003 (ditandatangani oleh enam kepala desa) kepada Bupati Halmahera Barat, yang menginginkan untuk tetap menjadi bagian dari Kabupaten Halmahera Barat, serta masuknya wilayah enam dalam daerah pemilihan Kabupaten Halmahera Barat, yang notabenenya telah memilih anggota DPRD maupun Bupati/Wakil Bupati Halmahera Barat. Di sisi lain, pihak Kabupaten Halmahera Utara juga berpegang pada aspek de jure (PP Nomor 42 Tahun 1999 dan UU Nomor 1 Tahun 1999). Berbagai upaya ditempuh oleh kedua pemerintah kabupaten untuk mempertahankan wilayah enam desa, bahkan kedua unsur pemerintah daerah (Bupati/Wakil Bupati dan DPRD) saling memberikan dukungan sesuai kapasitas yang dimiliki. Upaya untuk mempertahakan prinsip yang dianut, serta ketidakterbukaan kedua pemerintah kabupaten menyangkut esensi persoalan yang sebenarnya menyebabkan pesoalan ini berlarut-larut hingga saat ini.

The context of village fight involving West Halmahera Regency (mother regency) and North Halmahera Regency (new Regency) has been run since 2003 (after the Implementation of UU Number 1 Year 2003). But up to now, it has not been found a solution accepted by both parties. Related to this thing, this study was aimed to analyze the conflict of area six, and identify why this problem remains unsolved until this study was carried out. In analyzing, this descriptive study used qualitative approach with subject choosing using purposive sampling of capable persons, meaning able, can give data and valid information related to the problem of six villages. Based on the result of this study, the problem of six villages was in fact still related to conflict situation in the past, especially the implementation of PP Number 42 Year 1999 diverting the area of six villages from Jailolo Municipal to Makian Malifut Municipal. Although de jure, the area of six villages is diverted to Makian Malifut Municipal, but the aspect of government service was still carried out as it used to be by Jailolo Municipal. This was because in the same time with the implementation of this regulation, there was harassment conflict in North Maluku area during 1999-2000. When there is extension of autonomous district through UU Number 1 Year 2003, the area of six villages diverted to Malifut Municipal, was included into North Halmahera Regency. Then this became a problem of West Halmahera Regency as the mother regency. The local government of West Halmahera Regency by considering de facto still claimed the area of six villages. This support was strengthened by the occurrence of Request Letter Number 03/KSP/2003 on 8 November 2003 (signed by the chiefs of six villages) of West Halmahera mayor wishing them to be the parts of West Halmahera Regency, and the entering of six area in the choosing area of West Halmahera Regency which has chosen the member of DPRD or Mayor of West Halmahera. On the other hand, North Halmahera Regency also holds on the de jure aspect (PP Number 42 Year 1999 and UU Number 1 Year 1999). Various efforts were attempted by the both regencies to maintain the area of six villages, even both of local governments gave support according to the capacity owned. The effort to maintain the principle and the introvert character of both regency governments was related to the importance of the real problem causing this problem unsolved.

Kata Kunci : Konflik Wilayah,Pemekaran Daerah,conflict analysis, surface conflict, latent conflict, conflict dynamic, six village area


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.