Pelaksanaan Program Kesehatan Reproduksi di Sekolah :: Studi kasus Aliansi Sekolah dan PKBI di Yogyakarta
MEDIASTUTI, Fitriani, dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA
2008 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat (Kebij. dan Manaj. PeLatar Belakang: Sumber informasi yang bisa diharapkan untuk mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang memadai dan tidak menyesatkan adalah sekolah. Telah sampai saatnya pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah melibatkan sektor swasta. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang kegiatannya berlandaskan pada masalah kesehatan reproduksi. Persamaan komitmen antara PKBI dan sekolah merupakan salah satu cara dalam mengatasi masalah kesehatan reproduksi di sekolah, yakni adanya aliansi PKBI dengan sekolah. SMA Bopkri 1 dan SMA 1 Yogyakarta merupakan contoh sekolah yang melaksanakan aliansi dengan PKBI. SMA Bopkri 1 sudah memiliki MOU dan SMA 1 belum memiliki MOU. Tujuan: Tujuan penelilitian ini adalah untuk mengetahui bentuk praktek pengajaran program kesehatan reproduksi, perencanaan, pengorganisasian, dan koordinasi dalam pelaksanaan kesehatan reproduksi di SMA 1 dan SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Metode: Metode penelitian adalah metode kualitatif dengan rancangan studi kasus dan bersifat deskriptif. Unit analisis adalah sekolah SMA 1 dan SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Data diambil secara purposive sampling melalui wawancara mendalam dan cheklist observasi. Analisis data dengan explanation building yaitu teknik penjelasan hasil wawancara dan analisis cheklist hasil observasi serta penelusuran dokumen. Hasil: Bentuk praktek pengajaran kesehatan reproduksi dalam aliansi dengan PKBI adalah peer education. Pada konsep aliansi, SMA yang tidak memiliki MOU termasuk dalam coorporation sedangkan yang memiliki MOU termasuk dalam collaboration. Perencanaan pelaksanaan peer education di SMA yang belum memiliki MOU di serahkan kepada PKBI tanpa struktur organisasi yang jelas, arsip, dan anggaran yang jelas, sedangkan di SMA yang sudah memiliki MOU dilaksanakan bersama PKBI dengan struktur organisasi, arsip, dan anggaran yang jelas. Pengorganisasian di SMA yang belum ada MOU merupakan organisasi informal sedang yang sudah ada MOU, merupakan organisasi formal. Koordinasi di SMA yang sudah ada MOU diwujudkan dengan adanya berita acara dalam setiap kegiatan dan terarsipkan, sedangkan di SMA yang belum ada MOU dilakukan secara lisan tanpa berita acara. Kepala sekolah sebagai decision maker, konteks kebijakan, dan support management merupakan faktor yang mempengaruhi peer education. Kesimpulan: Manajemen pelaksanaan peer education dalam aliansi dengan PKBI di SMA yang memiliki MOU secara umum berkembang dengan baik, sedang yang tidak memiliki MOU masih lemah baik dalam hal perencanaan, pengorganisasian, dan koordinasi. Pelaksanaan aliansi sekolah dan PKBI agar sesuai tujuan maka disarankan mengembangkan management support di sekolah.
Background: Schools are appropriate and not misleading sources of information about knowledge on reproductive health. It is the time that reproductive health education involving private sectors. Association of Indonesian Family Planning (PKBI) is one of non government organizations which base its activities on reproductive health problems. Equal commitment between schools and this association is one way to prevent reproductive health problems at schools. SMA Bopkri 1 and SMA 1 of Yogyakarta are examples of schools that implement an alliance with Indonesian Family Planning Association. SMA Bopkri 1 has made a Memorandum of Understanding (MOU) with the Association of Indonesian Family Planning or PKBI whereas SMA 1 of Yogyakarta has not. Objective: The study aimed at identifying the practice of reproductive health education in terms of planning, organization and coordination in the implementation of reproductive health program at SMA 1 and SMA Bopkri 1 of Yogyakarta. Method: The study was qualitative with descriptive case study design. Analysis units were SMA 1 and SMA Bopkri 1 of Yogyakarta. Data were obtained using purposive sampling technique through in-depth interview and observation. Data analysis was using explanation building, i.e. technique of explaining the result of interview and analysis of observation checklist as well as document research. Result: The practice of reproductive health education in the alliance between schools and PKBI was in the form of peer education. The concept of alliance in SMA without MOU was cooperation whereas in SMA with MOU was collaboration. The planning of peer education implementation in SMA without MOU was given to PKBI without specified organizational structure, documentation and certain budget allocation, whereas in SMA with MOU it was made collaboratively with specified organizational structure, documentation and certain budget allocation. The organization of reproductive health program in SMA without MOU was informal whereas in SMA with MOU was formal. The coordination of reproductive health program in SMA with MOU was actualized in the provision of minutes in each activity and the minutes were documented, whereas in SMA without MOU the coordination was carried out orally and not documented. The head master as decision maker, policies and management support were factors affecting peer educations. Conclusion: The management of peer education implementation in the alliance between PKBI and SMA with MOU in general was well-developed whereas between PKBI and SMA without MOU was still relatively weak either in planning, organization or coordination. Schools should develop management support in order to the alliance be relevant with the objective.
Kata Kunci : Program Kesehatan Reproduksi,Sekolah dan PKBI, reproductive health, schools, PKBI, alliance, mananagement