Laporkan Masalah

Tinjauan hukum permohonan pailit bagi para pihak yang telah terikat dengan perjanjian berklausula arbitrase

HARYANTI, Emmy Sri, Prof. Emmy Pangaribuan S., SH

2008 | Tesis | S2 Ilmu Hukum (Magister Hukum Bisnis)

Untuk menyelesaikan sengketa, masyarakat bisnis mulai berpaling ke bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan, seperti Arbitrase. Jika para pihak misalnya telah memilih arbitrase dalam klausula perjanjiannya, maka badan arbitrase tersebut memiliki kewenangan atau kompetensi absolute untuk menyelesaikan segala bentuk perselisihan yang timbul sebagaimana ditentukan dalam perjanjian yang bersangkutan. Sejak tanggal 12 Agustus 1999 telah berlaku Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dengan tegas mengatur Yuridiksi Arbitrase, namun dalam praktek masih ditemui hambatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan klausula arbitrase dalam permohonan kepailitan yang diajukan oleh pihak dalam kontrak, dan sejauhmana Peradilan Umum/ Niaga atau Mahkamah Agung RI dapat menyimpangi atau menerobos perjanjian arbitrase yang diperjanjikan oleh para pihak. Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan data primer yang dihasilkan dari penelitian lapangan dibandingkan dengan data sekunder yang dihasilkan dari penelitian kepustakaan. Dari penelitian setelah dianalisis diperoleh hasil bahwa kedudukan klausula arbitrase dalam permohonan kepailitan yang diajukan oleh para pihak dalam kontrak dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kondisi : (1) apabila putusan pailit belum dijatuhkan maka klausula arbitrase tersebut masih mengikat para pihak sebagai undang-undang, (2) apabila putusan pailit sudah dijatuhkan maka kedudukan klausula arbitrase menjadi tidak mengikat para pihak, (3) apabila permohonan pailit diajukan bersamaan pada saat proses arbitrase masih berjalan, maka kurator akan mengambil alih sengketa arbitrase yang terjadi, dan Pengadilan Umum/ Niaga atau Mahkamah Agung RI tidak dapat menyimpangi atau menerobos perjanjian arbitrase karena perjanjian arbitrase akan melahirkan kompetensi absolute atau kewenangan mutlak forum arbitrase untuk memeriksa sengketa para pihak.

Nowadays, business people start looking for another alternative to settle a dispute extra judicial like Arbitrate. If the parties, in this matter, have chosen any arbitrate in its agreement clause, then arbitrate has absolute right to settle any dispute that appear as stated in the agreement. The Law Number 30 of 1999 concerning Arbitrate and Dispute Settlement Alternative was prevailed since 12th of August 1999. This Law govern about the jurisdiction of arbitrate strictly, however there still any constrain in practice. This research determined to ascertain how the arbitrate clause position in bankruptcy request that submitting by the parties in the agreement and how far the General/ Commerce Court or the Supreme Court in Indonesia could waive the arbitrate clause that agreed by the parties. The research conclusion gets through primary data that result from field study that compare to secondary data that result from the literature study. After analyzing the researched data it was found that the position of arbitrate clause in the bankruptcy request that submitting by the agreement parties should be divided in 3 (three) conditions : (1) when the bankruptcy verdict is not pronounced yet then the arbitrate clause still bind the parties as law, (2) when the bankruptcy verdict has pronounced then the arbitrate clause is not binding the parties, (3) when the bankruptcy request submitted at the same time with the arbitration process, then receiver will expropriate the arbitrate dispute, and the General/ Commerce Court or the Supreme Court can not waive the arbitrate agreement since that agreement will bear an absolute competence for arbitration forum to settle the dispute of the parties.

Kata Kunci : Pengadilan Niaga,Arbitrase,Kepailitan, Bankruptcy Request, Arbitrate Clause, Absolute Competence


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.