Fungsi dan makna pertunjukan Wayang Kulit Purwa dalam upacara Bersih Desa di daerah eks Karsidenan Surakarta
SARWANTO, Promotor Prof.Dr. R.M. Soedarsono
2007 | Disertasi | S3 Ilmu BudayaPenelitian ini bertujuan untuk mencari jawab atas pertanyaan: mengapa masyarakat di daerah Eks Karesidenan Surakarta sebagian masih melaksanakan upacara bersih désa dengan pertunjukan wayang kulit, apa kaitan upacara bersih désa dengan lakon tertentu yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit, dan mengapa terjadi perbedaan pemilihan lakon yang disajikan, serta apa fungsi dan maknanya bagi kehidupan masyarakat di daerah Karesidenan Surakarta. Pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu bentuk pertunjukan teater boneka, untuk itu dalam membahas pertunjukan wayang kulit dalam upacara bersih désa payungnya adalah dramaturgi pedalangan. Penelitian ini membahas pada teks lakon atau naskah lakon sebagai bahasan utama, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan semiotik pertunjukan dari Marco de Marinis, dalam bukunya yang berjudul The Semiotics of Performance. Dalam penerapannya diperlukan berbagai teori dan konsep disiplin antropologi, sosiologi, filasafat, dan konsep lainnya yang relevan. Penelitian ini tidak hanya mengamati pertunjukan wayang kulit dari sisi teks, akan tetapi juga mengamati dan menganalisis dari sisi konteknya. Dengan demikian penelitian yang dilakukan merupakan perpaduan antara penelitian tekstual dan kontekstual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertunjukan wayang kulit dalam upacara bersih désa merupakan sarana upacara untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Dewi Sri, maupun para pundhèn desa, guna memohon keselamatan, keberkahan rezeki, panenan yang melimpah, serta dijauhkan dari mala petaka. Hal ini dilakukan karena dilatarbelakangi oleh kepercayaan sebagian masyarakat terhadap makhluk-makhluk halus yang masih diyakini oleh sebagian masyarakat penyelenggara bersih désa. Pertunjukan wayang kulit dengan lakon tertentu yang menyertai upacara bersih désa mempunyai dua keterkaitan, yaitu kaitan spiritual dan kaitan sosial. Kaitan spiritual yaitu pertunjukan wayang kulit dengan lakon tertentu merupakan sarana upacara untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan kaitan sosial yaitu sebagai sarana untuk memperkokoh jaringan sosial, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, yang pada gilirannya akan memperkokoh rasa persaudaraan sesama warga masyarakat. Pertunjukan wayang kulit yang menyertai upacara bersih désa di daerah Karesidenan Surakarta merupakan tradisi yang masih dipertahankan sampai sekarang. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan tersebut mempunyai fungsi dan makna bagi kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Berdasarkan realitas yang ditemui di lapangan terdapat dua belas fungsi, yaitu (1) sebagai sarana upacara, (2) sebagai hiburan pribadi, (3) sebagai presentasi estetis, (4) hiburan, (5) komunikasi, (6) sebagai ungkapan jati diri, (7) berkaitan dengan norma sosial, (8) pengesahan lembaga sosial dan ritus keagamaan, (9) sebagai sarana pendidikan, (10) pengintegrasian masyarakat, (11) kesinambungan kebudayaan, dan (12) sebagai lambang penuh makna dan mengandung kekuatan. Demikian pula fungsi dalang pada pertunjukan wayang kulit dalam upacara bersih désa mempunyai tiga fungsi yaitu (1) sebagai mediator dengan alam supranatural (komunikator), (2) sebagai penghibur terhadap masyarakat, dan (3) sebagai pelestari pertunjukan wayang kulit, sekaligus sebagai kontinuitas kebudayaan. Makna pertunjukan wayang terdapat pada lakon yang disajikan, baik dalam lakon wahyu maupun lakon Baratayuda. Lakon wahyu memberikan tuntunan, tontonan, dan tatanan dalam masyarakat, karena dalam lakon wahyu berisikan nilai-nilai yang memperkaya pengalaman jiwa yang tidak lepas dari nilai kemanusiaan, Ketuhanan, tapa brata, keagungan, dan sebagainya. Selain itu lakon wahyu memberikan harapan tuah baik bagi masyarakat atau penanggap wayang, agar dikaruniai keselamatan, kebahagiaan, kemuliaan, ketentraman, panenan yang melimpah, dan lancar dalam mendapatkan rezeki. Adapun makna lakon Baratayuda sebagai simbol penyucian atau ruwatan, simbol penolak bala, dan simbol kesuburan. Dengan demikian pertunjukan wayang kulit dalam upacara bersih désa mengandung dimensi vertikal dan horisontal. Dimensi vertikal adalah ucapan rasa syukur dari masyarakat penyelenggara bersih désa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang diberikan, sedangkan dimensi horisontal adalah cerminan hubungan masyarakat terhadap sesasamanya yang dimanifestasikan dalam kegiatan sosial pada upacara tersebut
The aim of this research was to find the answers to the following questions: why do some members of the community in Surakarta and the surrounding areas still hold bersih désa (village cleansing) rituals which include shadow puppet theatre (wayang kulit) performances, what is the association between a bersih désa ritual and the story presented in the wayang kulit performance, why are different stories chosen to be performed, and what are their functions and meanings for the life of the community in the Surakarta area. A wayang kulit performance is a form of puppet theatre, and as such, a discussion of wayang kulit performances in a bersih désa ritual is encompassed within the dramaturgy of shadow puppet theatre as an artistic genre. This research focuses primarily on the story text, the approach used in this study is performance semiotics, as described by Marco de Marinis in his book entitled The Semiotics of Performance. The application of this approach requires various theories and concepts taken from the disciplines of anthropology, sociology, and philosophy, as well as several other relevant concepts. This research not only observes the textual side of wayang kulit performances but also observes and analyzes the contextual aspects. As such, the research is a combination between a textual and contextual study. The results of the research show that wayang kulit performances in bersih désa rituals are used as a means of paying homage to God the Almighty, Dewi Sri (the rice goddess), and also to particular places or objects which are considered holy in a particular village (pundhèn), to pray for well-being, good fortune, a prosperous harvest, and to ward off misfortune. The background to these actions is a belief in supernatural beings which is upheld by some members of the community holding the bersih désa ritual. There are two associations related to the particular story presented in a wayang kulit performance which is part of a bersih désa ritual, namely a spiritual association and a social association. The spiritual association is the use of a particular story to give thanks to God, while the social association is the ability of a wayang kulit performance to strengthen social networks, fellowship, and solidarity, which in turn strengthens the sense of unity among members of the community. The inclusion of a wayang kulit performance as part of a bersih désa ritual in the Surakarta area is a tradition which is still preserved today. This is evidence that this activity has an important function and meaning for the social life of its supporting community. Based on the reality encountered in the field, twelve different functions were discovered: (1) as a ritual medium, (2) as private entertainment, (3) as an aesthetical presentation, (4) entertainment, (5) communication, (6) as an expression of selfidentity, (7) in connection with social norms, (8) for validation of social institutions and religious rituals, (9) as an educational medium, (10) for social integration, (11) for cultural continuity, and (12) as a meaningful and powerful symbol. Likewise, the puppeteer (dalang) who presents a wayang kulit performance for a bersih désa ritual also has three different functions: (1) as a mediator or communicator with the supranatural world, (2) as an entertainer for the community, and (3) as a perpetuator of wayang kulit performances as a means of cultural continuity. The meaning of a wayang kulit performance is contained in the story which is presented, whether it is a lakon wahyu or lakon Baratayuda. A lakon wahyu provides guidance, entertainment, and social order since it contains values which can enrich the spiritual experience of the community, and are closely connected to humanitarian values, divinity, tapa brata (the highest form of asceticism), glory, and so on. In addition, a lakon wahyu provides hope that the community or parties holding the wayang will be blessed with good fortune, well-being, happiness, honour, peace, a good harvest, and prosperity. The meaning of lakon Baratayuda is a symbol of purity or cleansing, a symbol to ward off evil spirits, and a symbol of fertility. Therefore, a wayang kulit performance in a bersih désa ritual contains both vertical and horizontal dimensions. The vertical dimension is an expression of gratitude and thanks to God by the community holding the bersih désa ritual for all the blessings he has given, while the horizontal dimension is the reflection of human relationships within the community which are manifested in the social activities connected with the ritual.
Kata Kunci : Wayang Kulit Purwa,Fungsi dan Makna,Upacara Bersih Desa