Toleransi keruangan dalam permukiman padat :: Studi kasus Rumah Kontrakan di kampung Pajeksan dan Jogonegaran Yogyakarta
SANTOSO, Dermawati D, Promotor Prof.Ir. Achmad Djunaedi, MUP.,Ph.D
2007 | Disertasi | S3 Teknik ArsitekturPermukiman padat di kampung kota dengan berbagai karakteristik permasalahannya merupakan fenomena urban yang selalu terlihat pada kota-kota besar terutama di negara-negara berkembang. Hal ini terkait dengan adanya daya tarik pusat kota dengan pesatnya perputaran roda ekonomi yang membawa dampak derasnya arus pendatang memadati pusat kota. Permasalahan ini belum diimbangi dengan penyediaan permukiman yang layak oleh pemerintah kota, sehingga masyarakat miskin kota mencari solusi dalam melakukan penyediaan rumah tinggalnya. Fenomena serupa terlihat di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran di kawasan Malioboro yang terletak di pusat kota Yogyakarta. Kedua kampung ini berkembang menjadi pendukung utama dalam hal penyediaan tempat tinggal bagi pedagang dan karyawan yang bekerja di kawasan Malioboro. Dengan segala keterbatasan yang ada, penduduk berusaha mencari peluang dengan menyiasati tempat tinggalnya untuk memenuhi kebutuhan tinggal bagi pedagang dan karyawan yang bekerja di kawasan Malioboro. Kehidupan dalam Kampung Pajeksan dan Jogonegaran yang sarat dengan pengontrak merupakan fenomena urban yang tetap mempunyai identitas tersendiri bagi kota Yogyakarta. Toleransi keruangan yang dilakukan pengontrak pada huniannya, dengan berusaha menyiasati tempat tinggalnya yang terbatas sesuai dengan kebutuhan, merupakan perwujudan dalam mencari solusi untuk tetap dapat hidup yang berkelanjutan. Jaringan sosial -budaya antar pedagang yang terbentuk di kampung dengan kawasan Malioboro juga menyebabkan mereka tetap dapat bertahan tinggal di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran Penelitian yang dilakukan ini, digali melalui pemikiran (sistem nilai) masyarakat berdasarkan pemahaman fenomena empiris di permukiman padat di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran yang kemudian dianalisis secara induktif dan kualitatif. Penelitian ini telah menghasilkan bangunan pengetahuan berupa: Budaya Bermukim dan Toleransi Keruangan di Kampung. Budaya Bermukim di Kampung, merupakan temuan pengetahuan yang mendasari kehidupan kampung yang mempunyai nilai tersendiri. Nilainilai tersebut merupakan kekuatan dan potensi dasar bagi masyarakat Kampung Pajeksan dan Jogonegaran, yaitu: (i) pola kehidupan masyarakat, (ii) identitas kampung dan (iii) refleksi kehidupan kampung. Toleransi Keruangan di Kampung merupakan perwujudan dari: (i) keluwesan penggunaan fungsi ruang, (ii) pengelolaan fungsi ruang, (iii) penyesuaian ruang privat ke ruang kampung dan (iv) pola toleransi keruangan. Ambang batas toleransi pada: (i) gang kampung 0,2m-0,6m (ii) ruang produksi 0,9m2/orang (iii) ruang tidur 0,9m2-1,9m2/orang (iv) ruang bersama 1,0m2/orang-1,7m2/orang (v) jarak sosial 0,5m-0,7m dan (vi) jarak personal 0,06m. Temuan ini telah memberikan kesadaran bahwa nilai ruang hunian bagi permukiman padat kota, tidak hanya ditentukan secara kuantitatif. Bangunan pengetahuan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada khasanah pengetahuan penataan lingkungan permukiman padat di pusat kota, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kehidupan masyarakatnya.
Crowded settlement in Urban Kampong with various characteristic problems represents common phenomenon in the big cities, especially in the developing countries. This is related to the city’s appeal with its rapid economic growth that impacted fast-flow inhabitants in the city. The local government is not yet to be balanced in providing adequate settlement for those in needs forcing these urban kampong people search solution for themselves. Similar phenomenom can be seen in Kampong Pajeksan dan Jogonegaran in Malioboro area, which are located in downtown Yogyakarta. These two Kampongs have been developed to be the main support in providing settlement for traders and workers in Malioboro area. With their limitation, the inhabitants improvise their own settlement in order to fulfill the needs for those who work and trade in Malioboro area. The life of Kampong Pajeksan and Jogonegaran wich is full of tenants accentuates urban phenomenom as a distinctive identity for the city of Yogyakarta. One of wich is the spatial tolerance by tenants in transforming the limited space into the intended needs as a way to sustain living. The social-cultural networking wich has been set up between traders in kampong with those of Malioboro area is also another reason for them to remain living in Kampong Pajeksan and Jogonegaran. This is a qualitative and inductive study by conducting in-depth interviews about the values system of the community based on the understanding of empirical phenomenom in the crowded settlement of Kampong Pajeksan and Jogonegaran. The result of this research sets forth the theory of : Living Culture and Spatial Tolerance in Kampong. Living Culture in Kampong is knowledge based findings as the basic of way of life with its distinctive values. Those values represent strength and basic potential of the community in Kampong Pajeksan and Jogonegaran in the form of: (i) the pattern of social life, (ii) the identity of kampong, (iii) the reflection of kampong life. Spatial Tolerance in Kampong represents the realization of: (i) the flexible use of spatial function, (ii) the management of spatial function, (iii) the adjustment of private space into kampong space, and (iv) the pattern of spatial tolerance. The limit of tolerance in: (i) aisle (gang kampong) 0,2m-0,6m, (ii) production area 0,9m2/person, (iii) sleeping area 0,9m2/person- 1,9m2/person, (iv) family area 1,0m2/person-1,7m2/person, (v) social space 0,5m-0,7m and (vi) personal space 0,06m. The findings of this study have raised awareness that the value of spatial housing in the crowded settlement can not solely determined quantitatively. These theories are expected to finding in structuring the environment of crowded settlement in the centre of the city by maintaining its social norms and values community.
Kata Kunci : Permukiman Padat,Urbanisasi,Toleransi Keruangan