Kosmologi arsitektur Kraton Kasultanan Yogyakarta berpendekatan pada penanda (Signifier) dan penanda (Signified) Geomatric ruang :: Studi kasus lingkungan I Kompleks Inti Kraton (Seven Steps to Heaven) Alun-alun Utara sampai dengan Siti Hinggil Utara
GUNTORO, Agus, Dr.Ir. Arya Ronald
2007 | Tesis | S2 Teknik ArsitekturKosmologi arsitektur Kraton Kasultanan Yogyakarta menggunakan model kosmos yang merepresentasikan ajaran Islam. Simbol dan arsitektur ruangnya melukiskan struktur Muslim Cosmos, hubungan antara sufism dan syari’ah; alur menuju manusia sempurna. Alun-alun Utara, Masjid Agung, Pagelaran, Siti Hinggil Utara merupakan tempat Sultan hadir pada saat Pisowanan Ageng Grebeg Maulud, Syawal, dan Besar (tiga kali dalam satu tahun), serta pada saat Penobatan Sultan dan Penobatan Putra Mahkota. Dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan masa lalu, eksistensi Kraton dapat lentur dengan laju perkembangan teknologi modern, namun tetap mempunyai sense of place sebagai genius loci atau makna setempat. Di era globalisasi, suatu spirit berarsitektur yang menguatkan makna tempat sedang menjadi semangat baru di tengah lemahnya resistensi budaya regional dan akumulasi kekecewaan akan dystopia Modernisme. Fenomena tentang nilai historis-kultural, filosofis, dan arsitektural ‘Poros Imajiner’ pun selalu menjadi perdebatan dan isu-isu yang timbul tenggelam. Ibarat rangkaian masalah; tidak ada asap tanpa api. Pertanyaan penelitian yang muncul, adalah: Seberapa jauh filsafat kosmologi melekat pada arsitektur Kraton Kasultanan Yogyakarta, baik sebagai ujud (penanda/signifier) maupun konsep atau makna (petanda/signified) geometris ruangnya, melalui studi kasus pada lingkungan I Komplek Inti Kraton (seven steps to heaven): Alun-alun Utara-sampai dengan Siti Hinggil Utara; Apa pengaruhnya terhadap makna setempat (genius loci) sebagai spirit of the place; dan Bagaimana filsafat itu bersifat futuristik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan inti sari yang tersembunyi (noumenon) dari gejala (fainomenon) yang ada, dengan mencari hubungan-hubungan yang berlaku de facto (kenyataan) dan hubungan-hubungan yang berlaku de iure (seharusnya). Penelitian ini menggunakan paradigma naturalistik, dengan metode; analitika bahasa, fenomenologis, dan semiotika melalui Proses Tiga Tingkat (three-fold process): unit amatan sebagai obyek; wujud arsitektur sebagai representamen/penanda (signifier); dan konsep/makna geometris ruang sebagai interpretan/petanda (signified). Kesimpulannya, arti ‘dunia’ dalam filsafat kosmologi arsitektur Kraton Kasultanan Yogyakarta, adalah dunia sejauh alam fana dan alam baka; duniawi dan ukrowi; sufism dan syari’ah; hablun min Allah dan hablun min annas; manunggaling kawulo Gusti sebagai manifestasi dari falsafah sangkan paraning dumadi (dari mana asalnya manusia dan ke mana manusia setelah mati), yang dijabarkan melalui; keyakinan/kepercayaan, mitos, ritual, sejarah, pengetahuan, estetika, dan tatanan/sistem nilai yang melekat pada geometris ruangnya sejauh kedalaman tanpa batas, yang diwujudkan dengan satu ruang di dalam ruang yang terukur/kasat mata (spatial form), melalui 3 dimensi lebar, tinggi, dan kedalaman ruang utama dan 3 dimensi lebar, tinggi, dan kedalaman ruang di dalamnya; dan 1 dimensi ruang yang tidak kasat mata (spatial idea), sebagai isi atau filsafat kosmologi di dalamnya, yaitu yang tak terbatas dan bersifat abadi (Illahi), sehingga terbukalah suatu kedalaman tanpa batas (n- dimensional); dan fleksibilitas ruang mengembang tak terbatas (to apeioron) berdasarkan satu asas, yaitu; angin, yang diantar melalui mitos; papat keblat kelimo pancer (empat yang padu dalam yang kelima sebagai prototipe dunia bersegi empat dengan satu pusat), hastabrata (delapan arah mata angin), nawa sanga (sembilan dewa mata angin; dalam tarian sakral bedaya ketawang). Keseimbangan dicapai melalui adanya dua bangunan/ruang yang sama berada di sebelah kanan dan kiri bangunan/ruang utama, dan pepohonan sebagai keseimbangan lunak dari bahan bentang alam (landscape). Seiring dengan proses sejarah yang panjang, yaitu berawal dari Kerajaan Mataram II/Mataram Islam/Mataram Kota Gedhe telah menjadikan falsafah sangkan paraning dumadi tersebut menjadi salah satu pandangan hidup Jawa yang sangat esensial atau sebagai idealisme makna (idealisme du sens) dalam genius loci (jiwa setempat/spirit of the place) dan mewujudkan suatu gaya yang bertahan dalam waktu lama (turun temurun), yang tersebar sampai ke seluruh daerah di Pulau Jawa, sehingga disebut dengan gaya bangunan tradisional Jawa. Falsafah sangkan paraning dumadi tersebut benar-benar menempatkan sesuatu di antara bumi dan langit, menjadikan arsitektur sebagai ars magna (seni agung), dan menempatkan arsitek sebagai Lords of Art; penunjuk jalan yang mengarahkan umat menuju dunia-dunia baru (futuristik), yang selalu ada dalam setiap gelombang peradaban arsitektur, dan merangkum berbagai idelogi dalam enam tradisi utama modern dalam kesatuan makna (unity in plurality). Alangkah bijaksana apabila karya arsitektur tersebut menjadi sebuah model untuk rancang-bangun di mana pun dengan menitikberatkan pada cosmic filosofis sebagai grand concept.
Architectuctural cosmology of Kraton Kasultanan Yogyakarta uses a cosmos model that holds representation of Islamic religions. The symbol and space architecture signs Moslem Cosmos, a relation between sufism and syari’ah; path to human perfection. North Alun-alun, Masjid Agung, Pagelaran, and North Siti Hinggil shows a place that Sultan was present at the moment Pisowanan Ageng Garebeg Maulud, Syawal, and Besar (three times in one year), at the time of delegation Sultan and Crown Child. Compared from works of the past, Kraton’s existence fell apart with the growth of modern technology, eventhough still having sense of place as genius loci or self meaning. In the globalization era, a form of architecture spirit that strengthens self meaning becomes a new soul in the middle of weakness regional culture resistence accumulating to dystopia modernisme. Phenomena about cultural historic values, philosophy, and architectural “Poros Imaginer†always becomes a debate issues sunk. Bunch of problem example; no smoke without fire. Question of research that appear are: How far does cosmologic philosophy stick to Kraton Kasultanan Yogyakarta architecture, good as ending (consignee/signifier) or concept or the meaning (signified) geometric space, through case study on surroundings I: North Alun-alun to North Siti Hinggil; what is the influence toward self meaning (genius loci) as spirit of the place; and how is the philosophy personalized as futuristic. The research is the purpose for validation as de facto (fact) and links for validation as de ieure (should be). This research uses naturalistic paradigm, with the metods; analitical language, phenomenology, and semiotics through The Three-fold Process: amateur unit as the object; architecture existence as representation (signifier); and concept/meaning in geometric space as an interpretator (signified). The conclusion, to the meaning ‘world’ in philosophy cosmology architecture Kraton Kasultanan Yogyakarta is the world as far as alam fana and alam baka, worldly and ukrowi; sufism and syari’ah; hablu min annas and hablu min Allah; manunggaling kawulo Gusti as a manifestation from the philosophical phrase sangkan paraning dumadi (from where humanity began and where humanity goes afther death), spreading out through: religion/belief, myth, ritual, history, knowledge, estetics, arragement/system values that stick to the geometric space as far as depth without border, the existence of room with in a room measured in plain view (spatial form); and space flexibility growth without border (to apeiron), follows one foundation, wich is windsent through myth; papat keblat kelimo pancer (four weld together with in the fifth as four sided world prototype), Hastabrata (eight wind eyes), Nawasanga (nine lord of wind eyes; in a ritual dance bedhaya ketawang). Balancing of efforts through two buildings/rooms that are on the right and left main buildings/rooms, and trees as balance level from natural material (lanscape). Follows a process of a long story, which is beginning from empire of Mataram II/Mataram Islam/Mataram Kota Gedhe afther becoming the philosophy sangkan paraning dumadi named as one of the sights of life of Java that is very essential or as idealisme meaning (idealisme du sens) in genius loci (spirit of the place) and spoken as a Javaneese traditional style building. The philosophy sangkan paraning dumadi said to keep somethings between earth and the sky, becoming architecture as lord of art, path that leads humans to new worlds (futuristic), that always show up in every world of civilization in architecture an conclude several ideas in six main modern traditions in unity of meaning (unity in plurality). How wise if architectural work involved becomes a model for planning and construction wherever an insist comes towards philosophy as a grand concept.
Kata Kunci : Arsitektur dan Budaya,Kraton Kasultanan Yogyakarta,Kosmologi Arsitektur,cosmology; architecture; cosmology architecture