Bashirah Shufiyah dalam Diwanul-Imam Ali Ibn Abi Thalib Syarch Yusuf Farchat :: Pemaknaan semiotik
PURNAMAWATI, Zulfa, Prof.Dr. Rachmat Djoko Pradopo
2007 | Tesis | S2 SastraAli Ibn Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat yang dianggap sebagai pelopor dalam bidang tasawuf, syari’ah, dan akhlaq. Selain itu, Ali dianggap sebagai pemikir Islam yang dikaruniai kecerdasan para ilmuwan dan seorang ahli sastra dan balaghah. Penelitian yang berfokus pada qashidahqashidah Ali dengan judul “Bashîrah Shûfiyah dalam Diwânul-Imâm Ali Ibn Abi Thâlib Syarch Yûsuf Farchât:Pemaknaan Semiotik†ini bertujuan untuk mendiskripsikan secara semiotik konsep-konsep hidup Ali sebagai penyair. Konsep tersebut berhubungan dengan bashirah atau cara pandang dan sikap yang diambil Ali dalam berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, dan terhadap dunia. Sebagai sampel, dari diwan ini diambil enam buah qashidah, yaitu Zainabiyyah, Nashâ`ich Lil-Imâmil-Chusain, Ash-Shalâh, Al-‘Amalu, Al-‘Aqil, dan Zâdul-Chayâti. Konvensi bahasa sajak yang berbeda dengan bahasa umumnya menjadikan sajak dipenuhi dengan tanda yang mengandung makna. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teori semiotik. Secara khusus, metode yang digunakan untuk melakukan pemaknaan qashidah-qashidah Ali ini adalah pendekatan yang disampaikan oleh Riffaterre. Pada tahap pertama, dilakukan pencarian ketaklangsungan ekspresi yang digunakan penyair di dalam keenam qashidah tersebut. Ketaklangsungan ekspresi itu berhubungan dengan penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Setelah ditemukan ketaklangsungan ekspresinya, kemudian dilakukan pembacaan terhadap keenam qashidah tersebut. Pembacaan tingkat pertama, yaitu pembacaan secara heuristik dilakukan dengan memprosakan bait-bait dalam qashidah tersebut dengan memperhatikan kaidah bahasa Arab. Kemudian, dilanjutkan dengan pembacaan tahap kedua yang berupa penafsiran dengan mempertimbangkan ketaklangsungan ekspresi dan konvensikonvensi lain dalam sastra Arab. Pada tahap ini pula, penafsiran dihubungkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Nachjul Balaghah sebagai teks hipogramnya. Langkah yang terakhir adalah menentukan matriks, model dan varian sekaligus mencari hubungan keenam qashidah untuk menentukan bashirah shufiyah yang terkandung di dalamnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ali memiliki konsep-konsep bashirah shufiyah, meskipun dia tidak menyebut dirinya sebagai sufi. Bashirah shufiyah, yang berhubungan dengan Allah, diaktualisasikan dengan takwa, mengingat Allah, mengingat mati, taubat kepada Allah, dan memohon hanya kepada Allah. Bashirah shufiyah yang berhubungan dengan sesama manusia diwujudkan dalam bersikap lunak, saling menghormati, jujur, dan amanah. Adapun yang berhubungan dengan dunia diwujudkan dengan zuhud, qana’ah, tawakkal, dan sabar. Semua sikap ini menjadi pandangan hidup yang diaktualisasikan dalam kehidupan Ali Ibn Abi Thalib sebagai penyair.
Ali Ibn Abi Thalib, one of Muhammad companions, is considered the pioneer in the field of tasawuf, syari’ah, and akhlaq. In addition, Ali is also considered a Muslim intellectual granted the gift of intelligence, not only as a scholar but also as a literary man and balaghah (linguist). The research entitled “Bashirah Shufiyah in Diwanul-Imam Ali Ibn Abi Thalib Syarch Yusuf Farchat: A Semiotic Analysis†focusing on Ali’s qashidah aims to describe Ali’s concepts of life as a poet. The concepts are closely connected to Ali’s bashirah or perspective on and manner in the relationship with Allah, fellow human, and the world. For sample, the research takes six qashidah, i.e. Zainabiyyah, Nashâ`ich Lil-Chusain, Ash-Shalâh, Al-‘Amalu, Al-‘Âqil, and Zâdul-Chayâti. The different convention between poetic language and language for general use is marked by the plenty of signs invested with meanings which are found in poems. Therefore, the research applies semiotics theories. The research uses, in particular, Riffaterre’s approach to derive the meanings of Ali’s qashidah through interpretation of signs. In the first stage of analysis, an investigation on the poet’s indirectness of expression, i.e. displacing of meaning, distorting of meaning, and creating of meaning, is carried out. The second stage covers the reading on the six qashidah selected. The first level reading, i.e. heuristics reading, is done by paraphrasing the verses based on Arabic language principles. The second level reading is the interpretation of the verses by giving attention to the indirectness of expression and other conventions in Arabic literatures. In this level of reading, the interpretation is done by connecting the verses to their hypogram texts, i.e. The Koran and Nachjul Balaghah. The final stage is deciding the matrix, model, and variant as well as drawing up the connection among the six qashidah to reveal the bashirah sufiyah within. The research results show that Ali possess the concept of bashirah sufiyah despite his not claiming himself a Sufi. The concept of bashirah sufiyah which relates human to God is actualized through piety (taqwa), thinking of Allah, thinking of death, asking for Allah’s forgiveness (taubat), and begging for Allah’s mercy. The concept of bashirah sufiyah which relates human to his fellow human is actualized through tender manner, mutual respect, honesty, and trustworthiness. The concept of bashirah sufiyah which relates human to the world is actualized through zuhud (having a modest life), qana’ah (consistency), tawakkal (submission), and patience. All these attitudes become Ali’s way of life, which are actualized though his life as a poet.
Kata Kunci : Sastra Arab,Teks Qashidah Ali Ibn Abi Thalib,Pemaknaan Semiotik, bashirah shufiyah, qashidah, semiotics, hermeneutics, matrix