Laporkan Masalah

Pencarian Identitas Budaya Hindu :: Studi Komunitas Hindu di Kelurahan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta

JAYAKUMARA, I Gde, Prof.Dr. IBG Yudha Triguna

2007 | Tesis | S2 Ilmu Perbandingan Agama

Tesis ini memfokuskan diri pada bagaimana komunitas Hindu Banguntapan yang beranggotakan 200-300 orang itu bertahan dan bila mungkin berkembang sejalan dengan tradisi yang masih hidup maupun ritual-ritual baru yaitu Hindu yang diintroduksikan oleh klas menengah terdidik etnis Bali yang mendapat legitimasi oleh Negara. Dengan kata lain, tema utama yang diajukan adalah persoalan identitas budaya Hindu, karena: di satu sisi mereka menolak untuk melakukan konversi ke agama mayoritas; dan di sisi lain juga menolak untuk mengunakan budaya Hindu eksternal, yaitu Bali dan India sebagai referensi utama dalam aktivitas religius. Tema utama di atas dibagi lagi menjadi dua permasalahan, yaitu: (1) Bagaimana komunitas Hindu Banguntapan mengalami peminggiran dalam transformasi sosial; dan (2) Bagaimana komunitas Banguntapan berreaksi atas peminggiran itu, serta bila mungkin mengembangkan diri di dalamnya. Untuk menjawab pertanyaan pertama, pendekatan yang digunakan adalah teori dialektika triad Berger, yaitu: eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Relasi dialektik ini memunculkan institusi religius baru, yaitu tempat ibadah pura yang di dalamnya komunitas Hindu Banguntapan at home secara sosial. Namun secara bersamaan gerak dialektik triad Bergerian menjadikan institusi religius berkembang secara otonom. Maka, fenomena homeless bagi komunitas Hindu Banguntapan senantiasa terjadi. Sementara pertanyaan kedua dijawab dengan mengunakan teori sinkretisme dinamik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ben Anderson. Di lapangan, teori ini kurang secara mendetail menyoroti sisi dinamik psikologi-sosial komunitas Hindu Banguntapan dalam menyikapi kegagalannya untuk berpartisipasi dalam tranformasi sosial. Oleh karenanya teori Nietzschean yang berisi tentang relasi hermenuitik antara will to unity dan will to power juga digunakan sebagai pelengkap. Maka, persoalan identitas budaya bagi komunitas Hindu Banguntapan dipahami sebagai sesuatu kemenjadian (becoming) yang di dalamnya terdapat hubungan intrik antara will to power (spiritualitas) dan will to unity (agama). Dengan kata lain, di satu sisi komunitas Hindu Banguntapan mengunakan referensi tradisi Jawa untuk melakukan latihan permbedayaan diri dan secara bersamaan melakukan aktivitas peleburan diri (beragama) yang keduanya diarahkan untuk mencapai kualitas kemanusiaan yang lebih tinggi.

The thesis focuses on how the Hindu community of Banguntapan comprising 200-300 individuals survives and even develops parallel with the existing traditions and the new rituals that represent the Hinduism introduced by the Balinese intellectuals with state legitimacy. In other words, the main theme raised here is the issue of Hindu identity because they deny converting to other majority religions in one hand and in other hand they also deny to embrace the kind of Balinese and Indian Hindus that are externally introduced as the main reference in their religious activities. The main theme is classified into two problems, which are: (1) How does the Hindu community of Banguntapan survive the encirclement? and (2) How does the Hindu community of Bangutapan react to the encirclement and even develop in it? The first question is answered using Berger’s triad dialectics theory consisting of: externalization, objectification and internalization. The dialectic relation results in a new religious institution, which is the temple in which the Hindu community of Banguntapan is socially at home. However, the triad dialectics causes the religious institution develops autonomously. Thus, the phenomena of homelessness of the community remain. The second question is answered using a dynamic syncretism theory as suggested by Ben Anderson. The theory does not spotlight the details of the psychological dynamics of the community and hence Nietzsche’s hermeneutics theory of the will to unity and the will to power is also used. Thus, the issue of the cultural identity of the Hindu community of Banguntapan is considered to be the process of becoming in which an intricate relation between the will to power (spirituality) and the will to unity (religion) exists. In other words, the community uses in one hand the reference of Javanese traditions as the exercise to empower themselves, while at the same time commits a self-fusion by embracing the religion that both are directed to the achievement of a higher humanity quality.

Kata Kunci : Komunitas Hindu,Identitas Budaya Hindu, Banguntapan, Culture, Identity, Hindu


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.