Prevalensi dan faktor risiko kejadian penyakit dekomprasi dan barotrauma pada nelayan penyelam di Kecamatan Karimunjawa Kabupaten Jepara tahun 2007
KARTONO, Sad Ari, dr. Nawi Ng., MPH.,Ph.D
2007 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat (Epidemiologi LapangaLatar Belakang. Prevalensi kejadian penyakit dekompresi dan barotrauma pada nelayan penyelam di Kabupaten Jepara belum diketahui. Faktor risiko kejadian penyakit dekompresi dan barotrauma dapat dari lingkungan (environment) maupun faktor penjamu (host). Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko terjadinya penyakit dekompresi dan barotrauma pada nelayan penyelam di Kecamatan Karimunjawa. Metode. Jenis penelitian adalah penelitian analitik (observational), dengan rancangan studi cross sectional. Penelitian dilakukan di Kecamatan Karimunjawa dengan subyek penelitian adalah nelayan penyelam. Jumlah sampel yang diambil adalah seluruh populasi nelayan penyelam (n=148). Variabel bebas penelitian ini adalah kedalaman penyelaman, lama penyelaman, frekwensi penyelaman dan waktu istirahat, variabel yang dikendalikan adalah umur, temperatur air laut, masa kerja dan penyakit asma, sedangkan variabel terikatnya adalah kejadian dekompresi dan barotrauma. Instrumen yang digunakan adalah diagnosis, kuesioner, thermometer, timbangan berat badan, meteran dan tali. Hasil. Dari 148 responden, 56,1% responden mengalami dekompresi dan 53,4% responden mengalami barotrauma. Gejala yang sering dirasakan adalah kelelahan 77,0%, pusing 59,5% dan nyeri sendi 53,4%. Barotrauma yang paling banyak terjadi adalah gangguan pendengaran 43,2%, gangguan saluran hidung 16,9% dan gangguan paru-paru 14,9%. Hasil uji bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kedalaman penyelaman dengan kejadian dekompresi (p=0,031) OR=0,342 (95%CI:0,149-0,785) dan OR=0,437 (95%CI:0,140-1,364). Sedangkan antara faktor risiko kedalaman penyelaman dengan barotrauma dan faktor risiko lama penyelaman, frekwensi penyelaman serta waktu istirahat dengan kejadian dekompresi dan barotrauma menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan. Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian dekompresi adalah penurunan temperatur air laut (OR=2,1), sedangkan untuk kejadian barotrauma adalah faktor risiko kedalaman penyelaman (OR=0,55). Kesimpulan. Faktor penentu yang menjadi model kejadian dekompresi adalah penurunan temperatur air laut; semakin dingin temperatur air laut akan meningkatkan faktor risiko dekompresi pada penyelam sebesar 2,1 kali. Faktor penentu untuk kejadian barotrauma adalah kedalaman penyelaman; setiap penurunan kedalaman penyelaman 10 m, risiko penyelam mengalami kejadian barotrauma sebesar 0,55 kali.
Background: The prevalence of decompress and barotrauma disease in surfer fisherman in the district of Jepara was not yet known. The risk factor of decompress and barotrauma could be derived from environment or host. Objective: The objective of this research was to find out the prevalence and risk factor of decompress and barotrauma in surfer fisherman in the sub district of Karimunjawa. Method: This was an analytic research (observational) that used cross sectional design. This research was conducted in the sub district of Karimunjawa with research subject of surfer fisherman. The number of the sample was taken from all surfer fisherman population (n=148). The independent variable of this research was the deepness of surfing, length of surfing, frequency of surfing and time for resting, smoking, obecity and consumption alcohol, the controlled variable was age, sea water temperature, length of work and asthma disease, while the dependent variable was the incident of decompress and barotrauma. The instrument being used was diagnose, questioner, thermometer, weight scale, meter and rod. Result: Out of 148 respondents, there were 56,1% who experienced from decompress, and 53,4% who experienced from barotrauma. The most felt symptom was fatigue 77,0%, headache 59,5%, and muscle pain 53,4%. The most occurred barotrauma was hearing disorder 43,2%, nasal disorder 16,9% and lung disorder 14,9%. The result of bivariate test showed that there was a significant relationship between deepness of surfing with decompress incident (p=0,031) OR=0,342 (95%CI;0,149-0,785) and OR=0,437 (95%CI:0,140-1,364). Furthermore, there was an insignificant relationship between the risk factor of surfing deepness with barotrauma and risk factor of length of surfing, frequency of surfing and resting time with the incident of decompression and barotrauma. The result of multivariate test showed that the most dominant risk factor toward the decompression incident was the decreasing of sea water temperature (OR=2,1), while the risk factor of barotrauma incident was surfing deepness (OR=0,55). Conclusion: The determinant factor that became the model of decompress incident was the decreasing of sea water temperature; and the colder of the sea water temperature will increase the risk factor of decompress in surfing with 2,1 times. The determinant factor for barotrauma incident was the deepness of surfing; and the deeper of the surfing deepness 10 m will the risk of getting barotrauma with 0,55 times.
Kata Kunci : Penyakit Dekompresi dan Barotrauma,Nelayan Penyelam