Aspek sosial ekonomi sistem perladangan Suku dayak Meratus Kecamatan Loksado Kalimantan Selatan
ASYSYIFA, Prof.Dr.Ir. H. Hasanu Simon
2007 | Tesis | S2 Ilmu KehutananSistem perladangan merupakan salah satu pola pemanfaatan lahan yang bersifat tradisional dan turun temurun. Pola perladangan ini dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Meratus Desa Lumpangi, Desa Loksado dan Desa Haratai di Kecamatan Loksado Kalimantan Selatan. Masyarakat Dayak Meratus menyebut sistem perladangan mereka dengan perladangan gilir balik. Tahapan dalam kegiatan berladang dikenal dengan 6 M yaitu Menebas, Menebang, Membakar, Menanam, Merumput dan Memanen. Setiap tahapan kegiatan tersebut tidak lepas dari ritual adat Kaharingan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Masyarakat Dayak memiliki hukum adat atau aturan-aturan adat yang terkait dengan perladangan yang pamali (mendatangkan akibat buruk) apabila dilanggar. Penelitian yang mengambil lokasi di 3 (tiga) desa yang mempunyai pola perladangan yang sama, namun akibat pengaruh jarak dan masuknya agama serta budaya luar menyebabkan perlahan-lahan ritual adat semakin ditinggalkan. Perladangan yang dilakukan masyarakat di ketiga desa tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam hal sistem pengolahan lahan, dimana dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan lahan semakin sempit dan memperpendek masa bera. Masyarakat sudah mulai melakukan pemakaian pupuk dan pestisida dalam berladang. Masyarakat melakukan sistem agroforestri sederhana guna menambah hasil ladang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di luar sektor perladangan, masyarakat memilih untuk menambah pendapatan dari perdagangan dan jasa (sopir, buruh,tukang) atau meninggalkan desa mereka untuk mencari pekerjaan. Secara umum masyarakat peladang di desa penelitian hidup dengan pola hidup tradisional dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang tergolong masih rendah. Untuk mengatasi permasalahan perladangan perlu adanya sistem pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh. Sistem ini berupaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperhatikan kelestarian lingkungan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat setempat dan tidak melupakan budaya masyarakat Dayak yang mendiami kawasan hutan lindung pegunungan Meratus.
The shiftingcultivation system is a traditional use of land that is inherited in generations. The pattern is done by people of Dayak Meratus ethnic in Loksado District, South Kalimantan. People of Dayak Meratus call the system as gilir balik cultivation. Steps in cultivation activities consist of cutting down, felling, burning, dibbling, weeding and harvesting. Each step related closely to custom ritual of Kaharingan done by local society. Dayak society has custom laws and rules related to the cultivation that is forbidden to break. The research was done in three locations of different villages with similar cultivation pattern but due to distance and introduction of outside religion and culture the custom ritual is left slowly. Cultivation in the three villages indicated change in land preparation system, where more population resulted in narrower land and shorter fallow period. People began to use fertilizer and pesticide in cultivation. People also do a simple agroforestry system to add field yield to meet their needs. In non agricultural sectors, people add their income by trading and service (driver, labor, craftsman) or they leave their villages to look for jobs. In general, people who work in field live with traditional live pattern with low welfare and education level. To deal with the problem, it requires integrated forest management system. The system aims to increase people income, consider environmental conservation and consider local people aspiration while not ignore culture of Dayak society living in protective forest area of Meratus mountain.
Kata Kunci : Lahan Hutan,Sistem Perladangan,Sosial Ekonomi Masyarakat Suku Dayak,shifting cultivation system, social economic, Dayak Meratus