Kedudukan utang pajak dalam lembaga kepailitan :: Tinjauan kriteria utang menurut Pasal 1 Angka 6 UU No.37 Tahun 2004
PAREDOS, Prof.Dr. Siti Ismijati Jenie, SH.,CN
2008 | Tesis | S2 Ilmu Hukum (Magister Hukum Bisnis)Definisi utang dalam UU Kepailitan No.37 Tahun 2004 memungkinkan utang pajak untuk diselesaikan di lembaga kepailitan, sudah banyak perkara-perkara kepailitan yang memasukkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai salah satu kreditornya. Penyelesaian utang pajak sudah diatur dalam UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang memberi kewenangan kepada pejabat pajak untuk melakukan penagihan pajak diluar campur tangan pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan utang pajak dalam lembaga kepailitan dan kemungkinan penyelesaian utang pajak melalui lembaga kepailitan. Penelitian ini bersifat yuridis empiris, yang terdiri dari penelitian kepustakaan dan lapangan. Cara memperoleh data primer dari penelitian lapangan, dengan melakukan wawancara terhadap responden dan narasumber yang berkaitan dengan permasalahan, sedangkan data sekunder dari penelitian kepustakaan, diperoleh dengan cara studi dokumen atau bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang berusaha menggambarkan dan menganalisis secara kualitatif berbagai masalah tentang pemahaman kedudukan utang pajak kaitannya dalam praktik penyelesaian kepailitan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan tidak semua dari perkara kepailitan yang berkaitan dengan utang pajak, menempatkan utang pajak sebagai utang yang mempunyai hak istimewa untuk didahulukan dalam pelunasannya dibandingkan dengan utang-utang lain, seperti yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.16 Tahun 2000 dan Pasal 1134 dan Pasal 1137 KUHPerdata. Penyelesaian utang pajak melalui lembaga kepailitan, setidaknya ada tiga kemungkinan, pertama, permohonan kepailitan diajukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, kedua, permohonan kepailitan yang diajukan oleh debitor atau kreditor dengan memasukkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai salah satu kreditor, ketiga, Direktorat Jenderal Pajak tidak masuk dalam daftar kreditor, tetapi pada saat proses rapat verifikasi utang muncul utang pajak debitor yang belum dilunasi dan termasuk utang yang diakui dan mendapat pembagian boedel pailit. Kemungkinan pertama belum pernah terjadi dan tidak akan terjadi karena Direktorat Jenderal Pajak dalam penagihan utang pajak diberi kewenangan khusus yang diatur dalam UU tersendiri, kemungkinan kedua dalam praktik selalu dibantah oleh Direktorat Jenderal Pajak karena utang pajak timbul karena UU bukan karena perjanjian utang piutang antara Direktorat Jenderal Pajak dengan wajib pajak sehingga bukan termasuk lingkup kepailitan, kemungkinan ketiga yang sering terjadi dalam kepailitan, dimana utang pajak mendapat pelunasan dari boedel pailit.
The definition of credit in the 2004 Bankruptcy Act No.37 makes it possible that tax credit being resolved in the agency of bankruptcy. Bankruptcy cases that involved the Directorate General of Taxation as one of the creditors were numerous. The settlements of tax credit were regulated in the Bill of Tax Claim with the writ that authorized the tax officer to claim the tax, excluding court intervention. The study aims at determining the legal standing of tax credit in the agency of bankruptcy and the possible settlement of tax credit in it. The study is empiric-juridical in nature that involves literature and field studies. The primary data from the field study were collected by interviewing respondents and relevant resource persons, while the secondary data from study of literature were collected by reviewing documents and reference materials related to the problem. The findings are analyzed using qualitative-descriptive method intended to qualitatively represent and analyze a number of problems concerning the concept of legal standing of tax credit in relation to practices of bankruptcy settlement in Indonesia. The findings demonstrated that not all of the bankruptcy cases related to tax credits put them in higher priority of settlement than other credits, as regulated in 2000 Section 21 article (1) of General Stipulation and Taxation Act No.16 and Sections 1134 and 1137 of Civil Law. Tax credit settlement in the agency of bankruptcy might take, at least, three possible forms; first, application of bankruptcy is proposed by Directorate General of Taxation; second, application of bankruptcy is proposed by debtor or creditor by including Directorate General of Taxation as one of the creditors; and third, the Directorate General of Taxation is not included in the list of creditors, but in the course of credit verification process it was found that there were unpaid debtor tax credit, including the recognized credits and those provided with bankruptcy estae. The first form has not been, and will never be, the case, since the Directorate General of Taxation has special authority to claim the tax credit as regulated in Special Act. As far as the second form concern, it is, in practice, always refuted by Directorate General of Taxation since the tax credits came up as such because the Taxation Act stated them to be so, not because there is credit agreement between the Directorate General and tax payer, and thus it can not be categorized as bankruptcy. The third form is the one that frequently occur in bankruptcy, where tax credit is settled with bankruptcy estae.
Kata Kunci : Utang pajak dan Kepailitan, Tax Credit and Bankruptcy