Laporkan Masalah

Ketimpangan pembangunan di bidang pendidikan :: Studi kasus desentralisasi pendidikan di Kota Tidore Kepulauan

FARUK, M. Said, Dr. Heru Nugroho

2007 | Tesis | S2 Sosiologi (Studi Pembangunan)

Desentralisasi pendidikan dimaksudkan untuk memberikan pemerataan pelayanan bidang pendidikan kepada rakyat. Sebagai daerah otonom, Kota Tidore Kepulauan berkewajiban memberikan pelayanan pendidikan secara lebih bermutu dan merata kepada masyarakatnya. Kenyataannya, setelah berjalan beberapa tahun, tanda-tanda adanya pemerataan pendidikan masih jauh dari harapan. Penyediaan sarana pendidikan, guru, dan sarana penunjang pelayanan pendidikan banyak terdapat di Kecamatan Tidore yang merupakan pusat pemerintahan Kota Tidore Kepulauan. Akibatnya, penyelenggaraan pendidikan di daerah-daerah lain, khususnya di Kecamatan Oba Selatan dirasakan masih belum ada perubahan setelah berdirinya Kota Tidore Kepulauan sebagai daerah otonom. Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitiannya adalah: 1) apa saja bentukbentuk ketimpangan pembangunan di bidang pendidikan di Kota Tidore Kepulauan?, 2) bagaimana perilaku aparatur Pemerintah Daerah menghadapi politik pembangunan bidang pendidikan di Kota Tidore kepulauan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Data didapatkan melalui teknik observasi, teknik dokumentasi dan wawancara dengan informan baik dari Sekda Kota Tidore Kepulauan, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Pendidikan, kepala sekolah dan guru, tokoh dan warga masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan bidang pendidikan di Kota Tidore mengalami ketimpangan antara Kecamatan Tidore dan Kecamatan Oba Selatan. Ketimpangan terlihat pada rasio ketersediaan sekolah, ruang kelas, guru, fasilitas belajar berupa komputer dan perpustakaan, serta sarana pendukung pendidikan. Jumlah sekolah dan ruang kelas di Oba Selatan secara kuantitatif memang lebih banyak, dengan jumlah murid di Oba Selatan yang lebih sedikit, tetapi mengingat luas wilayah Oba Selatan mencapai 7 kali lebih luas dari Kecamatan Tidore, maka banyaknya sekolah, ruang kelas, dan guru tidak banyak berpengaruh terhadap kemudahan masyarakat Oba Selatan mengakses pendidikan seperti halnya di Kecamatan Tidore. Ketimpangan ini sudah berlangsung lama sejak sebelum berdirinya Kota Tidore Kepulauan. Namun perilaku aparatur pemerintah kurang berusaha mengatasi ketimpangan tersebut. Hal ini ditandai dengan rekrutmen PNS atau pejabat berdasarkan ikatan kekerabatan dan ikatan perkampungan, penentuan proyek-proyek pembangunan berdasarkan manfaat langsung yang dirasakan oleh para pejabat dan keluarganya sehingga sarana pendidikan lebih lengkap dan lebih bermutu di Kecamatan Tidore, lebih mementingkan keuntungan ekonomis para penyelenggara pemerintah dan pendukung daripada kebutuhan riil masyarakatnya. Kesimpulannya, ketimpangan pembangunan bidang pendidikan sudah ada sejak sebelum berdirinya Kota Tidore Kepulauan. Ketimpangan tersebut dianggap sebagai suatu kewajaran yang kemudian dimanfaatkan oleh aparatur untuk membenarkan perilakunya dalam penyelenggaraan pendidikan. Misalnya dengan menempatkan proyek-proyek pengadaan sarana pendidikan di daerah perkotaan (Kecamatan Tidore) daripada di Oba Selatan serta mengutamakan rekrutmen tenaga pendidikan dari Kecamatan Tidore meskipun untuk ditempatkan di Kecamatan Oba Selatan.

The decentralization of education is aimed at creating equal distribution of education service. As an autonomic region, the Tidore Island has duty to provide a good education service to its people. However, after few years, an equal distribution in education is still only a dream. In Tidore sub-district, there are many schools, teachers, and other supported facilities of education services. However, this is not provided in other small towns such as Oba Selatan. Oba Selatan has not changed a lot since the Tidore Island becomes autonomy. Based on the description, the research’s problems are: 1). What are the forms of inequality in the education development in Tidore Island? 2). How is the attitude of the local government apparatuses in facing the politic of education development in Tidore Island? The research uses a case study approach. Observation, documentation, and interviews are used to get data from the informants. They are: the local government secretary of Tidore city (Sekda kota Tidore), the head of the local development body (kepala Bappeda), the head of the education service (kepala dinas pendidikan), headmasters and teachers, the community leaders as well as the communities. The data analysis shows that there is unequal distribution in education development between Tidore sub-district and Oba Selatan sub-district. The inequality can be seen from the ratio of the number of schools, classes, teachers, learning facilities for example computers, libraries as well as the other supported facilities of education. It is true that the number of schools and classes in Oba Selatan is bigger than in Tidore sub-district although the number of students in Oba Selatan is smaller than in Tidore. However, the area of Oba Selatan is seven times larger than Tidore sub-district, hence this number of schools, classes and teachers in Oba Selatan has not yet fulfilled the real need of the society. Many communities in Oba Selatan do not be able to have access to education compared to the communities in Tidore sub-district. This inequality has been occurred for a long time, before the establishment of the Tidore city. However, it seems that the local government does not respond the problem. This can be seen from the civil servant recruitment model that is based mostly on the family ties; the development projects, which are much determined by the direct benefits that can be get by the officials and their families, hence the education facilities in Tidore sub-district is much complete and better than in Oba Selatan sub-district. The development projects do not based on the real needs of the society but on the extent the projects can give economic advantages for the local government apparatuses and their families. In conclusion, the inequality development of education in Tidore Island has been occurred before the establishment of the City of Tidore Island. This inequality has been viewed natural, hence the situation has been used by the apparatuses to justify their attitude in conducting education for example in choosing places for developing education facilities, they develop more facilities of education in Tidore city rather than in Oba Selatan. Most teachers who are recruited also come from Tidore sub-district rather than from Oba Selatan, although they teach in Oba Selatan.

Kata Kunci : Pembangunan Pendidikan,Perilaku Aparat,Ketimpangan Pendidikan, inequality, education, apparatuses’ attitude


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.