Laporkan Masalah

Anatomi konflik batas wilayah desa :: Studi kasus konflik batas wilayah desa antara Desa Bindu dengan Desa Karang Dapo Kecamatan Peninjauan Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan

KRISTOFA, Amzar, AAGN. Ari Dwipayana, M.Si

2007 | Tesis | S2 Ilmu Politik (Politik Lokal dan Otonomi Daerah)

Konflik batas wilayah desa yang terjadi antara Desa Bindu dengan Desa Karang Dapo, tidak terlepas dari adanya perubahan dalam format pengaturan desa. Sejak dilaksanakannya desentralisasi melalui undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan dalam pengaturan desa, diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Di Kabupaten Ogan Komering Ulu, salah satu regulasi yang mengatur desa adalah Perda Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Desa. Ketika Perda ini baru diberlakukan, Desa Karang Dapo yang terbentuk di masa transisi pemerintahan negeri ini, mengusulkan peningkatan status desanya dari desa persiapan menjadi definitif. Akan tetapi, usul tersebut terganjal oleh salah satu pasal dalam Perda Nomor 38 Tahun 2000, yang mensyaratkan adanya penetapan batas wilayah desa yang dibuat dan disepakati dengan desa yang berbatasan langsung. Desa Karang Dapo belum memenuhi persyaratan itu, karena pembentukan Desa Karang Dapo yang masih dilakukan dengan cara sentralistik, tidak disertai dengan penetapan batas wilayah desa. Keharusan Desa Karang Dapo untuk membuat kesepakatan batas wilayah desa, dipergunakan oleh Desa Bindu untuk menolak mengakui wilayah Desa Karang Dapo. Penolakan Desa Bindu kemudian berujung pada konflik batas wilayah desa diantara kedua desa. Peristiwa konflik menjadi menarik, karena kedua desa dulunya berada dalam wilayah satu Marga, selain itu sejak terangkat kepermukaan pada tahun 2001, hingga kini belum dapat diselesaikan. Untuk mengetahui peristiwa konflik secara lebih mendalam, dirumuskan suatu pertanyaan penelitian; Bagaimanakah anatomi konflik batas wilayah desa yang terjadi antara Desa bindu dengan Desa Karang Dapo ? Penelitian ini bertujuan, mengurai konflik batas wilayah desa yang terjadi antara Desa Bindu dan Desa Karang Dapo, dengan menganalisis berbagai elemen yang menyertai konflik. Sebagai alat analisis, digunakan model pemetaan konflik Paul Werh, yaitu mengurai konflik dengan menjelaskan konteks, isu, para pihak, dinamika dan penyelesaian konflik yang pernah dilakukan. Model pemetaan konflik tersebut akan memberikan kerangka analisis yang bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada. Jenis penelitian yang dipilih adalah deskriptive research dengan pendekatan case study. Dari hasil penelitian diketahui, akar utama konflik telah tertanam sejak lama, yaitu ketika terjadi penggabungan wilayah Dusun Karang Dapo ke dalam wilayah Desa Mendala yang dilakukan oleh Kepala Desa Mendala, Munzir AM. Penggabungan wilayah tersebut, kemudian hari dipersoalkan oleh Kepala Desa Bindu. Menurut Kepala Desa Bindu tindakan Munzir AM menyalahi aturan adat, sehingga wilayah Desa Karang Dapo yang dulunya merupakan bagian dari wilayah Desa Bindu tetap milik mereka. Akan tetapi klaim wilayah Desa Bindu justru menimbulkan persepsi Desa Karang Dapo bahwa Desa Bindu sebenarnya ingin menguasai wilayah yang kini memiliki potensi sumberdaya ekonomi. Konflik yang didominasi oleh masingmasing kepala desa dan perangkat desa, membuat konflik lebih terkesan sebagai konflik elit desa. Upaya penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah Kecamatan Peninjauan dan Kabupaten Ogan Komering Ulu, yang mengedepankan hirarkis pemerintahan semata, tidak mampu menyelesaikan konflik. Kedepan perlu dikembangkan bentuk penyelesaian konflik yang berbasiskan kearifan lokal, dan mentransformasi konflik menjadi kerjasama antar dalam bentuk pengelolaan dan pemanfaatan secara bersama wilayah yang dikonflikan.

Conflict on village territorial boundary between Bindu Village and Karang Dapo Village is not separated from the change of village management form. Since the implementation of decentralization through Act No. 22/1999 the authority of village management is given to regional/municipal government. At Ogan Komering Ulu Regency, one regulation that regulates village is Local Regulation No. 38/2000 on Village Formation. When this Regulation has been just prevailed, Karang Dapo Village, which is established in transition period of this national government, proposed improvement of its village status: from preparation into definitive village. But such proposal is restricted by an article of Local Regulation No. 38/2000, which requires establishment of villa ge territorial boundary approved by adjacent villages. Karang Dapo village has not met that requirement, because the establishment of Karang Dapo Village has been centr+ally performed; it was not followed by establishment of village territorial boundary. Requirement for Karang Dapo Village to make approval on village territorial boundary is used by Bindu Village to refuse acknowledging Karang Dapo Village territory. Bindu Village refusal then leads to conflict on village territorial boundary between the two villages. This conflict is interesting because both villages were in a Marga territory at pas time; beside that, since the conflict occurred in 2001 it has not been solved up now. To deeply understand such conflict, it is formulated a research question: What is the anatomy of village territorial boundary conflict between Bindu and Karang Dapo Villages? This research is aimed at describing conflict on village territorial boundary between Bindu Village and Karang Dapo Village by analyzing various elements following the conflict. As analysis tool, it is used Paul Werh conflict mapping model, which describes conflict by explaining conflict context, issue, parties, dynamics and solution that have ever been performed. Such conflict mapping model will give analyti cal framework that is adaptable to the existing condition. Research type used is descriptive research with case study approach. From research result it is known that main cause of the conflict had been long existed, since integration between Karang Dapo and Mendala Village territorial conducted by Head of Mendala Village, Munzir AM. Such territorial integration was then debated by Head of Bindu Village. According to Head of Bindu Village, Munzir AM action violates custom rule, therefore Karang Dapo Village territory, which was part of Bindu Village in the past time, is still their own. But claim of Bindu Village territory even raises perception to Karang Dapo Village that Bindo Village, in fact, wants to rules territory that has economic resources now. Confl ict dominated by each heads and staffs of villages makes conflict appear to be village elite conflict. Effort to solve the conflict by Peninjauan sub district and Ogan Komering Ulu Regency, which is focused on governmental hierarchy, can not solve the conf lict. In the future, it needs to develop conflict solving based on local wish and transform conflict into cooperation in the form of mutual management and usage of conflict territory.

Kata Kunci : Konflik Batas Wilayah,Sumberdaya Ekonomi,ELit Desa, Village, Conflict, Region


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.