Laporkan Masalah

Analisis kebijakan perubahan tarif Puskesmas di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi

NOERJOEDIANTO, Dwi, drg. Julita Hendrartini, M.Kes

2007 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat (Kebij. Pembiayaan da

Latar belakang : Desentralisasi kesehatan merupakan strategi yang tepat untuk lebih menjamin masyarakat dalam akses pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai dengan UU No.32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa peran kabupaten / kota sangat besar dalam pembiayaan daerah termasuk kesehatan. Faktor yang paling penting adalah pelaksanaan pengendalian biaya dan mutu pelayanan kesehatan secara simultan. Hal ini dibuktikan oleh Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan dikeluarkannya kebijakan perubahan tarif puskesmas dari tarif perda menjadi tarif gratis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan perubahan tarif dari sisi persepsi pasien, PPK dan besarnya alokasi anggaran kesehatan terutama obat, alat dan jasa medis, yang dilanjutkan dengan konsep elastisitas tarif. Metode : Jenis penelitian ini adalah analitik dengan rancangan cross sectional. Sampel dipilih secara purposive random sampling sebesar 90 orang PPK, 96 orang pasien dan 4 stakeholder kabupaten. Pengumpulan data dilakukan dengan pembagian kuesioner dan indepth interview serta pengambilan data sekunder, dengan variabel bebas kebijakan perubahan tarif, dari tarif perda menjadi tarif gratis, dan variabel terikat persepsi mutu, alokasi anggaran dan elastisitas tarif. Hasil : Pasien mempersepsikan mutunya lebih buruk terhadap kebijakan perubahan tarif, terutama pada indikator tindakan, sikap dan empati petugas. Kenyataan pasien masih mempergunakan puskesmas dalam mengatasi masalah kesehatannya, terbukti semakin meningkatnya jumlah kunjungan puskesmas yang mengalami puncak pada Oktober 2006. Hal ini sesuai hasil nilai elastisitasnya sebesar 0,40 artinya bahwa pasien tidak ada pilihan serta pengganti terhadap pelayanan kesehatan. Persepsi PPK sebagian besar menyatakan lebih buruk. Hal ini disebabkan karena indikator ketersediaan sarana fisik dan jasa medis. Keterbatasan dan kemampuan APBD selalu menjadi alasan terhadap besarnya anggaran kesehatan, meskipun terjadi peningkatan anggaran obat dan biaya operasional, tetapi anggaran jasa medis menurun. Proporsi antara jumlah sarana fisik dan alokasi anggaran kesehatan mengakibatkan masih belum optimalnya ketersediaan sarana fisik. Untuk besarnya jasa medis juga sangat dirasakan oleh PPK, terutama dalam jumlah besaran jasa medis yang tidak menganut konsep tingkat kinerja / beban kerja. Kesimpulan : Persepsi PPK dan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan lebih buruk dengan adanya kebijakan perubahan tarif. Meskipun anggaran kesehatan meningkat terutama obat dan biaya operasional, serta pelayanan kesehatan bersifat in-elastis

Background: Health decentralization is an appropriate strategy to ensure community's access to health services. This policy goes in line with Act No. 32, 2004 which says that the role of district / municipal government is very crucial in local financing including health. The most important factor is the simultaneous implementation of cost and health service quality control. This is actualized by the government of Tanjung Jabung Barat District through the issuance of community health center tariff change policy from local regulated tariff to of charge. Objective: The objective of the study was to analyze tariff change policy according to perception of patients and health service providers, the amount of health budget allocation, particularly drugs, medical instruments and service as well as elasticity of tariff. Method: The study was analytical with cross sectional design. Samples were chosen according to purposive random sampling technique with as many as 90 health service providers, 96 patients and 4 district stakeholders. Data were obtained through questionnaire and indepth interview as well as through secondary data. Independent variable was tariff change policy, from local government tariff to free tariff, whereas dependent variables were perception of quality, budget allocation and tariff elasticity. Result: Patients perceived the quality worse, especially on indicators of action, attitude and empathy of staff. The fact was that patients still went to the community health center to overcome their health problems and the number of visits to community health center increased, reaching its peak in October 2006. This was relevant with the result of elasticity value as much as 0.40 which meant that patients had no choice of health service alternatives. Most of health service providers perceived the quality of tariff change policy worse. This was reflected from indicators of the availability of physical facilities and medical service. Limitation and capability of local revenue and expenditure budget had always been the reason for the limited budget allocation for health. Although there was an increase of budget for drugs and operational cost, there was a decrease in medical service. The proportion between physical facilities and allocation of budget for health caused limited availability of physical facilities. Health service providers felt the amount of medical service insufficient because it was not based on performance or workload in particular. Conclusion: The perception of health service providers and patients about quality of health service in relation to change in tariff was worse although budget for health increased, particularly in drugs and operational costs. Besides the health service was inelastic.

Kata Kunci : Kebijakan Pembiayaan,Tarif Puskesmas


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.