Laporkan Masalah

Kelenteng, Agama dan Identitas Budaya Masyarakat Cina :: Kasus Kelenteng Tay Kak Sie

PRIHANTORO, Fahmi, Dr. Daud Aris Tanudirjo

2007 | Tesis | S2 Ilmu Perbandingan Agama

Kelenteng dikenal sebagai tempat ibadah bagi masyarakat Cina yang beragama Tri Dharma (Taoisme, Buddhisme, Konfusionisme). Kelenteng merupakan bagian yang penting dalam kajian tentang kebudayaan masyarakat Cina. Penelitian ini berusaha mengungkap keberadaan kelenteng dan identitas budaya masyarakat Cina. Apakah terjadi perubahan orientasi keagamaan di Kelenteng Tay Kak Sie, serta apakah kelenteng Tay Kak Sie sebagai hasil budaya materi dengan segala aktivitas di dalamnya dapat menegaskan identitas budaya masyarakat Cina?. Berdasarkan pertanyaan pertanyaan tersebut penulis berusaha meneliti dinamika hubungan politik dengan masyarakat Cina di Indonesia dengan menggunakan pendekatan sejarah. Terdapat tiga tonggak sejarah dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Cina yaitu: 1) sebelum tahun 1967 di mana kebebasan berekspresi dalam agama dan kebudayaan dibolehkan. 2) Sesudah tahun 1967 dengan dikeluarkannya Keppres No. 14 tahun 1967 yang melarang munculnya agama dan kebudayaan Cina di lakukan ditempat umum. 3) Sesudah Tahun 2000 dengan dikeluarkannya Inpres No. 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Keppres No 14 tahun 1967 yang membolehkan kembali masyarakat Cina mengekspresikan agama dan budayanya. Penelitian ini berhasil mengungkap bahwa Kelenteng Tay Kak Sie dapat menegaskan identitas budaya masyarakat Cina yang terlihat dari tiga wujud kebudayaan yaitu agama (ideas), aktivitas keagamaan (activities) dan bangunan kelenteng (artifacts). Di dalam perjalanan sejarah politik masyarakat Cina yang penuh dengan tekanan dan diskriminasi, Kelenteng Tay Kak Sie tetap berhasil mempertahankan diri serta tidak mengalami perubahan baik orientasi keagamaan, aktivitas keagamaan dan bangunan fisik kelenteng termasuk patung-patung dewa yang dipuja. Hal ini menjadi menarik karena sebagian besar kelenteng yang ada di Jawa mengalami penyesuaian diri dengan menganut orientasi Budhistis sebagai ciri utama kelenteng karena konfusionisme dan Taoisme tidak diakui oleh pemerintah sebagai agama. Kelenteng Tay Kak Sie tidak mengalami perubahan diri karena beberapa faktor yaitu lokasi, kebijakan penguasa, ciri kelenteng, masyarakat Cina pendukung kelenteng, dan pemahaman agama.

Kelenteng is known as a praying place for Chinese-Indonesians, especially whose religion is Tri Dharma (Confucianism, Buddhism, and Taoism). As such Kelenteng is considered to be important in the study of Chinese culture in Indonesia. It is generally assumed that Tri Dharma is one of primary cultural identities for Chinese-Indonesians. This research is aimed at revealing the relationship between kelenteng and Chinese cultural identity, with a case study in Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang. The research questions are (1) were there any changes in religious orientation of Kelenteng Tay Kak Sie ? and (2) does Kelenteng Tay Kak Sie, with its religious activities and particular cultural materials, still express Chinese cultural identity? In order to answer these questions, this research tries to examine Indonesian political dynamics in relation to Chinese- Indonesians. Using historical approach, three major stages in the political history of Chinese people in the modern Indonesia may be identified. These are [1] the period before 1967 when Chinese- Indonesians were free to carry out their cultural and religious activities, [2] the period between 1967 – 2000 when the New Order Government banned Chinese cultural and religious activities through Keppres No. 14/1967), and [3] the period after 2000, when the Government put Inpres No 6 Tahun 2000 in place and Chinese Indonesians are allowed to practice their cultural and religious activities again. The research in Kelenteng Tay Kak Sie shows that to some extent this temple has become “the last resort” in preserving the cultural and religious identities of Chinese Indonesians in Semarang. This is evident at least in three aspects: (1) its persistent in the religious orientation (ideas), (2) slightly changes in religious activities, and (3) the least changes in the cultural materials as demonstrated by the building. This is indeed interesting, since during the period of oppression (1967-2000) many other kelentengs had been changed to become Buddhist temples. In such a latter temple, the Confucianism and Taoism aspects of the Tri Dharma were reduced and hardly presented. There are several factors that may explain why Tay Kak Sie has become the last resort to preserve the cultural and religious identities of Chinese-Indonesians in Semarang : its location, political will, temple characteristics, the strong Chinese community around the temple, and the religious teaching.

Kata Kunci : Kelenteng,Identitas Budaya,Masyarakat Cina,identity, history, Chinese people, kelenteng


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.